Glitch : The Fake World

Nugroho Alif Putranto Ibrahim
Chapter #12

Chapter 11 : Justice Finder

PRANG!

Bunyi keras membangunkanku dari tidurku. Tunggu sebentar! Apa aku tertidur diatas lantai semalam? Tidak! Otakku mulai mengingat kembali kejadian penyerangan oleh orang berpakaian hitam. Saat aku sedang memegangi tengkuk yang terasa sakit, ada dua orang memasuki kamarku. Mereka pun menghancurkan jendelaku sekali lagi. Berikutnya, akan kuhilangkan saja jendela itu.

"Kak Doni! Kakak tidak apa-apa? Apa yang sudah terjadi?" Tanya Harold secara beruntun bagai senapan mesin. "Harold, tanya pelan-pelan! Dia pasti sedang kebingungan saat ini!" Seru Haruka dengan niat baik. Aku ucapkan terima kasih padanya, dan bilang bahwa aku baik-baik saja. Tak lupa, kuceritakan pula apa yang kualami beberapa jam lalu.

"Apa... Namun, bagaimana bisa? Seseorang masuk ke kamarmu tanpa membuat suara?" Sang anak kembali bertanya. Kuberi penjelasan yang masih berupa dugaan, bahwa ia menggunakan pakaian khusus yang membantunya. Ada pula teori lain dariku tentang sosok yang mengunjungiku tadi malam adalah bayangan kiriman seseorang untuk mengawasiku.

Ibu terlihat khawatir akan keadaan tubuhku. Ia pun menyuruhku untuk pergi sarapan sebelum dingin. "Tunggu dulu! Memangnya sekarang jam berapa?" Tanyaku. Dengan cepat aku berlari menuju kasurku. Seingatku masih ada disana. "Haah..." Ingatanku tak salah. Ponsel genggam ini salah satu benda yang penting. Tidak bisa hilang dariku.

Menurut penunjuk waktu di alat ini, sekarang pukul 09:35. Wajar saja bila makanan yang dimasak untuk sarapan akan segera dingin. "Baiklah. Aku makan dulu! Kemudian, kita laksanakan rencana kita." Ucapku sembari berjalan keluar pintu. Melewati dua orang yang menginap disini bersamaku. "Tanpa kakak beritahu, kami sudah berencana seperti itu." Balas Harold. Ia berdiri dari posisi jongkoknya.

*****

Aku telah menyelesaikan sarapan yang nikmat. Menu tidak berbeda jauh dari kemarin. Masih menggunakan ikan salmon, ayam, dan nasi goreng yang tersisa. Sepertinya Haruka secara tidak sengaja memasak terlalu banyak. "Tante! Kemarin, tante masak terlalu banyak ya? Hari ini, sarapannya tidak beda jauh dengan kemarin." Harold seperti menyadari apa yang ada dalam pikiranku. "Tidak. Kebetulan, kemarin aku hanya mendapatkan bahan-bahan itu saja. Maaf aku tidak menceritakan ini pada kalian." Balasnya.

Tiba-tiba, aku teringat dengan oleh-oleh yang dijanjikan Haruka kemarin. Namun biarlah. Kalau sudah dibeli, kuberi saja semuanya pada Harold. Akupun masih punya cukup uang untuk membeli minumanku sendiri. Sekarang, rencana pencarian pemilik Bug keempat adalah yang utama. "Jadi, aku dan Ibu akan pergi untuk mencari orang itu, dan Harold akan tetap di rumah untuk menjaga tempat ini. Begitu kan, rencananya?" Itulah yang kukatakan setelah meminum secangkir teh hangat. Kedua orang di ruangan yang sama denganku mengangguk setuju.

Akhirnya, setelah membereskan semua piring, sendok, garpu, dan teman-temannya, kami bersiap untuk berangkat. Ibu masih bisa mengenakan pakaiannya yang biasa, sedangkan aku harus kembali melakukan penyamaran. Untuk tidak terlihat seperti seseorang yang benar-benar pergi berburu, kuputuskan memakai pakaian seperti seorang pemburu. Lengkap dengan sebuah senapan di punggung, yang sebelumnya adalah tongkat kasti kesayanganku.

"Sudah tidak ada yang tertinggal? Ramuan? Senjata cadangan?" Tanya Haruka padaku dengan tergesa-gesa. "Tante, jangan bertanya terlalu cepat. Dia pasti merasa kebingungan." Harold menjawabnya menggunakan kata-kata yang ia lontarkan padanya. Aku hanya tertawa saja melihat mereka. "Tidak.. Semua sudah aman!" Namun, tetap kujawab pertanyaan itu. Aku juga memberinya senyuman dan sebuah jempol.

Sebelum berangkat, diriku dan Ibu berpamitan pada Harold. Saat itu terjadi, aku merasa seperti memiliki ibu yang pergi bekerja denganku, dan seorang adik yang menunggu di rumah. Hal ini berlawanan dengan keadaanku di dunia nyata. Membuatku semakin tidak ingin pergi dari tempat palsu ini. Namun, pencarian seluruh pemilik Bug harus tetap berjalan.

Jika dunia ini masih ada, aku takut Shinta sedang kesakitan di suatu tempat. Akibat peristiwa itu.

"Baiklah, dik. Kami berangkat!" Teriakku dari gerbang depan. Anak berambut pirang hanya melambaikan tangannya dengan riang. "Iya! Hati-hati!"

BRAK!

Gerbang depan telah ditutup. Ibu bilang bahwa ia akan pergi ke pasar seperti kemarin. "Aku dimintai tolong temanku untuk membantunya menjaga toko. Lumayan juga untuk mendapatkan bahan makanan baru!" Jelasnya. Tak ada yang bisa kulakukan selain berkata. "Iya. Hati-hati disana, bu." "Tentu saja nak!" Balasnya seraya mengelus kepalaku seperti tadi malam. Kemudian, kami memutuskan untuk berjalan ke jalan yang berbeda.

*****

Setelah berjalan cukup lama, dan membeli teh yang kemarin ku inginkan, aku berada di dekat rumah sakit tempatku dibangkitkan. Walau aku ingin melewatinya pada awalnya, namun pikiranku berubah. Akan kucoba sekali lagi untuk mencari nama Shinta disana.

Dua menit, dan aku sampai di lobi rumah sakit. Tanpa menunggu lama, aku menuju komputer yang dekat denganku. Jari-jariku kembali mencari nama orang yang sangat kusayangi dengan cepat. Seperti saat aku melakukannya kemarin. "Ayolah! Ini sudah dua hari! Seharusnya ia ada disini!" Ucapku, berbicara sendiri. Kurasakan beberapa orang melihatku dengan tatapan aneh, tetapi bodo amat. Itu sudah makanan sehari-hari bagiku.

Sekarang, aku hanya melakukan pencarian berulang lima kali. Kemudian menyerah setelah tidak menemukan foto yang sama persis dengan wajahnya. Aku pun melangkahkan kaki keluar rumah sakit. Setiap jejak yang kuhasilkan, seolah meninggalkan retakan. Seperti keadaan hatiku saat ini...

"Shinta... Dimana kau berada sekarang...?"

BRUK!

Lihat selengkapnya