Dengan Harold dan Justice Finder berjabat tangan, kelompok kami mendapat anggota baru. Seharusnya aku senang, tetapi tak bisa. Terlebih lagi dengan dirinya yang sekarang jauh berbeda, dari kakak kelas penyelamat dulu. Mungkin lingkungan memang bisa memberi dampak besar pada sikap seseorang.
"Baiklah. Masalah selesai. Mari kita keluar dari rumah sakit ini." Ajak Harold pada tiga orang lainnya di ruangan. Setelah anak itu berjalan keluar, aku, Ibu, dan Justice mengikutinya. "Hei, apa kau yakin mengajaknya nak? Dia tampak tidak bersahabat..." Haruka berbisik saat kami berjalan menuju lift.
Ketika pandanganku terarah pada kakak kelasku dulu, wajahnya seolah mengisyaratkan, bahwa ia bisa mendengar percakapan mereka berdua. Yah... Sekarang, aku rasa sebuah teh manis bisa membantuku. Setelah perdebatan tadi, suasana hatiku tidak cukup bagus. "Kuharap ada penjual teh dibawah sana..." Ucapku pelan, sehingga tak ada yang mendengarku bicara sendiri.
Kami tiba di dalam lift. Rasanya canggung ketika pintu tertutup dan mengantar kami ke lobi. Tidak ada suara. Semua seperti tenang dalam diam. Namun tidak denganku. Kemudian, Harold membuka suara. "Jadi, apa makanan favorit kakak-kakak dan ibu-ibu sekalian?" Sungguh. Anak ini cocok menjadi seorang pemimpin.
"Makanan kesukaanku adalah nasi goreng yang kita makan dua hari lalu. Walau sebenarnya, aku menyukai semua yang disukai anakku." Ujar Haruka dengan santai. Aku dan pria berpakaian putih diam sebentar. Sebelum diriku berbicara lebih dahulu. "Hmmm... Mungkin, sama dengan Ibu?" Aku berkata menggunakan nada bertanya. Karena aku suka semua makanan, kecuali yang mahal dan tidak enak.
"Kalau aku-" Perkataannya dipotong oleh bunyi lift yang membuka pintunya. Kami sudah sampai di lantai dasar rumah sakit. Saat aku berjalan keluar, ibu berambut panjang dibelakangku menepuk pundakku. "Hei, komputer itu bisa mencari data-data pasien yang berada disini kan?" Aku mengangguk. "Kalau begitu, bisa tolong carikan tentang anakku tidak?"
Bagus. Sekarang, pikiranku yang sudah kacau akibat kejadian tadi, menjadi semakin kacau. Aku tahu bahwa anaknya bernasib sama seperti Shinta. Tetapi, apa Haruka bisa menahan emosinya? Ataukah ia akan mengamuk sepertiku? Akhirnya, kuambil sebuah keputusan untuk berbicara empat mata dengannya.
"Kalian berdua bisa pergi duluan. Aku ada urusan sebentar dengan Ibu." Jelasku pada Harold dan Justice. Sang bocah mengangguk paham, sedangkan sang pria tampak tidak peduli. Sebelum anak bermata biru itu pergi bersama kakak kelasku, sebuah alat pelacak kecil kupasang di bahunya.
"Hm? Ada apa kak?" "Tidak. Tidak ada apa-apa. Cuma ingin menepuk pundakmu saja." Jawabku singkat. Anak kecil yang tidak sadar telah kuberi alat pelacak tersebut, hanya menatapku sebentar. Setelah itu, mereka berdua pun keluar terlebih dahulu dari rumah sakit.
Tangan Haruka kupegang dengan cepat, dan menariknya menuju komputer terdekat. "Aku tidak ingin Ibu tidak percaya lagi padaku. Jadi, akan kuberitahu sesuatu." Kataku dengan serius. Wajah ibu yang kumaksud terlihat khawatir. Menggunakan jari-jari tangan yang sudah terbiasa mengetik pada komputer, kucari nama anak dari perempuan ini.
Setelah menemukan berbagai orang dengan nama yang sama, tak ada satupun yang sama persis. Meski sudah beberapa kali mengulang pencarian. Ketika aku menyelesaikan pencarian terakhir, kulihat kedua tangan Haruka menutup hidung dan mulutnya. Air matanya mengalir. "Tidak... Mungkin..." Ucapnya. Sudah kuduga akan begini jadinya.
Aku memegang salah satu pundaknya. "Tenang saja..." "Bagaimana aku bisa tenang?" Teriaknya tiba-tiba. Bahkan, kalimatku belum selesai. Tetapi semua orang terlanjut melihat kami berdua dengan bingung. "... Karena diriku pun bernasib sama."
"Hah? Apa maksudmu?"
"Aaaa!"
Sebuah teriakan terdengar keras dari luar gedung. Aku dan Haruka langsung menoleh pada sumber suara. Sepertinya teriakan itu berjarak beberapa meter dari luar rumah sakit. Tanpa memikirkan lagi urusanku sebelumnya, aku langsung berlari ke tempat suara itu berasal. Sewaktu aku diluar, telingaku menangkap banyak teriakan disaat yang sama.
"Ada apa ini?" Aku bertanya, tanpa mengharapkan jawaban. Didepan mataku, Harold berhadapan dengan seorang kakek yang membawa senapan. Melihat ada beberapa kubus kecil melayang, otakku merumuskan sebuah kemungkinan. Bahwa pria setengah baya itu telah melakukan penembakan. Semua yang terkena pelurunya mati, dan hanya Harold serta pria dibelakang anak itu yang selamat dari kejadian ini.
Dari pandanganku, dua orang itu tampak saling berbicara. Tetapi tak bisa kudengar. Tunggu dulu! Aku menyadari sesuatu. "Nak... Mengapa kakek itu bisa mirip dengan Harold?" Tanya Ibu. Ia juga menyadari hal yang sama. "Iya... Wajah mereka mirip!"
DOR!
Bunyi tembakan terdengar. Saat kulihat kotak HP milikku, angkanya berkurang. Ditambah dengan Haruka yang memberitahu bahwa diriku telah tertembak, membuat mataku bergerak cepat. Pandanganku langsung tertuju pada kakek tadi.
Hei, ini aneh! Tangannya memang memegang sebuah pistol. Tetapi, senjata itu mengarah kebawah. Apakah ia punya kecepatan gerak yang tinggi? "Kakak!" Teriak anak berambut pirang dari kejauhan. "Iya! Aku tidak apa-apa!" Balasku dengan berseru. Kuputuskan untuk mendekati mereka berdua, sembari menyembuhkan diri.
"Tunggu kak Doni! Jangan mendekat!" Sebentar. Apa yang baru saja ia katakan?
Tiba-tiba, kepulan asap muncul ditengah-tengah dua orang tadi. Anehnya, asap tebal itu seolah datang begitu saja. Tidak ada yang terlihat mengeluarkan sihir, atau menggunakan bom asap. Beberapa saat kemudian, asap menghilang. Di waktu yang sama, aku menemukan bocah kecil dan kakek misterius itu menghilang. Hanya Justice yang tersisa disana.