Glitch : The Fake World

Nugroho Alif Putranto Ibrahim
Chapter #18

Chapter 17 : The New World

Sekarang, aku dan lima orang dari berbagai umur dan ras telah memasuki portal. Namun yang menunggu kami, bukanlah rumah persembunyian. Melainkan sebuah dunia aneh. "Hei, kita bisa terbang disini?" Harold menjadi yang pertama bertanya. "Pertanyaan yang bagus." Balas Axel santai.

"Di dalam portal, aku menemukan dunia ini. Kusebut tempat ini Rumah Rahasia. Ini adalah tempatku menyimpan semua persediaanku. Semuanya ada di gudang." Jelas laki-laki yang seumuran denganku itu. Jari telunjuk kanannya mengarah ke sebuah bangunan besar dengan atap datar. Seluruh temboknya berwarna biru. "Tetapi, bukan itu yang kutanyakan..."

Kemudian, ia menjelaskan bahwa sebenarnya ada lantai disini. Sengaja dibuat transparan, agar ia bisa menggunakan pijakan ini semaunya. Saat Haruka menanyakan maksudnya, tubuh teman lamaku seolah jatuh ke bawah. "Tenang saja! Aku hanya menurunkan ketinggian lantainya!" Teriaknya.

Setelah badannya kembali pada ketinggian yang sama dengan kami, perjalanan tur dalam dunianya dimulai. Di sekitar, hanya warna biru yang terlihat. Langit dan cakrawala tampak dipenuhi garis-garis, seolah memetakkan setiap titiknya. Dunia aneh ini seperti roti tawar, dengan beberapa bangunan di dekat kami.

Beberapa langkah kemudian, kami semua tiba di rumah Axel. "Jadi, inikah rumahmu?" Stanley bertanya. "Sederhana sekali... Di zamanku dulu, sebuah rumah memiliki arsitektur yang jelas. Tidak seperti benda ini..." Lanjutnya seraya jarinya mengetuk dinding rumah. "Hehe... Aku sengaja menunjukkan sisi luar rumahku terlebih dahulu. Karena, kupastikan pandangan kalian akan terhenti saat melihat pertama kali." Jelasnya dengan senyuman licik di wajahnya.

"Nak... Aku merasakan sesuatu yang buruk ada di dalam situ..." Bisik Haruka pelan. Kepalaku hanya bisa mengangguk. Aku pun tidak tahu apa yang ada di dalam sana. Lalu, tuan rumah memberi isyarat bahwa ia akan membuka pintu.

WUUUNG!

Perkataan temanku benar. Untuk sesaat, semua terasa berhenti di mataku. Setelah bertanya pada Stanley, ia mengaku. Itu bukan ulah dari Bug miliknya. Kupikir lagi, daripada waktu yang terhenti, ini lebih seperti sebuah lag. Momen ketika suatu perangkat bekerja terlalu keras, dan waktu yang diperlukan untuk memroses informasi menjadi lebih lama.

"Yah... Untuk kalian yang belum paham apa yang terjadi, akan kujelaskan." Ujar sang tuan rumah. Penjelasannya tidak jauh berbeda dengan yang baru saja kupikirkan. Justru sama persis. Satu-satunya orang yang mungkin belum memahami, hanyalah Kakek Stanley.

Di dalam sini, semuanya berwarna. Mirip dengan klub diskotik, tetapi lebih berwarna-warni. Setiap sudut ruangan seolah bisa memancarkan cahaya sendiri. Musik yang berirama terdengar jelas. Setiap dentumannya menimbulkan gelombang cahaya di dinding ruangan. Aku merasa terkejut, karena rumah yang tampak kecil dari luar, memiliki satu ruang tamu yang luas.

"Semua disini tampak geometris sekali ya..." Komentar Justice. Aku rasa dunia ini terinspirasi dari suatu permainan. Ingatanku memainkan kenangan saat masih ketagihan memainkannya. Cukup sulit sebenarnya.

"Baiklah tamu-tamuku sekalian. Silakan duduk disini! Akan kusiapkan tehnya segera!" Kata Axel, menjauhi kami. Ia melalui pintu masuk menggunakan portal. Seolah disana hanyalah tembok.

Sembari menunggu tuan rumah membawakan teh, aku dan Harold menari bersama. Mengikuti irama lagu yang sedang dimainkan. Uniknya, lagu ini tidak terasa membosankan. Walau sudah berkali-kali diulang. Ibu tertawa, kakak kelasku mengalihkan pandangan, sedangkan kakek dari bocah rambut pirang tertidur.

Beberapa menit setelahnya, teman lamaku kembali. Aku dan adik kecil langsung berlari dan duduk di kursi masing-masing. Tuan rumah membawa enam gelas teh, lengkap dengan sebuah teko. Bentuk gelas itu adalah silinder berwarna biru tua, dengan kotak yang berlubang besar di tengah sebagai pegangan. Ketika cairan kecoklatan dalam wadah tiga dimensi itu mengalir di tenggorokan, rasanya biasa saja. Tidak ada yang spesial.

"Jadi, berhubung keadaan sudah santai..." Axel duduk di kursi depan kami. "... Bisa aku tahu ceritanya? Mengapa kau sangat ingin pergi ke markas itu?" Mendengar pertanyaan tersebut, aku menghela napas panjang. Sedikit menyiapkan diri untuk menceritakan semuanya.

"Baiklah... Akan aku mulai, dari kejadian beberapa hari yang lalu."

*****

Semua diam. Tak ada yang berbicara, setelah aku menutup mulut. Hanya musik yang terdengar memasuki telinga. Aku lihat satu persatu orang dalam ruangan. Tidak ada satu kepala pun yang terangkat.

"... Itulah ceritanya." Ucapku singkat pada tuan rumah. Axel hanya mengangguk paham. "Sekarang, aku paham. Alasanmu untuk datang kemari, bukanlah sesuatu yang remeh bagimu..." Ia tampak ingin mengatakan sesuatu lagi. Tetapi, tidak ada kata yang meluncur keluar beberapa saat berikutnya. "... Tetapi, bagaimana dengan yang lainnya?" Ah. Dugaanku salah.

Ia menanyakan pendapat rekan satu kelompokku, tentang alasan untuk mengikutiku datang kemari. Dimulai dari anak yang mengajakku, hingga kakek berpakaian koboi di ujung kursi. Saat kuperhatikan lagi, posisi duduk mereka urut. Hanya aku yang duduk di ujung meja, berhadapan dengan Axel.

Lihat selengkapnya