Glitch : The Fake World

Nugroho Alif Putranto Ibrahim
Chapter #19

Chapter 18 : Space Bug

"Jadi, kita pergi kemana sekarang?" Tanya Harold pertama kali. Aku yakin semua juga menanyakan hal yang sama sekarang. Kecuali Axel, karena ialah yang pertama kali datang kesini. Lebih awal dari kelompok kecil ini.

Aku langsung menyerahkan semuanya pada teman lamaku. "Iya! Kamu punya kekuatan portal itu kan? Gunakan saja lagi!" Seru Haruka antusias. Anak berambut pirang yang bertanya juga ikut bersemangat. Kakeknya serta kakak kelasku hanya melihat keadaan dari belakang.

Tetapi, Axel menghembuskan napas berat, dan menghadapkan wajahnya ke bawah. Entah mengapa, aku punya firasat buruk tentang ini. "Ada apa?" Tanyaku singkat. Saat kucoba mengintip, raut mukanya tampak sangat marah. Pandanganku langsung beralih ke tangannya yang mulai mengepal.

Oh, tidak...

BUK!

Satu pukulan keras mendarat di wajahku. Tidak seperti yang dilakukan Haruka tempo hari, tetapi cukup untuk membuatku terjatuh ke belakang. Setelah melepaskan serangan itu, ia terlihat sedikit puas. "Hei! Ada apa denganmu sobat? Apa yang sudah kulakukan padamu?" Aku bertanya dengan berteriak kesal. Siapa juga yang tak marah bila tiba-tiba dipukul seperti tadi?

Ekspektasi bahwa ia akan meminta maaf hancur beberapa saat kemudian. Axel justru berteriak lebih keras dariku. "Dengar ya! Kalau saja kau tidak menghabiskan waktu dengan sia-sia dalam 'rumah' itu, aku pasti masih bisa menggunakan Space Bug milikku!" Sebentar, jadi batas waktu itu juga bisa menghukum penggunanya?

"Kalau begitu, bilang dari awal! Aku pasti akan menjadi 100% lebih cepat bila melakukannya!" Balasku, tidak mau kalah. Pertengkaran kecil kami pun terjadi. Namun, kejadian ini berakhir secepat saat memulainya. DItandai dengan diriku yang kehabisan argumen, serta Axel yang mendapat dukungan dari rekan-rekanku lainnya.

Yah... Lagipula, ini memang salahku. Padahal mereka sudah repot-repot setuju untuk mengikutiku.... Tetapi, justru aku membalasnya dengan perilaku seperti ini...

"Iya... Aku minta maaf..." Ucapku pelan. Sudah kuduga tidak ada yang mendengarnya. Semua masih sibuk mengkritik atas apa yang telah kulakukan. Hingga aku harus mengulangi permintaan maafku hingga tiga kali. Baru mereka setuju untuk menghentikan rentetan kata-kata yang buruk untuk mentalku.

Akhirnya, kami memutuskan untuk duduk disini sebentar. Melihat pemandangan dari kejauhan. Ternyata istana tempat bos dari The Soldier bermukim, adalah pusat dari pulau besar ini. Di seluruh empat mata angin, ada bukit dengan musimnya masing-masing. Di utara, musim gugur. Timur, musim dingin. Barat, musim panas. Tempat kami berdiri sekarang adalah bagian musim semi. Tidak heran rerumputan disini masih hijau.

Di sekitar pulau hanyalah lautan yang menghampar luas . Sangat luas, sampai cakrawala. Sementara itu, bagian tengah pulau dipenuhi dengan bangunan. Bentuknya mirip dengan rumah-rumah di abad pertengahan. Sekitar rumah-rumah tersebut, terdapat hutan yang pohonnya mengikuti arah mata angin.

Sebuah sungai juga ada disini. Dengan bukit musim semi ini sebagai hulunya, dan keempat celah di antara setiap bukit menjadi muara. Sungai ini juga mengitari dinding luar istana, menjadikannya parit. Ada satu jembatan yang terlihat menghubungkan dinding kastil dengan wilayah di luar parit. Menurut Axel, itulah pintu masuk kami.

"Jadi, apa kita tidak bisa langsung pergi kesana saja?" Kakek Stanley membuka pembicaraan. Kulihat matanya seperti seseorang yang baru terbangun dari tidur siang. "Maaf kek. Tetapi, ada sebuah penghalang di sekitar wilayah sebelum hutan itu. Jika kita menerobos, akan langsung ketahuan."

Penjelasan Axel berhasil membuat pria tua tersebut kembali tertidur di rerumputan. Rasanya memang nikmat. Aku tidak bohong. Tidak seperti saat terbang dan dijepit dengan Bug milik Harold. Tetapi, bukankah perjalannku jadi sedikit lebih cepat bila bersamanya?

Pikiranku sukses menemukan sebuah ide! "Hei! Bagaimana kalau aku akan membawa kita semua menuju pinggir perbatasan? lalu menggunakan Neutralizer Bug untuk membuka penghalang, sensor, atau apapun itu?" Sial! Harold sudah mengatakannya duluan! Lain kali, harus lebih cepat, diriku.

Sesuai dugaanku, semua setuju dengan rencana Harold. Yang seharusnya menjadi rencanaku jika ia tidak menyela lebih dulu. Biarlah. Setidaknya, kelompok kecil ini tidak tersesat di pulau yang baru nan besar ini...

*****

Delapan menit berlalu sejak keberangkatan kami. Karena terbang kesana bisa jadi akan menarik perhatian lawan, kami putuskan untuk berjalan kaki saja. Hanya dengan mengikuti aliran sungai, sudah bisa mencapai perbatasan tanpa kesulitan.

"Akhirnya... Sampai juga..." Komentar kakek dari keluarga Miller. Ia benar-benar terlihat seperti telah menghabiskan seluruh energi hidupnya, hanya untuk sampai kesini. Pria berbaju koboi itu langsung terduduk lemas dan meluruskan kedua kakinya.

Di hadapan kami sekarang adalah sebuah garis merah. Secara diameter, aku yakin akan memenuhi bagian tengah pulau ini. Sisi lain dari garis sakral ini adalah hutan yang berwarna sangat hijau, dan rindang. Aku takjub pohon disini bisa terlihat lebih indah dari yang selama ini kulihat di dunia nyata. Perbatasan ini berkedip-kedip. karena ada lampu berwarna merah di dalamnya. Mungkin juga sebagai penanda agar tidak ada apapun yang masuk dengan mudah.

"Baiklah. Justice, tolong ya!" Minta Harold pada kakak kelasku. "Kalau saja apa yang ada di dalam kastil besar itu hanyalah tipuan, aku pasti akan membunuhmu, anak kecil!" Bisiknya sebelum menggunakan kekuatan dari Bug-nya.

Lihat selengkapnya