Glitch : The Fake World

Nugroho Alif Putranto Ibrahim
Chapter #22

Chapter 21 : Safe Zone

Awalnya, tidak ada yang bergerak. Semua mulut seolah terkunci, kecuali gadis yang menunggangi seekor kuda di depan. Mulutnya terbuka dengan kedua pupil mata melebar. Sementara itu, perempuan kecil di bawah mulai menitikkan air mata. Kulihat wajah Haruka. Air matanya juga mengalir keluar.

"Miraaai!"

"Ibuuu!"

Keduanya pun berpelukan. Saat melihatnya, aku menyembunyikan senjataku. Mereka yang juga membawa senjata kembali memasukkan peranti tempurnya ke tempat asalnya.

Salah satu dari anggota kelompok ini telah mendapatkan kembali sumber kebahagiaanya. Ia bertemu lagi dengan alasannya untuk bertarung. Tangisan ibu dan anak itu bergema, memenuhi ruangan selama beberapa saat. Membuat suasana menjadi haru.

"Syukurlah... Kamu masih baik-baik saja..." Ucap ibu berambut panjang itu sembari mengusap air matanya. "Iya... Aku juga senang Ibu masih sehat..." Anaknya membalas. Kemudian, mereka saling berpandangan. Sang Ibu menanyakan apa yang sebenarnya terjadi beberapa hari yang lalu.

Berdasarkan penjelasan Mirai, kejadiannya tidak begitu jelas. Ia merasa seolah terhisap dengan kuat menuju pusaran berwarna hitam. Kemudian, pandangannya memudar. Tidak ada satu hal yang diingatnya setelah itu. "Tiba-tiba saja, aku sudah terbangun disini." Kata gadis kecil tersebut. Walaupun peristiwa yang dialaminya bisa dibilang mengerikan, ia seolah tidak peduli.

Kepala kecil anak itu menoleh padaku terlebih dahulu. Ia beralih dari hadapan ibunya, dan berlari menuju diriku. "Kakak, aku minta maaf atas perlakuan ibuku kemarin!" Anak berkulit putih itu membungkukkan tubuhnya.Sekarang, tingkahnya membuatku sedikit salah tingkah. "Tidak apa-apa! Kakak juga sudah memaafkan ibumu kok!" Jawabku panik.

Senyuman merekah dari wajah gadis itu saat mendengar jawabanku. Tidak seimut Justice Finder ketika menyamar sebagai Chevalier, tetapi tetap saja hatiku tertarik untuk sesaat. "Hei, nak! Jangan sampai kamu mengincar anakku ini ya! Dia masih muda!" Tiba-tiba, ibunya berteriak. "Kak Doni... Sebenarnya, kakak itu memang orang yang suka mengincar anak kecil ya?"

"Harold! Jangan bicara sembarangan!" Stanley juga melakukan hal yang sama. Seketika, anak yang dipanggil namanya menunjukkan wajah kesal. Ia bergumam, bahwa maksudnya cuma untuk bercanda. Kutepuk pundaknya, berusaha untuk menghibur.

Tanpa disadari, suasana di jalan buntu menjadi lebih ceria. Aku mengalihkan pandangan ke dua rekanku yang masih belum berbicara. Ternyata mereka sudah membuka suara. Dua orang itu justru saling berbincang satu sama lain. Entah hal apa yang dibicarakan, tetapi Axel sepertinya lebih mendominasi. Yah... Jika sudah kenal, ia bisa akrab dengan siapapun.

Dari sana, aku teringat akan anak perempuan satunya. Saat kutengok, ia menyadarinya. "Ada apa?" Tanyanya singkat. Bagus juga. Sekali-kali, tidak ada anak kecil yang memanggilku 'kak'. "Boleh aku tahu namamu?" Langsung menuju pertanyaan utama.

Anak ini diam. Matanya seolah sedang menerawang tubuhku, dari ujung rambut hingga ujung kaki. Setelah itu, barulah ia menjawab. "Brianna. Itu namaku." Baiklah. Aku sudah dapat namanya. Sekarang apa yang sebaiknya kutanyakan? Tempat kelahiran? Atau mengapa ia terus berada diatas kudanya.

"Kamu pasti berpikir, apa yang sebaiknya ditanyakan bukan?" Hei! Bagaimana ia bisa membaca pikiranku? "Mudah saja. Aku bisa membaca pikiran seseorang hanya melalui matanya. Tatapan juga bisa menjadi salah satu jalur komunikasi." Jelasnya. "Itu kemampuan yang menakjubkan! Aku harap diriku juga bisa melakukannya..." Aku berkata sejujurnya.

Kemudian, ia menjelaskan bahwa memiliki kemampuan itu menyebalkan. Karena setiap kali matanya bertemu dengan mata orang lain, apa yang ada dalam pikiran orang tersebut akan langsung terbaca. "Bukankah kau bisa memutuskan untuk membacanya atau tidak? Lagipula, aku belum pernah dengar kemampuan yang bisa aktif setiap saat..." Ucapku, berusaha memberi saran.

Kepala kecilnya menggeleng. "Bagaimana menyebutnya ya? Tidak hanya terbaca, tetapi..." Ia seperti kehabisan kosakata. Wajahnya tampak bersusah payah untuk mengingat apa yang ingin diucapkannya. "Langsung terlintas di kepala?" Aku membantunya menemukan kata yang tepat.

Gadis berkulit hitam itu langsung berekspresi seperti ilmuwan, yang telah menemukan rumus untuk menguak rahasia dunia. "Terima ka-" Sebelum kalimatnya selesai, ia mengalihkan pandangan. Hei, apa yang salah denganku? Bukankah seharusnya kau menyelesaikan ucapanmu itu?

Biarlah. Untuk apa aku peduli soal itu? Tidak ada manfaatnya sekalipun aku peduli. "Jadi, mengapa kau terus duduk diatas kuda itu? Ditambah lagi, tidak ada sadelnya..." Tanyaku. Akhirnya, pertanyaan kedua itulah yang kupakai. "Tidak apa. Aku hanya suka menaiki kuda saja." Ia menjawab singkat lagi.

Tiba-tiba, anak dari Haruka berteriak. "Ibu, perkenalkan. Namanya Brianna! Dia sudah menjadi temanku sejak dulu. Dia juga yang menemaniku selama berada di dunia ini!" Jelasnya dengan nada bahagia. "Brianna, perkenalkan. Ini Ibuku! Manusia paaaling hebat yang pernah kukenal di seluruh dunia! Dia bisa memasak, bersih-bersih rumah, membantu mengerjakan pekerjaan rumah... Banyak pokoknya!"

Dua orang yang dikenalkan oleh gadis polos itu saling mengangguk. Sang ibu memperlihatkannya senyumannya. Sedangkan teman dari Mirai hanya membalas dengan anggukan yang canggung.

"Hei, mengapa kau tidak bicara saja dengan Ibu? Daripada diam begitu saja..." "Diam kamu!" Teriaknya kesal. Apa-apaan sikap seperti itu? Memangnya pantas anak kecil berperilaku seperti itu?

"Padahal kamu sendiri masih baru lulus SMA. Tetapi bicara seperti orang tua saja! Lalu, aku bukan anak kecil!" Ia kembali berseru. Masih dengan nada suara yang sama.

Lihat selengkapnya