Glitch : The Fake World

Nugroho Alif Putranto Ibrahim
Chapter #23

Chapter 22 : Last War

Setelah pertikaian kecil yang terjadi, kami mendapat teman baru. Ditambah lagi, salah satu anggota kelompok ini telah bertemu kembali dengan anaknya. Suasana sekarang benar-benar membahagiakan.

"Oh iya, aku punya satu pertanyaan untukmu. Boleh?" Harold meminta izin pada Brianna untuk menanyainya. Bila saja Mirai tidak mendukungnya agar mau menjawab, mungkin anak berambut pirang itu akan mendapat nasib yang sama sepertiku. Mungkin.

Tetapi, gadis berambut keriting menempelkan jarinya di bibir anak bernama belakang Miller. Aku tidak menyangka seorang anak kecil bisa melakukan gerakan seperti itu. Apa orang tuanya selalu melakukan itu? "Sebelum kamu mulai bertanya, tolong jelaskan siapa dirimu, dan orang-orang aneh yang bersamamu." Ujarnya.

Harold yang merasa sedikit terganggu mulai memperkenalkan semua anggota kelompok. Dimulai dari dirinya sebagai founder, aku dan Haruka sebagai co-founder, Justice dan Axel sebagai kenalanku, dan Stanley sebagai... kakeknya. "Baiklah. Aku sudah selesai. Giliranmu sekarang."

Anak perempuan yang diajak bicara hanya diam sebentar. Ia tampak memikirkan sesuatu, hingga akhirnya membuka mulut. "Kamu tahu siapa namaku, kan?" Harold mengangguk. "Berarti, aku tidak perlu memperkenalkan diri lagi. Apa pertanyaan pertamamu terjawab?" Ucap bocah itu dengan nada sombong.

Sial! Kalau saja aku tidak menoleh ke arah lain, mungkin anak itu akan sadar bahwa aku marah lagi padanya.

"Maaf, tetapi bukan itu yang ingin kutanyakan." Brianna terkejut. Wajahnya sedikit memerah. "Lalu apa? Kekuatanku? Kalau kamu mau tahu itu, silakan jelaskan tentang kekuatanmu terlebih dahulu." Masih menggunakan taktik yang sama rupanya... Kurasa Harold tidak akan terkecoh semudah itu.

Diluar dugaan, ia mengangguk. Lain kali, sebaiknya aku menduga sesuatu yang buruk sajalah. Jika aku terus memprediksi hal baik, yang akan terjadi selalu sebaliknya.

Ia pun memulai penjelasannya tentang Bug. Menurutnya, kekuatan milik gadis yang tampaknya berdarah Afrika itu bisa disebut Creator Bug. Di awal, Brianna tidak setuju dengan nama itu. "Apa tidak ada yang lebih keren?" Itu alasannya.

"Apa? Menurutku ini sudah keren. Lalu, apakah kau pernah melihat singa biasa di hutan atau sabana? Maksudku, dalam dunia ini." Kalimat yang diucapkan bocah bermata biru ini berhasil menjatuhkan alasan yang dibuat anak perempuan di hadapannya. Dengan berat hati, kepala kecil bagai mutiara hitam itu menggeleng.

Apa yang dikatakan Harold ada benarnya. Walaupun dunia ini seharusnya meniru dunia nyata, tetapi rancangan dasarnya tetaplah sebuah game. Tidak pedul seberapa modern dunia ini, makhluk-makhluk fantasi bisa saja bermunculan. Berkat sistem, semua monster yang menjadi lawan semua orang hanya bisa ditemukan dalam Area Perburuan.

"Tetapi, mengapa kamu menyebutnya Bug? Bukankah itu sama saja dengan menyamakan kita dengan penyakit?" Tanya Brianna. Sepertinya ia mulai tertarik pada gagasan unik Harold. "Iya. Karena kita memanglah 'penyakit' untuk dunia ini. Tidak ada yang memiliki kekuatan ini seperti kita." Jelas anak berambut pirang singkat.

Berikutnya, giliran anak laki-laki yang bertanya. Ia mencari tahu apakah gadis di depannya tahu sesuatu, tentang koin dengan segitujuh di salah satu sisinya. "Oh! Aku masih ingat dengan sangaaat jelas!" Tiba-tiba, bocah perempuan itu tampak semangat.

"Hei, hei. Apa itu koin yang dulu kamu bayangkan itu?" Tanya Mirai, yang selama ini tidak banyak berbicara. Ia hanya mengikuti percakapan yang berlangsung.

Brianna mengangguk cepat. "Tetapi, kebetulan saja kamu tidak bisa melihatnya dulu." Tambahnya. Harold memberikan penjelasan tentang prediksinya akan hubungan antara pemilik Bug, dengan penerima koin berwarna emas itu. Dua perempuan sepertinya bisa mengikuti penjelasan bocah berdarah Eropa tersebut.

Ah, sial! Aku mengarahkan pandanganku ke arah lain, saat menyadari kedua mata Brianna menatapku tajam. "Ada apa? Kalau masih mau-"

Di saat yang sama, Ibu juga mengamati ketiga anak tersebut. Kalimat yang sebelumnya akan ia lontarkan, langsung tertelan bersama air liurnya."Tidak. Tidak ada apa-apa. Lupakan saja kata-kataku." Ucapnya. Hanya anggukan saja yang bisa kuberikan. Aku juga tidak ingin kejadian tadi terulang.

"Baiklah. Kita kembali pada pembahasan sebelumnya." Kata Harold. Ucapannya terdengar seperti seorang guru yang mengajar di kelas. Tetapi, ia juga menambahkan sesuatu. "Aku masih belum begitu paham. Kalau memang hanya ada tujuh pemilik Bug, mengapa ada bentuk segitujuh pada koin itu?" Tanya anak itu, pada siapapun yang mungkin bisa menjawabnya.

Secara mendadak, Brianna mengangkat tangan kanannya. "Bagaimana jika sebenarnya, ada banyak pemilik 'bug'? Lalu semuanya disuruh untuk saling bunuh hingga hanya tujuh yang tersisa?" Ya ampun! Pikirannya gila juga...

"Hmmm... Bisa saja..." Bahkan, Harold menerima pendapat itu. Yah... Dari awal pemikiran anak itu hanyalah dugaannya. Buktinya tidak cukup banyak sewaktu ia membuatnya. "Tetapi, mengapa harus tersisa hingga tujuh? Kalau saja kita memang mendapat Bug dan berperan sebagai penyakit, bukankah lebih baik bila semua tidak tersisa?"

Percakapan mereka berlangsung seru. Sangat intelektual untuk anak-anak seumuran mereka. Justice, Stanley, dan Axel yang semula hanya sibuk dengan diri sendiri pun berjalan mendekati dua bocah tersebut. "Ehem!" Brianna seolah membersihkan tenggorokannya dengan sengaja.

"Maaf ya, kakak-kakak sekalian. Temanku sedang ingin bicara berdua saja, dan dia tidak ingin diganggu..." Tutur anak perempuan berambut hitam lurus. Suaranya terdengar halus dan sopan. Berbeda jauh dengan sahabatnya itu...

Kakak kelasku sempat protes. Namun saat teman dari Mirai melotot padanya, ia tidak mengucapkan sepatah kata. Akhirnya, ketiga orang itu pergi dari tempat kejadian. "Sabar ya..." Ucapku untuk mereka melalui headset.

*****

Lihat selengkapnya