DUA HAL yang tidak bisa Kara hentikan sejak tadi malam adalah debar jantung dan senyumnya sendiri. Bahkan, sampai saat ini ia berjalan mondar-mandir di kamarnya dengan perasaan cemas bercampur bahagia yang tak kunjung reda. Diliriknya jam dinding, pukul 10.00 pagi. Keluarga Zeno sudah datang. Kapan aku dipanggil?
Ia hendak menggigit bibir kalau saja tidak ingat omelan make-up artist, yang sudah mendandaninya sejak subuh tadi, berkali-kali mengingatkan agar tidak merusak lipstik warna peach yang terpulas sempurna.
“Jangan merusak karya seniku hanya karena kebiasaanmu saat sedang cemas, Anak Gadis!” Kira-kira begitu ocehan Nancy yang langsung dihafal Kara. Nama aslinya Fernando, make-up artist yang biasa menangani para model jika Mama akan menggelar peragaan busana.
Kara menarik napas panjang untuk menenangkan diri, meyakinkan bahwa acara hari ini akan berjalan lancar. Ayolah, pesta pertunangan saja sudah semendebarkan ini, bagaimana jika akad nikah nanti?
Ditatapnya cermin untuk kali kesekian dan merasa bangga memiliki ibu seorang perancang busana. Kara memperhatikan kebaya jingga lengan panjang yang menonjolkan leher jenjang dengan detail kristal Swarovski di bagian dada. Membuat pakaian tradisional itu terlihat semakin anggun. Bawahan kain batik mega mendung panjang dengan lipitan bertumpuk dan belahan samping sebatas lutut dikelim rapi. Nancy tidak melakukan banyak hal untuk menata rambut ikal Kara yang hanya sampai menyentuh bahu. Jepit bentuk bintang berwarna oranye tersemat cantik dekat pelipis kiri. Sederhana dan manis.
Senyum Kara tersungging. Ingatannya melayang ke masa kecil ketika Mama suka menjahit gaun indah dan mendandaninya ala Disney Princess. Kemudian, ia akan meminta Pandu, sang papa, berpura-pura menjadi Raja yang mengajak sang Putri berdansa, bernyanyi, atau membacakan buku dongeng. Masa-masa indah itu berlalu tanpa terasa hingga dirinya beranjak dewasa.
Sekarang, Belinda—mamanya—bahkan sudah mulai merancang gaun pengantin untuknya.
Pandangan Kara beralih ke bingkai foto di pojok meja rias. Ada Mama, Papa, dan dirinya saat masih kelas 5 SD sedang berwisata ke Kebun Raya Bogor yang rindang. Sebersit pilu perlahan mengalir menuju hatinya. Tangannya terulur, ujung jarinya menyentuh potret wajah pria tampan dengan senyum lebar di bingkai tersebut.
“Papa ....”
Bip! Bip!
Perhatian Kara teralihkan. Diambilnya ponsel di atas meja.
Nala Dirgantara: Gimana? Lancar acaranya?
Kara merasa kaget sekaligus senang karena mendapat pesan dari sahabat terdekatnya. Kenangan akibat foto Papa segera teralihkan.
Gara-gara kesepakatan dua pihak keluarga agar acara hari ini hanya untuk kalangan terbatas, Kara hanya bisa curhat kepada Nala, yang sialnya mendapat tugas kantor ke Kuala Lumpur sejak dua hari lalu. Buru-buru ia mengetikkan jawaban.
Kara Arkana: Belum. Aku deg-degan!
Nala Dirgantara: Sudah ratusan kali kamu bilang seperti itu sejak seminggu lalu. Sekarang lagi apa?
Kara Arkana: Masih di kamar sendirian, nunggu dipanggil keluar.
Nala Dirgantara: Take it easy, Dear. Semua pasti lancar
Samar-samar, Kara menangkap riuh suara tawa dari luar kamar. Ia beranjak mendekat menuju pintu, mendekatkan telinga, mencoba mencuri dengar apa yang sedang terjadi di ruang keluarga rumahnya.
“Dia bukan Kara.”
Itu suara Zeno! Napas Kara tertahan sesaat. Bayangan sosok pria seketika hadir dalam ingatan visualnya. Belum ada 2 x 24 jam sejak Zeno mengantar pulang dari kencan terakhir mereka dan mengecup mesra keningnya seperti biasa. Ajaibnya, baru lima menit Zeno pergi dari rumahnya saat itu, rindu sudah menyusup di hati Kara. Cinta memang gila.
“Kamu yakin, Nak?” Kali ini suara Ario, adik Papa.
“Yakin seratus persen, Om.”
Suara bas Zeno yang terkesan datar terdengar tenang dan mantap, membuat jantung Kara berdegup makin tak keruan. Ayolah, baru mendengar suara Zeno yang resmi melamarnya saja sudah membuat tubuhnya panas dingin karena bahagia. Bagaimana jika kekasihnya itu mengucap akad nikah nanti? Gadis itu tersipu-sipu sendiri.
Hening. Kara tidak mendengar apa-apa lagi selang beberapa detik.
Tok! Tok!
Jantung Kara terlonjak karena ketukan di pintu kamarnya sendiri.
“Kara sayang, ada yang mau ketemu kamu, tuh.”
Panggilan Mama terdengar lembut seperti biasa. Kara menarik napas dan menghela perlahan untuk menenangkan diri. Ia memutar gagang pintu, membukanya.
Perhatian semua orang di ruang tengah teralih menyambut kedatangan gadis mungil yang anggun dengan senyum malu-malu keluar dari kamarnya. Keluarga dari pihak Pandu dan Belinda, para sepupu dan sahabat, serta jajaran pihak keluarga dan kerabat Zeno menduduki kursi tamu. Seketika Kara menjadi pusat perhatian.
Akan tetapi, dari sekian banyak orang di ruangan itu, pandangan Kara hanya tersedot pada satu sosok. Zeno Ramawijaya yang duduk tegak dan balas menatap dengan sorot tajam meluluhkan hati. Setelan kemeja krem berlapis jas hitam lengkap dengan dasi warna emas semakin menegaskan bentuk tubuh tegap pemuda itu. Rambut lurusnya dipotong cepak rapi, membingkai garis wajah tegas bertulang pipi menonjol. Garis abu-abu samar di sepanjang tulang rahang menandakan pria itu habis bercukur tadi pagi.
Rapi dan tampan.
Efek sorot mata pemuda yang memerangkap pandangannya itu membuat Kara menyadari pipinya mulai terasa hangat dan napasnya terasa berat.
“Dia ….” Suara Zeno memecah heningnya ruangan. Tatapannya masih tertuju kepada gadis cantik berkebaya jingga yang sudah lebih dari setahun menjadi sumber kebahagiaan hari-harinya. “Kara Arkana, satu-satunya perempuan yang ingin saya persunting untuk menjadi istri,” ucapnya tegas dengan sesungging senyum tipis.
Kara menahan napas, lagi-lagi tak sanggup menghentikan degup kencang jantung dan senyumnya sendiri.
Acara pertunangannya dengan Kara berjalan lancar. Zeno bersyukur semua berlangsung sesuai rencana. Dari hasil laporan anak buahnya yang memantau di semua ruas jalan menuju rumah kekasihnya, tidak ada tanda-tanda komplotan Lintang Samudra akan datang melancarkan ancaman mereka. Meski begitu, ia sudah menyebar penjagaan ketat dalam radius 500 meter dari lokasinya sekarang untuk berjaga-jaga.
Dari atas balkon lantai dua, Zeno memperhatikan beberapa pasukannya dalam status siaga. Ada yang berpura-pura sebagai sopir, ikut berjaga bersama satpam kompleks, bahkan menyamar menjadi tukang rujak keliling. Yang terakhir itu sudah seperti profesi tetap. Satu orang anggota ditugaskan khusus untuk menjaga rumah Kara dalam dua minggu terakhir. Nama aslinya Bayu, tapi sebagai tukang rujak lebih dikenal dengan nama Agus. Zeno tersenyum geli jika mengingat setiap kali Bayu kembali ke kantor untuk memberi laporan.
“Lama-lama profesi tukang rujak punya penghasilan lebih menjanjikan daripada gaji di sini,” canda Bayu.
Zeno meneguk air putih hingga tandas. Otaknya masih menebak-nebak, siapa pihak LS yang mengetahui acara lamaran bahkan lokasi rumah Kara? Ia sengaja tidak mengumumkan hari istimewa ini ke banyak orang dengan alasan hanya pesta tunangan khusus keluarga. Orang-orang yang ia undang pun tak sampai 15 orang, hanya keluarga dan sahabat dekat. Kalaupun mata-mata LS menyelidiki tentang dirinya, semestinya tak ada satu pun dari mereka yang bisa mengakses identitas Zeno sebenarnya.
“Zeno ….”
Lamunan Zeno buyar. Ia berbalik dan mendapati Kara tersenyum membawa dua piring makan siang. Gadis itu menggambarkan stereotip perempuan modern masa kini, bertubuh ramping semampai efek diet ketat, wajah bersih hasil ketelatenan dalam perawatan, alis melengkung rapi, bibir penuh yang tak pernah absen terpulas lipstik lembap. Tipikal gadis yang sering menjadi objek iri hati gadis lain yang mencibirnya hanya mengandalkan kecantikan fisik.
Akan tetapi, sama seperti pria lain yang akan melirik Kara jika gadis itu lewat di hadapannya, Zeno pun terpesona. Rasa itu perlahan berubah menjadi keinginan untuk melindungi ketika merasakan sifat lembut, rapuh, dan feminin dalam diri Kara. Kemudian, semuanya berubah menjadi cinta ketika di pertemuan mereka yang kali kesekian, Kara berkata, “Aku bukan pebisnis, Zeno. Aku agen kebahagiaan.”
Kara istimewa, minimal untuk dirinya. Zeno yakin itu.
“Makan, yuk!” Kara menyodorkan piring dengan menu bistik, mashed potato, dan salad. “Aku cari-cari kamu dari tadi kok hilang. Ternyata di sini.”
Zeno mengambil piring dari tangan Kara, memperhatikan senyum bulan sabit dan sorot mata lembut yang tak pernah membuatnya bosan. “Thank you.” Ia mengecup ubun-ubun kekasihnya penuh mesra. “Tadi toilet di lantai bawah ada yang pakai, jadi aku ke lantai atas.”
Mereka duduk di kursi balkon dan mulai menikmati makan siang.
“Akhirnya, aku bisa lolos dari para tante yang ceriwis mengorek rencana kita tiga bulan lagi,” ujar Kara mengembuskan napas lega.
Ia menatap Zeno yang hanya menanggapi dengan senyum tipis sembari mengunyah makan siangnya, tampak tak peduli, tak sadar jika sedang diperhatikan. Kekasihnya itu sangat cool, sifat yang Kara kenal betul dan sering diartikan sombong oleh teman-teman pria atau rekan kerjanya. Oleh para wanita yang terpesona, Zeno malah dianggap misterius.
“Kamu hari ini cakep banget,” puji Kara dengan nada nggak-usah-ge-er.
“Kalau hari lain?” tanya Zeno datar.
“Cakep biasa.”
Zeno manggut-manggut.
“Menurutmu, hari ini aku cantik?”