Gloomy Gift

Bentang Pustaka
Chapter #3

2

“MEREKA BERHASIL kabur, Bos.” Pria berkemeja safari merah itu melapor dengan napas terengah menatap motor sport yang memelesat dan meliuk di antara kendaraan lain. Di belakangnya, anak buahnya menatap geram ke arah yang sama.

Terdengar kekeh geli di ujung telepon. “Biarkan mereka pergi sejenak,” lanjut suara berat itu. “Ini baru pemanasan. Kalian segera pergi dari sana sebelum ada yang melapor ke polisi.”

“Kami akan berpencar mencari mereka di setiap sudut kota ini.”

“Jangan bodoh,” balas suara datar di telepon. “Aku akan mengirim lokasi keberadaan mereka sebentar lagi.”

“Siap, Bos!”

Usai menutup telepon, pria berkemeja safari itu memberi isyarat kepada seluruh rekannya untuk kembali ke mobil masing-masing.

Jauh puluhan kilometer dari tempat kroco-kroco bayaran, orang yang mereka panggil bos sedang duduk santai di sofa empuk sebuah hotel mewah di Jakarta. Seorang pria paruh baya berperut agak tambun dan pipi gemuk menyesap white wine dengan tenang. Penampilannya begitu necis, setelan celana panjang dan jas warna putih, senada dengan warna dominasi interior minimalis fungsional dari suite room tempatnya menginap selama dua hari ini.

Tempat persembunyian yang nyaman untuk menghindari kejaran, berkelit dari panggilan penyidik kepolisian.

Dari balik kacamata, ia menatap layar tablet-nya saksama. Satu titik dengan nama Kara Arkana dan avatar gadis cantik itu tampak bergerak perlahan dalam jalur peta sampai akhirnya berhenti di suatu tempat. Bos kroco itu menyeringai dan terkekeh puas. Perburuan ini bahkan bisa ia lakukan hanya dari genggaman tangan.

“Atas nama Zeno, saya mohon maaf atas kekacauan yang barusan terjadi.” Kalimat yang dituturkan Garin dengan sikap berwibawa membuat suasana kalang kabut semua kerabat di rumah Kara berangsur tenang. Orang-orang memperhatikannya. Sebagai purnawirawan jenderal TNI, ia masih memiliki magnet kuat untuk menarik perhatian orang-orang dan mengendalikan situasi.

Para tamu keluar dari kamar dan tempat persembunyian dengan wajah tegang, beberapa perempuan ketakutan, dan tatapan nanar semua tamu masih memancarkan kengerian. Mereka berkumpul di ruang tengah dan memastikan semua anggota keluarga dan kerabat lain berada dalam kondisi aman.

“Peristiwa seperti tadi bisa mengakibatkan trauma!” cetus Nancy, suaranya terdengar kemayu bercampur takut. Dada bidangnya masih naik turun mengatur napas.

Garin melihat Belinda melirik tajam kepada Nancy tanda menyuruh tutup mulut. Ibunda Kara itu mampu mengelola emosi dengan baik, tetap tenang, meski wajah anggunnya masih menampakkan kekhawatiran, ingin memastikan semua orang di rumahnya baik-baik saja. Perempuan itu berusia lima puluh tahun dengan tubuh masih ramping dan wajah awet muda yang memancarkan keramahan serta sifat keibuan yang jelas kentara. Kara mewarisi semua daya tarik ibunya.

“Apa ada yang terluka?” tanya Garin.

Gelengan kepala semua orang cukup menjadi jawaban bahwa mereka hanya panik tanpa ada gejala timbulnya serangan jantung di antara semua tamu yang hadir.

Kemudian, Garin melihat Dhewa berjalan cepat masuk rumah. Putra bungsunya itu berbisik memberi informasi semua komplotan LS sudah kabur dan pasukan SYL kembali menyebar di sekitar lokasi untuk pengamanan. Garin mengangguk paham.

“Sekarang sudah aman, Bapak-Bapak, Ibu-Ibu. Acara bisa dilanjutkan.” Senyum Garin tersungging ramah dan menenangkan.

“Sebenarnya, ada masalah apa dengan Zeno hari ini?” Ario, yang dikenal Garin sebagai adik dari ayah Kara dan menjadi wali gadis itu, mulai bicara. Dari suaranya yang bergetar, pria gemuk itu jelas tak bisa menyembunyikan rasa takut.

Garin berpikir cepat untuk mencari alasan. Ia menyusurkan jemari ke sebagian rambutnya yang su­dah memutih. “Mereka debt collector kartu kredit,” tuturnya lemah. Pria berusia enam puluhan tahun yang masih memiliki tubuh tegap dan bugar sisa pelatihan selama menjadi perwira itu berpura-pura memasang wajah letih seorang ayah dan memohon untuk dimaklumi. “Sepertinya, Zeno mengalami masalah dengan pinjaman untuk proyek pekerjaannya,” lanjut Garin.

Terdengar kasak-kusuk para tamu yang mulai berdengung seperti lebah.

“Mengapa mereka bisa mengejar sampai kemari? Apa kita perlu menelepon polisi?” Ranti, tante Kara yang cerewet itu ikut unjuk suara.

“Mohon maaf.” Dhewa maju selangkah untuk menjelaskan. Situasi akan lebih rumit jika polisi mengetahui peristiwa ini. “Setahuku, Kak Zeno menggunakan alamat rumah Kara sebagai salah satu penanggung selain alamat rumah kami.”

Bisik-bisik dan desah kesal kembali terdengar.

“Nah, sekarang semua sudah jelas.” Suara Belinda yang lantang, tetapi lembut berhasil membuat kasak-kasuk berhenti. “Kara dan Zeno pun ….” Ia menoleh, matanya menyipit memberi isyarat kepada Dhewa untuk memberikan jawaban.

“Sedang pergi sebentar dan akan segera kembali,” jawab Dhewa cepat.

“Oke. Sambil menunggu pasangan itu kembali, atau kita tidak perlu menunggu mereka juga, acara ramah tamah bisa dilanjutkan.” Belinda bertepuk tangan sekali. “Ini masih hari membahagiakan bagiku sebagai seorang ibu.” Senyumnya mengembang cerah, menutupi rasa penasaran ke mana putrinya pergi saat ini. Letusan pistol tadi tidak akan membuat Kara baik-baik saja.

Semua tamu mencoba kembali bersikap biasa dan suasana berangsur normal. Musik kembali mengalun, para pelayan katering kembali melayani jamuan makan, sepupu-sepupu Kara kembali berkumpul dan asyik bergosip.

Garin melihat Daniel, sahabat yang sudah dikenalnya sejak mereka sama-sama berusia tiga puluhan, berjalan mendekat. Hari ini ia berpakaian batik tulis cokelat muda dan celana panjang hitam, sangat kontras dengan rambutnya yang sudah putih seluruhnya. Pebisnis yang memiliki biro arsitek ternama itu sejak tadi memasang wajah datar dan sikap siaga dalam menanggapi kejadian barusan.

“Kebocoran informasi kasus?” bisik Daniel sembari pura-pura santai menyendokkan zuppa soup ke mulutnya.

“Serangan ancaman.” Garin menyesap es buah dan tubuhnya berbalik perlahan melihat ke luar rumah, mendapati beberapa orang dari pasukannya berpura-pura lewat untuk berjaga-jaga.

“Ada siapa di kantor?”

“Hanya Violet.”

Daniel menggumam paham. “Aku pulang duluan untuk mengingatkan Vio. Bayu ikut bersamaku.”

Garin mengangguk setuju.

Motor yang mereka kendarai sudah berhenti sejak satu menit lalu di tempat parkir outlet pakaian. Namun, Kara masih enggan melepaskan pelukan dari pinggang Zeno, apalagi turun. Kepalanya menunduk bersandar di punggung pemuda itu sembari berusaha mengatur napas, meredakan debar jantung yang berpacu, dan menjernihkan pikirannya.

Ada apa hari ini?! pikir Kara frustrasi. Siapa orang-orang yang datang menerobos rumahnya tadi? Mengapa Zeno bertingkah aneh? Siapa nama-nama aneh yang tadi dihubungi? Draco dan Naos? Lalu, mengapa sekarang mereka malah berhenti di depan toko baju?

Lalu, suara tembakan tadi …. Napas Kara kembali memburu, jantungnya memacu. Tembakan itu …. Kelebatan bayangan belasan tahun silam yang seharusnya sudah membeku mulai merasuki benaknya. Masa lalu, mimpi buruk. Sosok kecil dirinya yang menjerit histeris, wanita cantik yang harus ia temui tiap minggu, suster-suster berpakaian putih membawa jarum suntik ....

“Kara ….”

Panggilan lembut Zeno menyentakkan lamunan Kara. Pemuda itu membelai lembut tangannya dan melonggarkan pelukan. Ia juga membantu Kara turun dari motor.

Gadis itu masih linglung, segalanya berlangsung terlalu cepat. Kara menurut saja saat Zeno menuntun berjalan melintasi area parkir yang cukup penuh pada hari Sabtu. Jajaran outlet fashion dan kios kuliner di sepanjang jalan utama Kota Bogor menjadi daya tarik turis ke kota kecil ini setiap weekend.

Matahari bersinar cukup terik dan panas pada tengah hari seperti sekarang. Kemudian, ketika menyentuh lantai teras outlet yang dingin, Kara baru sadar ia bahkan tidak memakai alas kaki di sepanjang perjalanan tadi. Diliriknya kaki Zeno yang hanya memakai sandal meski masih terlihat rapi mengenakan setelan jas dan celana hitam. Sementara dirinya? Kara menoleh pada cermin di salah satu dinding dan keterkejutan membuatnya refleks menggigit bibir. Wajah terpulas riasan lengkap, kebaya jingga, celana piama biru, dan rambut berantakan karena empasan angin akibat naik motor tanpa helm. Ia menelan ludah dan memejamkan mata.

Tuhan …! Mengapa hari ini kacau sekali?

Kara melirik-lirik kepada pengunjung dan penjaga outlet yang balas menatap aneh kepada dirinya. Zeno? Kekasihnya itu tetap tenang dan tak peduli pada sekitar, masih menggenggam tangannya erat dan menuntun ke area pakaian wanita.

“Kamu tunggu di sini dulu.” Zeno mendudukkan Kara di bangku panjang di depan kamar pas. Ia sudah membuat rencana.

Masih belum berkata apa-apa, Kara menurut saja, otaknya mati rasa. Zeno sudah pergi dari hadapannya. Giliran ia sibuk dengan pikirannya sendiri.

Kara memutar ingatan mencoba merunut-runut kejadian hari ini. Acara pertunangan dengan Zeno sudah direncanakan jauh-jauh hari. Subuh-subuh, Nancy sudah datang untuk men­dandani dirinya dan para sepupu. Kue-kue pesanan kate­ring su­dah tersaji sejak pukul delapan. Para kerabat mulai berda­tang­an pukul sembilan. Setengah jam kemudian, keluarga Zeno datang. Pukul sepuluh lebih sedikit, dirinya dan Zeno resmi bertunangan.

Sampai di sana, tidak ada yang aneh. Bahkan, di acara ramah tamah makan siang, semua tamu undangan begitu riang gembira. Mama, para om-tante, bahkan pihak keluarga Zeno mulai terlibat perbincangan rencana pernikahan yang sudah setengah siap dan akan berlangsung tiga bulan lagi. Semua berjalan sesuai rencana. Kara baru terkejut saat Zeno tiba-tiba menariknya masuk ke kamar tamu.

Telunjuk Kara memijat pelipis kiri yang terasa berdenyut.Rasa kalut menggiringnya pada trauma yang pernah ia alami, dan bukan hal mudah memerintahkan pikirannya untuk menutup mimpi buruk masa lalu yang muncul.

Fokus, Kara! perintahnya kepada diri sendiri. Zeno menelepon dan memberi perintah tegas kepada entah siapa dengan raut wajah tegang. Ingatan Kara mulai membaik. Kemudian, muncul suara letusan tembakan itu .…

Napas Kara tertahan, tangannya terkepal kencang menahan gemetar. Kelebatan bayangan Mama dan Papa kembali muncul. Tenang, Kara …. Ayo, coba ingat-ingat detail apa yang aneh, perintah otaknya. Ada pria berkemeja merah dan berkacamata hitam, pria yang menjatuhkan dirinya saat bergelantungan pada segulung seprai.

Bulu kuduk Kara meremang mengingat kejadian berbahaya tadi.

Siapa gerombolan itu? Zeno bilang, ia harus membawanya pergi. Ke mana? Lalu, siapa yang membawa pistol dan melepaskan tembakan? Apa ada yang terluka?

Kara menjengit saat menyadari tiba-tiba Zeno sudah berlutut di hadapannya, meraih pergelangan kaki, dan membersihkan telapak kakinya menggunakan tisu basah. Berlarian di aspal sukses membuat kakinya kotor dan berdebu luar biasa. Ia melihat Zeno yang sudah memakai sepatu kets biru tua dan kantong belanjaan besar tergeletak di sampingnya.

“Dapat tisu basah dari mana?” Dari segala pertanyaan yang berkecamuk dalam kepala Kara akibat panik mendera, yang keluar dari mulutnya malah tentang tisu basah.

Kepala Zeno mendongak, tersenyum tipis. “Minta ke karyawan toko.”

Lihatlah, pemuda di hadapannya ini bahkan tetap memikat dengan raut wajah tenang di tengah kepanikan. Kara masih ingat beberapa menit lalu air muka Zeno berubah garang saat menelepon ke sana kemari, perubahan yang lazim saat kekasihnya itu kesal. Kara sudah mengenal sebagian besar sifat Zeno yang entah mengapa selalu membuatnya jatuh hati dan memaklumi.

Zeno tipikal pria yang tidak banyak bicara dan terlihat judes kepada orang lain jika belum dikenalnya secara dekat. Ditambah sikap tegas dan sorot mata yang selalu tampak mengintimidasi, sering membuat bawahannya di kantor merasa segan. Kesan itu pula yang Kara dapat saat mereka kali pertama bertemu. Tenang, kaku, bicara seperlunya.

Akan tetapi, semakin lama mengenalnya, Kara juga tahu Zeno sosok penyayang keluarga, bisa tertawa lepas, bercanda, dan hangat kepada orang-orang terdekatnya. Kalaupun sifat galak Zeno muncul, itu hanya karena kekhawatiran dan ingin melindungi.

Lihat selengkapnya