Jumat malam. SCBD. Lantai 23 restoran privat dengan nama yang tak perlu disebut—semua yang penting tahu tempat ini tak menerima reservasi kecuali kamu masuk daftar tamu gala.
Langit Jakarta mendung, tapi di dalam ruangan penuh lampu kristal dan aroma sandalwood mewah, tidak ada yang peduli pada cuaca. Para undangan perempuan mengenakan busana dari koleksi desainer terbaru: warna-warna pastel, potongan rapi, perhiasan mencolok tapi “katanya” elegan. Yang laki-laki berdasi rapi, sebagian sengaja menyisakan dua kancing atas kemeja agar terlihat “santai tapi tajir”.
Acara amal bertema “Women Who Inspire” baru saja dimulai. Champagne mengalir, kamera para fotografer freelance sibuk menangkap siapa bersalaman dengan siapa. Tiap foto bisa jadi PR atau bisa jadi PR disaster—tergantung siapa yang mem-posting duluan.
Alia Meindrasari memasuki ruangan lima menit lebih awal dari biasanya. Blazer putih gadingnya seperti dinding—mewah dan dingin. Ia menatap dekorasi panggung dari jauh, lalu menarik napas panjang.
“Lighting-nya jelek. Mata mereka semua akan merah,” bisiknya pada staf event organizer.
“Baik, Bu Alia.”
“Dan jangan biarkan wartawan dari Citra Urban masuk. Mereka suka twist narasi.”
Alia berjalan pelan. Seolah tidak mendengar apa pun. Tapi telinganya menangkap semuanya. Ia mendengar CEO fintech sedang membicarakan merger diam-diam. Ia tahu putri konglomerat di ujung ruangan sedang berbicara soal pemecatan diam-diam terhadap perawat bayi yang dianggap “tidak punya attitude”.
Tania Surya datang belasan menit setelah itu. Hijab satin lavendernya seperti selendang drama. Di belakangnya, asisten pribadi membawa clutch mungil dengan logo emas yang memantul di lampu.
“Jangan ambil angle bawah. Ini bukan iklan mukena,” katanya sambil tersenyum pada fotografer,
"Dan jangan tag sebelum aku kasih caption. Ngerti, kan?"
Di meja VIP, Raka sedang berbicara dengan Mira, pemilik rumah rehabilitasi spiritual.
“Tempatmu masih penuh, Mi?”