Cowok yang membiarkan seorang gadis pulang sendirian di tengah malam adalah spesies makhluk berjenis kelamin laki-laki, tetapi tidak jantan.
—Raka Geraldi Pranaja
•~•
Si Tai itu membuat Raka geleng-geleng kepala untuk yang kesekian kalinya.
Sahabat Raka yang seperti tai itu selalu tersenyum memperhatikan seorang gadis yang dibawanya ke studio—tidak, bukan hanya seorang, tetapi dua orang, dan parahnya Raka sama sekali tidak mengenal mereka—tanpa sepengetahuan Raka dan anak-anak. Rendy memang selalu seenaknya, karena dia yang paling muda di band sekaligus persahabatan mereka. Ketimbang Ivan yang sering ngomong tidak jelas, dan jarang ikut ngumpul karena cowok itu kuliah di jurusan yang berbeda, tingkat kewarasan Rendy lebih penting untuk dipertimbangkan. Rendy seorang laki-laki, tetapi setiap mereka membuat janji main band, dia tidak pernah absen minta jemput di rumah. Padahal tetap saja dia membawa motor sendiri.
Tidak heran kalau mereka menyebutnya si Bontot, dia memang yang paling bontot. Tapi kali ini, si Bontot sudah bertingkah seolah dia yang paling dewasa. Dia sudah berani bawa-bawa gadis tanpa izin. Dua lagi. Rasanya Raka ingin mengumpat saja.
Rendy hanya tertawa-tawa saat Ivan mengatakan ini, “Mantep juga lo, Ren, bisa memutus tali kejomloan mahasiswa Fakultas Teknik.”
Mau tidak mau Raka juga ikut tertawa. Sedangkan gadis yang datang karena Rendy hari ini menutup separuh wajahnya dengan tangan. Raka menyeringai, seratus persen ia jamin gadis itu tidak akan lama lagi pasti minta pulang.
“Ren, pulang, yuk.” Nah, Raka memang tidak pernah salah kalau sudah menebak. “Mumpung hujannya nggak terlalu deras.” Itu alasannya minta pulang.
Dua manusia yang tampaknya sedang kasmaran itu sama-sama bangkit dari kursi mereka. Raka melirik gadis di samping Zara—nama gadis yang bersama Rendy—tampangnya mulai gelisah. Raka dan yang lain pun tak ada yang mau bertanya bagaimana gadis ini pulang kalau Zara diantar Rendy, karena dia tiba di studio bersama Zara. Ke restoran ini pun dengan Zara.
“Za! Aku pulangnya sama siapa?!” Raka memperhatikan gadis itu. Wajahnya lucu sekali saat dia berbisik pelan untuk menahan Zara agar tidak pergi. Kulit wajahnya yang sangat putih kini sedikit memerah. Sayangnya, gadis cantik itu tidak beruntung.
“Bandtar, tolong anterin dia, ya.” Sialan, maki Raka. Rendy sialan berkata demikian seraya menadahkan tangan kepada Zara, untuk kemudian gadis itu menyerahkan kunci mobil pada Rendy. Rendy melempar kunci itu ke atas meja.
Bandtar; band mereka yang dibentuk sejak pertama kali mereka masuk perguruan tinggi.
Raka berdecak. Angkat tangan. “Jangan gue,” tolaknya lebih dulu.
Namun Rendy sudah berlalu dengan gadisnya. Teman Zara seketika menunduk lemas, kepalanya dibiarkan tenggelam di balik lipatan tangan di atas meja.
Gumamnya lirih, “Aku gimana....”
“Van, anterin, deh, kasihan anak orang,” ucap Raka mulai mengeluarkan laptop dari dalam ransel. Seketika setelah laptop sudah dibukanya, alis yang memiliki bekas luka itu berkerut. Mengerjakan hal yang sia-sia lagi, lalu tertawa sinis untuk diri sendiri.
“Lah, gue naik motor, Ka,” Ivan mengelak.
Sinting.
“Bawa jas hujan, sih. Lo mau gue anterin? Nggak apa-apa emangnya kalau naik motor? Gue udah mau pulang, sih, kelamaan soalnya kalau nunggu hujan reda.” Ivan memandang ke luar jendela. Tanda-tanda hujan akan teduh memang tidak ada.
Gadis itu menggeleng ragu. Jelas saja. Siapa yang mau hujan-hujanan selain Ivan? Tidak ada. Perempuan pula.