“Tania, aku berangkat ya,” suara itu lelaki itu memecah pagi.
“Tunggu, Kak. Bentaaar lagi! Sabaaar dong, Kak.” balas Tania
Di dalam kamar, gadis itu mematut dirinya di depan cermin cukup lama. Entahlah, dia sudah berganti gamis dan kerudung untuk yang ke berapa kali.
Bagaimana ya kalau Kak Rendra lihat penampilanku? tanya gadi berlesung pipi itu dalam hati.
Sudah ah, aku nggak akan ganti lagi. Sudah siang, takut telat berangkat kuliah.
Sementara dari luar kamarnya, Rendra sudah berulang kali melihat jam di dinding. Dia mondar-mandir dan tampak gusar.
“Tania Kusuma Wardhani, kamu lagi ngapain sih kok lama banget!”
“I.. iya … tunggu, Kak,” Tania tersenyum. Buru-buru dia menggendong tasnya. Dia pastikan semua buku materi kuliah hari ini sudah masuk ke tasnya.
Begitu gadis berhijab itu keluar, kakak lelakinya terhenyak. Suasana seketika hening.
“Ayo, Kak. Sudah siang kita berangkat!” seru Tania.
Rendra masih mematung. Sama sekali dia tak bisa menyembunyikan kekagetannya. Matanya terbelalak dan tubuhnya benar tak bergerak persis maneken.
Tania terdiam menatap kakaknya sambil menyunggingkan senyum manis lesung pipinya. Dia buru-buru mengibas-ngibaskan tangannya ke arah muka Rendra. Kini giliran Tania yang balik membalas Kakaknya.
“Rendra Kusuma Wardhana, ayo lekas berangkat! Ada apa dengan Kakak hari ini? Kenapa bengong?” Tania mendekatkan wajahnya ke arah Rendra sambil tersenyum menggoda.
Setelah itu Tania melangkah keluar rumah. Tak lama kemudian, Rendra yang mengenakan kemeja lengan pendek silver dan celana bahan hitam pun segera melangkah, berusaha mengejar adiknya.
“Adik Kakak yang manis, Masya Allah. Kamu kok nggak bilang-bilang ….”
“Sudah … sudah Kak, aku memang sengaja nggak bilang sama Kakak,” potong gadis berkulit putih itu. Salah satu matanya berkedip-kedip menggoda sang kakak.
Bulu matanya yang lentik hitam alami membuat siapa pun yang menyaksiakannya akan mengatakan Tania sangat cantik. Wajahnya kini tampak lebih berseri dengan balutan hijab. Gamis dan kerudungnya senada, warna pastel, biru tosca.
Rendra duduk di motor gedenya, bersiap-siap menyalakan kendaraan kesayangannya.
“Jadi ceritanya bikin surprise gitu?” Rendra terkekeh.
Tania mengangguk. Dia segera naik motor gede itu, sudah duduk standby di belakang kakaknya.
“Sudah siap?” tanya Rendra.
“Sudah, let’s go!”
Motor gede pun meluncur menuju kampus yang berlokasi di kawasan Depok. Dari kawasan Pejaten, Pasar Minggu, kurang lebih mereka memerlukan waktu sekitar setengah jam.
Sepanjang perjalanan keduanya tak berhenti mengobrol. Keduanya tampak sangat bersemangat. Dari dulu mereka memang kakak beradik yang kompak.
“Dik, aku benar-benar bahagia lho. Lihat kamu seperti ini.”
“Aku lebih bahagia lagi lho Kak. Aku bangga punya Kakak. Semua ini karena Kakak.”
“Lho … lho … kok gara-gara Kakak sih, harus lillah, karena Allah Dik Manis,” Rendra terkekeh lagi. Pandangannya tetap fokus ke jalanan yang mulai padat merayap.
“Iiih… Kakak. Nggak gitu Kak. Pastilah aku berhijab karena Allah. Tapi kan jalan hijrahku ini sabab-musababnya gara-gara kakak yang supercerewet. Gimana nggak bosen coba, tiap hari kakak selalu ceramah soal hijab,” Tania pura-pura kesal.
Rendra hanya menanggapinya dengan semringah.
“Dik, apa alasan yang menguatkan untuk memutuskan hijrah dan mengenakan hijab?”