“Eddie kirim salam,” kata Divya sambil meletakkan makanan di atas meja. “Kami mampir sejenak setelah melihat gedung pemerintahan pusat. Butik barunya hanya 10 menit dari sana.”
Shayla mengambil salah satu minuman. “Bagaimana kabarnya?” tanyanya sebelum menikmati jus apelnya.
“Yah, kami disambut dengan kalimat ‘apa yang kalian mau’ khas Eddie,” Divya mengatakan tanpa merasa bersalah.
“Kurasa dia memang selalu repot setiap bertemu kita,” Susan menebak. “Walaupun dia menyukai perannya,” lanjutnya cepat. Lalu ia beralih ke detektif yang duduk mengawasi kami itu. “Hai! Aku Susan Jonas, dia Divya Levine.”
Tanpa disangka, Nelson meninju telapak tangannya sendiri. “Aku ingat sekarang!” ia memandang kami. “Rivera Thane dan Divya Levine! Kalian penulis itu!”
“Baru ingat sekarang?” Steve memandang aneh temannya itu. “Kau sejak tadi hanya duduk diam memikirkannya? Kau bahkan hanya perlu mengetik nama mereka di internet dan menemukan identitas itu dengan mudah.”
“Ya, ya. Aku terlalu fokus dengan cara kerja kalian,” detektif itu mencoba mengelak.
Steven mengabaikan alasan Nelson dan kembali pada penyelidikan kami. “Menemukan sesuatu?”
“Beberapa,” jawabku cepat. “Dari pelaku yang tertangkap, kita bisa tahu karakteristiknya. Lalu aku membandingkan dengan beberapa rekaman dari 5 ledakan itu,” kutunjukkan maksudku pada layar ruangan kami. “4 orang sejenis. Tanpa atribut, almamater, usia awal 20an, dan berlari cepat menghindari titik ledakan sebelum terjadi. Aku mendapatkan dari sejumlah rekaman amatir kamera ponsel dan CCTV kota. Tapi semuanya tidak terlalu jelas.”
“Kita mungkin bisa mendapatkannya dari CCTV pertokoan sekitar. Tapi akan perlu izin untuk itu, terlebih karena mereka tidak memasangnya secara online,” tambah Steven melihat peluang lain.
Kepalaku mengangguk setuju, meski tidak senang dengan hasilnya.
Steven mengalihkan pembahasan. “Sejauh ini tidak ada informasi dari saksi sekitar tentang penyerangan Konrad. Beberapa rekaman CCTV nampaknya sengaja dikacaukan saat aksi demo kemarin.”
“Lebih tepatnya hanya pada area parkir saat kejadian Konrad. Semua CCTV gedung dikabarkan baik-baik saja,” Shayla menambahkan. “Aku menemukan rekaman amatir yang tidak sengaja menangkap momen itu, meski tidak terlalu jelas,” ia menayangkan pada layar ruangan.
Rekaman itu berisi mahasiswa yang berhasil merangsek masuk dan mencoba melalui pintu lain. Sekilas rekamannya mengarah pada area parkir yang cukup jauh. Memang tidak terlalu jelas, namun kami bisa melihat seseorang dengan tudung menutup wajah yang menyerang Konrad beberapa kali. Hanya dua detik sebelum kamera itu mengarah ke yang lain.
“Dari rekaman ini dan dibandingkan dengan temuan kita semalam, pakaian beserta rentan waktu keduanya dapat dipastikan mereka orang yang berbeda,” Shayla menyimpulkan.
Kami terdiam, mengetahui sesuatu.
“Seseorang tolong jelaskan padaku,” detektif Nelson memecah keheningan kami.
Jari Shayla mengetik sesuatu dengan cepat. “Saat kami memutuskan untuk ikut terlibat dalam penyelidikan kelompok Liberty ini, kami tahu ada kemungkinan akan bertemu dengan mantan rekan kami, Thomas Harvey,” ia menunjukkan foto orang dimaksud pada layar ruang.
“Para agent menyebutnya pengkhianat karena keluar dari agensi dan tiba-tiba terlihat bergabung dengan kelompok yang sebelumnya menjadi misi kami. Kini ia menjadi target untuk menuntun kami ke sarang kelompok Liberty,” sambung Divya.
Ekspresi Nelson memahami penjelasan keduanya, namun masih penasaran dengan hal lain. “Sepertinya dia bukan orang yang mengincar Konrad,” tebaknya.
Shayla mengganti gambar pada layar ruang. “Kami menemukannya di luar gedung sesaat setelah berhasil masuk dan melakukan sesuatu. Sedangkan penyerangan pada Konrad terjadi ketika Tom Harvey sudah di halaman depan,” ia menayangkan satu video baru yang belum kami lihat sebelumnya. “Waktu yang ditunjukkan hanya berselang 30 detik dari dua kejadian itu. Jadi, kecuali Tom Harvey bisa menyusup dan menyerang Konrad lalu mengganti baju sambil berlari puluhan meter dalam setengah menit, maka kita punya dua orang berbeda dalam kasus ini.”
“Tapi bukan berarti mereka tidak saling berkaitan,” Divya menambahkan. “Bagaimanapun, Konrad termasuk anggota pemerintahan. Meski penyerangannya bersifat personal, waktunya terlalu aneh untuk disebut kebetulan.”
“Keduanya memiliki satu persamaan,” Susan ikut andil. “Memanfaatkan keadaan ricuh.”
Suasana kembali sunyi, hanya pantulan tiap penjelasan ketiganya yang menguap dalam ruang.
Pandanganku menangkap wajah Steven yang diam membeku. Sesuatu sedang mengganggu pikirannya dan ia mencoba menyembunyikannya. “Steve,” panggilku lirih, terlebih ia duduk tepat di sampingku.
Pria itu sedikit tertegun seakan terbangun dari mimpinya. “Riv,” ia segera menjawab. “Kurasa kita bisa istirahat sejenak sekarang. Hari sudah sore dan kita terpaku sejak pagi. Aku butuh udara segar,” ucapnya sebelum beranjak keluar ruangan.
Tanpa saling bertanya pun, kami sudah menangkap sikap Steven yang berubah. Setidaknya kami sebagai sesama agent yang mengenalnya lebih baik, dibanding rekan di luar agensi.
“Aku akan bicara dengannya,” ucapku menawarkan diri dan segera beranjak menyusul ketua tim kami itu. Begitu keluar ruang, aku langsung melihatnya duduk di salah satu bangku bawah pohon tak jauh dari ruangan kami. Dengan cepat kulangkahkan kakiku ke arahnya. “Hei.”
Wajah Steven langsung memandangku. “Hei.”
Aku duduk di sisi lain kursi yang sama. “Ingin membahasnya?”