Taksi yang kunaiki melaju tenang menelusuri jalanan yang masih ramai kendaraan lain dengan berbagai tujuan. Bahkan kami harus mengantri lampu merah sebanyak dua kali pada salah satu jalanan utama karena padatnya kendaraan ditambah pekerjaan konstruksi jalur bawah tanah yang memakan sebagian jalan. Sampai pada saat kami melewati gedung pemerintahan pusat, sang sopir melambatkan kendaraannya sesuai permintaanku. Sekitar 200 meter kemudian, kami berhenti dan aku mengakhiri perjalanan dengan taksinya.
Lalu lalang orang masih ramai menelusuri jalanan tempat aku berdiri. Pertokoan sekitar juga tidak ada yang kosong dengan kendaraan pengunjung. Pandanganku menelusuri sekitar, membayangkan keadaan yang terjadi saat aksi penerobosan kemarin. Jarakku tidak terlalu jauh sehingga dapat merasakan situasi saat aksi mereka berlangsung. Kulangkahkan kakiku, melihat lebih jauh area sekitar gedung pemerintahan pusat negara kami itu. Terutama di sekitar sinilah target kami menghilang tanpa jejak. Kulihat beberapa CCTV jalanan yang terpasang nampak tidak menjangkau toko tempatku berdiri, jadi wajar jika ini menjadi titik buta.
Kakiku kembali melangkah, menelusuri pertokoan yang masih buka. Hingga tak lama, aku tiba di salah satu persimpangan dan menemukan CCTV kota di atas lampu lalu lintas. Itu artinya, target kami tidak sampai menuju ke jalanan ini. Jadi kuputar diriku, kembali menelusuri jalan yang kulewati barusan dan mencari celah pengamatanku. Benar saja, di salah satu toko, kulihat sela kecil yang mengarah ke belakang pertokoan. Kulihat lagi beberapa CCTV jalanan dan dugaanku benar. Celah ini berada di titik buta, sehingga dapat ‘menghilangkan’ orang yang memasukinya. Menemukan hal ini, tanpa ragu akupun masuk dan menelusuri gang sempit yang sulit dilalui dua orang itu.
Tak lama, aku sampai di belakang gedung pertokoan yang suram dan lembab. Cahaya lampu jalanan menjadi penerangan utama selain lampu redup di salah satu toko. Dari sini, orang bisa menuju kemanapun tanpa khawatir terkena CCTV. Kuamati sekitar, mencoba mengetahui posisiku dan pertokoan apa di balik dinding di hadapanku. Bisa kulihat gang yang menuju ke jalanan juga tembus ke jalanan lain, sehingga mirip labirin. Namun sejak awal, aku punya dugaan satu tempat yang menjadi persinggahan targetku. Hanya saja, terlebih dahulu aku harus menemukan caranya ‘menghilang’ dari kerumunan setelah beraksi kemarin. Sekarang aku sudah menemukannya, jadi tujuanku selanjutnya adalah menelusuri jalan sempit di seberangku.
Aku keluar di antara dua toko dan kembali ke keramaian kota. Kulihat map dalam ponselku, lalu menuju ke salah satu arah mengikuti arus pejalan kaki. Tak lama, aku sampai pada salah satu cabang makanan siap saji yang masih ramai dengan beberapa pelanggan. Kakiku berhenti sejenak, lalu memandang sekitar, memastikan tidak ada yang sedang mengikutiku atau bahkan mengamatiku. Setelah kupastikan aman, aku melangkah ke dalam dan ikut mengantri pesanan. Hanya berselang lima menit, aku sudah menyelesaikan transaksi pesananku dan mencari tempat duduk untuk menikmati santapanku. Kupilih kursi dengan meja kecil yang diperuntukkan dua orang, tepat di sisi kaca jendela. Aku sengaja memilihnya untuk memperlihatkan diriku pada siapapun yang kuduga pernah memesan makanan di tempat ini dan menjadi alasan kenapa aku di sini saat ini.
Hampir dua jam aku duduk menikmati minumanku yang rasanya mulai pudar karena bercampur dengan es batu yang mencair. Satu porsi burger sudah habis kusantap satu jam yang lalu, meski aku memakannya dengan sangat pelan. Pandanganku tak henti mengamati sekitar, pada luar jendela dan juga lalu lalang pelanggan, dari keluarga, rekan kerja, teman akrab, hingga pasangan kencan. Tapi aku belum mendapat apa yang menjadi perkiraanku saat kuputuskan untuk menuju ke tempat makanan cepat saji ini. Sebenarnya wajar saja jika aku belum menemukannya, mengingat orang-orang juga masih ramai memadati kota, bukan waktu yang tepat untuk keluar dari persembunyian.
Saat kupikir aku harus menunggu lebih lama lagi, sudut pandangku menangkap sosok yang berjalan dengan tudung jaket menutupi hampir seluruh wajahnya. Ia bukan orang pertama yang berpenampilan seperti itu selama aku di sini, namun bisa kulihat bagaimana ia melirikku—tepat hanya ke arahku—sambil menuju ke celah sempit samping toko. Tanpa buang waktu, aku langsung beranjak keluar dan mengikuti arah langkahnya. Kulewati celah gelap samping toko dan keluar di bagian belakang gedung-gedung pertokoan yang lembab berisi barang bekas dan tempat sampah seperti gang lainnya. Kupandang sekitar dan tidak menemukan siapapun. Namun aku mengeluarkan pistolku dan mengendap-endap sambil menyalakan kewaspadaan. Orang yang tiba-tiba menghilang setelah menatap tajam ke arahmu bukanlah orang yang akan mengajakmu salaman dan berbincang akrab. Jadi, aku tidak akan membiarkannya menyerangku duluan.
“Sudah kuduga kau akan menemukan lingkungan persembunyianku,” sebuah suara langsung membuatku berputar sambil mengangkat pistolku. Sumber suara itupun ikut mengacungkan pistolnya, menyamai ancamanku.
Kami saling mengancam dan tahu bahwa setiap serangan kami pasti berdampak buruk bagi masing-masing.
“Lama tak jumpa, River Thane,” ucapnya seakan menyapaku.
Kutarik senyum tipisku, “hallo, Tom Harvey.”
Pria bertudung itu melangkah pelan, membiarkan wajahnya terkena sinar. Lalu ia membuka tudung jaketnya dan tersenyum mendengar sapaanku. “Melihat baju rancangan yang kau pakai dan juga pistol itu, bisa kupastikan kau masih menjadi agent Godwin yang setia.”
Tidak ada sangkalan dariku, bahkan senyum banggaku terpasang jelas menanggapinya.
“Kutebak keberadaanmu di sini masih berkaitan dengan misi 4 tahun lalu dan dengan target yang sama,” Tom kembali bersuara. “Mencegah aksi para penegak hak rakyat dan melindungi orang penyebab aksi mereka.”
Tetap tidak ada tanggapan dariku dan pistol kami berdua masih saling mengancam.
“Sepertinya kalian memang sudah menjadi babu pemerintah.”
“Kami di sini hanya untuk membantu. Semua berkaitan dengan bisnis dan informasi, kau tahu itu,” ucapku akhirnya.
“Membantu mencegah kebebasan rakyat?” ia masih bersikeras dengan pendapatnya.