“Arrgh!!” teriak Tom bersamaan dengan cipratan darah yang mengarah pada wajahku.
Sontak, kami langsung memandang sekitar dan menemukan sumbernya. Tanpa menunggu serangan selanjutnya, kami langsung merunduk dan berlindung di balik kotak sampah besar dari tembakan yang datang tiba-tiba.
“Argh!! Sial! Serius, Riv?!” protesnya ke arahku.
“Apa? Itu bukan aku!” bantahku balik protes.
Tom tidak menjawab, namun pandangan datarnya ke arah kalung yang kini terlihat akibat jaketku yang terbuka setengah saat pertarungan kami barusan.
“Aku tidak hilang! Tak ada alasan bagi mereka untuk melacakku saat ini,” sangkalku kesal. “Mereka tahu aku sedang keluar. Lagipula, mereka tidak akan meleset,” lanjutku, mengingat sasaran tembakan mereka adalah lengan atas Tom yang tepat menutup kepalanya tadi.
Pria di sampingku itu mengendap-endap, lalu mengintip ke arah sumber tembakan sebelum kembali berlindung. “Ya, kau benar. Itu dari kelompokku,” ia mengaku salah.
Tak perlu ditanya kenapa mereka memburu kami, atau lebih tepatnya pada Tom. Aku bukan sasaran utama mereka, kecuali jika menganggapku ikut campur urusan mereka.
Kulempar sebuah botol kaca yang ada di sampingku, cukup membuat perhatian lawan baru kami itu teralihkan. Lalu dengan cepat kuambil pistol yang tak jauh dariku, memasang pelurunya, dan menembakkan beberapa kali ke arah mobil mereka.
Satu dari tiga orang terkena peluruku. Tapi pembawa senapan yang menjadi ancaman utama kami lolos dari tembakanku.
“Bagus! Sibukkan mereka sebentar,” Tom bergerak mengendap-endap.
“Kau tertembak—“ aku ingin mencegah, namun ia sudah lebih dulu bergerak, ditambah beberapa peluru yang belum berhenti mengincar kami. Tak ada waktu untuk berdebat. Perlahan, aku mengarah ke sisi kiri tempat sampah, lalu menembakkan beberapa peluru ke arah mereka.
Perhatian penyerang kami itu langsung ke arahku dan kembali mengeluarkan pelurunya tanpa peduli siapa yang mereka hadapi.