Tok tok!!
Kami berdiri menghadap ke sebuah pintu dan menunggu. Ini kedua kalinya aku mengetuk, hingga suara langkah membuat kami hanya terdiam. Penghuni di dalam terhenti sejenak saat tepat di depan pintu sebelum membukanya.
“Astaga Riv! Jam berapa—“ ia terhenti, lalu melotot pada orang yang di belakangku, baru menyadari keberadaannya.
“Hallo, Eddie,” sapa Tom.
“Kau!” geram Edward, bahkan bersiap menerjang.
“Eddie, tenang! Dia bersamaku,” cegahku cepat.
Pemilik butik itu terdiam. Ia terbata sambil memandangku dan Tom bergantian. “Kenapa kalian di sini?”
“Ceritanya panjang.”
“Bagaimana dia bisa bersamamu?”
“Ceritanya lebih panjang,” sahutku lagi dengan cepat. “Boleh kami masuk?”
Tatapannya memeriksaku, lalu menajam ke arah Tom. “Oke. Masuklah,” ucapnya akhirnya.
Kami memeriksa sekitar lagi, memastikan tidak ada yang melihat kami di beranda atas sebuah butik ternama. Setelah itu, kami masuk dan Edward segera menutup pintunya rapat. Kami berada di atas butik cabang baru Hudson Fashion, dimana ruang atas menjadi hunian nyaman sang pemilik. Walaupun tidak senyaman rumah aslinya, tapi ada sofa, kasur, dan peralatan elektronik lain layaknya sebuah kamar hotel dengan beberapa design baju dan produk lainnya.
“Apa dia menghajarmu?” tanya Edward sambil membuka salah satu lemari dapur kecil dan mengeluarkan kotak obatnya.
“Kami bertarung,” jawabku sambil mengusap wajah pada wastafel. Kuterima kotak obat yang diberikannya lalu menggeret Tom ke salah satu kursi untuk mengobati sayatan di lengannya.
“Apa itu perbuatanmu?” Edward kembali penasaran.
“Bukan. Tapi bagian wajahnya,” ujarku sambil mulai membuka perban Tom.
“Bagus,” Edward menyeringai senang mendengar jawabanku.
“Hei!” protes Tom memandang kami datar. “Cobalah untuk tidak menikmatinya,” ia memandangku yang mulai memeriksa lukanya.
“Aku sangat menahannya,” ekspresiku menyamai wajah Edward, sepemikiran dengannya. Aku mulai membersihkan luka Tom dan segera menjahitnya sebelum menutupnya lagi dengan perban.
“Jadi, apa yang sebenarnya terjadi?” Edward masih mengejar pertanyaan sebelumnya.
“Cerita singkatnya, aku punya kunci rencana kelompok Liberty dan kini mereka mengejarku karena aku tidak bersama mereka,” jelas Tom.
“Sepertinya kau mendapatkan karmamu,” Edward menanggapi, masih dengan seringai bahagianya.
Tak lama, aku sudah selesai mengobati luka Tom dan menutupnya rapi. Pandanganku beralih pada pemilik ruang, “Eddie, dimana revolvermu?”
“Kenapa?” Edward curiga, namun tangannya mulai mengarah ke benda yang kutanyakan.
“Aku akan ke kamar mandi dan kau harus aman. Ambil senjatamu dan arahkan padanya. Jika dia mencoba bergerak dari tempatnya, tembak dia,” jelasku santai.
Edward menarik tangannya yang tenggelam pada sela sofa. Sebuah revolver sudah siap di tangannya dan memandang lurus pada kami. “Oke. Ganti bajumu, ambil di lemari ujung.”