“Selamat datang! Silahkan pesan apa?” sapa sang pelayanan dari balik mejanya.
“Satu burger biasa, satu double beef burger, dan dua jus jeruk,” kataku memesan untuk kami berdua.
“Baik! Ada lagi?”
“Tidak, terima kasih,” ucapku sopan, lalu menyingkir dan mencari bangku kosong untuk kami.
Tom yang berada di sampingku langsung mengambil alih pembayaran sebelum pelayan yang mencatat pesanan tadi berteriak padaku.
Sebuah meja dengan dua tempat duduk di ujung ruang, jarak satu meja dengan jendela. Tempat yang kupilih lokasinya sangat berlawanan dengan meja yang kutempati kemarin.
“Astaga! Setidaknya kau bilang dulu pada pelayan tadi sebelum pergi meninggalkannya!” ucap Tom kesal sambil menyeret kursi di depanku agar berada di sampingku, memudahkannya melihat depan.
“Bukahkah kau bilang akan mentraktirku?”
“Ya, tapi sikapmu tadi seperti bermain lelucon!” ia bersikeras.
“Silahkan!” seorang pelayan lain mengantarkan pesanan kami.
“Terima kasih,” jawab Tom.
Pelayan itu mengangguk kecil, lalu segera pergi melanjutkan pekerjaannya.
Tom segera mengambil double beef burger dan melahapnya nikmat. “Tak kusangka, kau masih mengingat favoritku.”
Sisi kanan bibirku tertarik menanggapi. “Aku juga kaget kau masih hafal nomorku,” balasku, mengingat nomor yang ia hubungi lewat penjaga kasir tadi adalah milikku.
Seakan tertangkap basah, orang di sampingku itu hanya terdiam, menyibukkan diri dengan makanannya.
Kugigit pesananku sambil tetap memandang sekitar. Dari posisi kami, aku bisa lihat hampir seluruh area resto cepat saji itu, terutama bagian pintu. Beberapa pelanggan lalu lalang dari pintu itu saling bergantian mengisi meja.
Kami berdiam di meja kami, menghabiskan lebih dari satu jam duduk dan mengamati sekitar. Berita di TV masih menyajikan topik yang sama, meski dengan menampilkan pendapat beberapa menteri dan anggota dewan yang terlibat dalam peraturan baru itu. Tidak banyak pembahasan yang berubah, kecuali dengan persiapan para pihak keamanan untuk demo massal besok, himbauan tetap tertib, dukungan penolakan dari beberapa anggota dewan, dan ajakan beberapa tokoh untuk tidak mudah terprovokasi. Dengan berita yang disajikan seperti itu, tak heran jika banyak pelanggan yang mengabaikan layar kaca meski suaranya dapat terdengar dengan baik. Entah lelah atau bosan, yang jelas mereka tidak terlalu tertarik dengan apa yang ditayangkan di TV.
Beberapa pelanggan masuk dan keluar bergantian, hanya fokus pada meja kasir untuk memesan makanan mereka. Sebagian besar mereka pesan untuk dibawa atau mungkin makan di tempat namun tidak membuang waktu, mengingat ini masih jam sarapan. Kesibukan kota dimulai hingga kepadatan jalan muncul lagi.
“Menurutmu, apa yang terjadi saat aku kembali dengan kalian?”
Pertanyaan Tom barusan berhasil mengalihkan fokusku yang terus tertuju pada para pelanggan resto.