Kutelusuri area sekitar ruangan kami, memastikan kemungkinan tempat lain yang menjadi tujuan keduanya. Yang jelas, bangunan utama bukanlah pilihan tepat dan ruang samping terlihat sepi. Jadi satu-satunya tujuanku adalah taman dan area parkir. “Tom!” kucoba memanggil orang yang sangat memungkinkan untuk menjadi biang kerusuhan.
Tak ada jawaban dari pemilik nama. Orang-orang sekitar juga menunjukkan sikap tenang, yang artinya mereka tidak melihat hal-hal yang membahayakan di sekitar mereka tadi.
“Tom!!” aku kembali memanggil, kini mendekati area parkir.
“Arrrghhh!!!” sebuah teriakan menggema. Suaranya teredam dalam sebuah ruang, namun tetap terdengar karena cukup keras. Teriakan itu bukanlah teriakan kesakitan, namun lebih pada kekesalan, amarah, dan kesedihan. Dan itu suara pria.
“Tom!!!” kupanggil nama itu sekali lagi, kini melangkah cepat ke area parkir, dimana aku mendengar asal teriakan tadi. “Tommy!!”
“Di sini, Riv!” jawab sebuah suara dengan nada santainya.
Aku langsung berlari menuju ke mobil yang kukenal baik. Tapi kemudian kewaspadaanku menyala saat melihat lebam mukanya. Kuarahkan pistolku cepat. “Tunjukkan tanganmu!” perintahku.
“Astaga, tenanglah!” kata Tom yang bersandar pada mobil agensi Godwin itu. Ia mengangkat kaos, menunjukkan sebuah pistol yang tersimpan di perutnya. Lalu mengangkat kedua tangan dan berlutut menghadap mobil, memperlihatkan bahwa ia sama sekali bukan ancaman.
Kuatur posisi di belakangnya sambil tetap mengarahkan senjataku. “Berdiri!” perintahku lagi.
“Aku bukan ancaman, Riv,” ucapnya sambil bangkit dan tetap menyatukan jemari di belakang kepalanya. “Ini pertama kalinya kau memanggilku dengan nama itu sejak perjumpaan kita semalam,” ia berbalik perlahan, membiarkanku tetap mengawasinya.
Tak buang waktu, aku langsung mengambil pistol di perutnya, lalu menyimpanya di punggungku. Aku menggeledahnya cepat, memastikan tidak ada senjata lain yang disembunyikan.
“Apa aku perlu membuatmu kesal dulu agar memanggilku dengan nama akrabku tadi?” kata Tom membiarkanku memeriksa badannya. “Setidaknya jangan membentakku dengan nama itu,” protesnya namun dengan nada santai.
Tatapan kesalku mengarah tepat pada matanya, mengabaikan semua kalimatnya. Perhatianku tertuju pada mobil agensi dan menemukan seseorang di dalam dengan nafas terengah-engah. “Steve?”
“Dia tak apa,” Tom menjawab kekhawatiranku. “Hanya pelampiasan sejenak,” lanjutnya. Ia menggeleng dan menyeringai, “astaga, kalian tidak peka sekali. Dia menahan semua emosinya sejak video kasus Jason diputar. Aku bahkan melihatnya mengepalkan tangan beberapa kali untuk menyembunyikan amarahnya.”
“8 kali,” kataku. Kuarahkan pandangan ke lawan bicaraku itu, “aku juga melihatnya. Setidaknya ia mengepalkan tangan 8 kali secara diam-diam.”
“Baiklah, ternyata kau mengetahuinya.”
“Lalu kenapa kau tidak mengatakan apapun saat keluar ruangan tadi?!”
“Serius, Riv? Menurutmu, kenapa dia menyembunyikannya dari kalian?” ia balik bertanya. “Dia seorang ketua, pemimpin tim. Dia harus terlihat kuat dan tidak ingin membuat kalian khawatir tentangnya. Tugasnya adalah melindungi kalian, bukan sebaliknya. Tanggung jawab itu membuatnya bertahan selama beberapa jam di ruangan tadi,” jelasnya. “Lagipula, dia juga harus menjaga martabatnya. Dia calon Chief Godwin, ingat?”
Aku tidak menanggapi, meski kuakui penjelasannya benar. Pandanganku mengarah pada jendela penumpang, melihat Steven yang mengusap wajahnya dan memasang senyum kembali.
“River,” Steven keluar dan memandangku tenang. “Maaf, kurasa aku gagal bersikap profesional kali ini. Ini lebih sulit—“
Kalimatnya terpotong saat aku memeluknya. Kutahan pelukanku, membiarkan dirinya lebih tenang. Atau mungkin dirikulah yang lebih membutuhkannya.
Perlahan, Steven membalas pelukanku. “Maafkan aku—“
“Kau tidak gagal,” kataku kembali memotongnya. “Kau menahannya selama 4 tahun dan bersembunyi dalam sikap profesional. Kau hanya lelah dan butuh istirahat,” ujarku. Kuhela nafasku sejenak, lalu melepas pelukan kami dan menatap matanya tenang. “Kita tidak bisa selalu bersikap profesional selamanya,” kuulang kalimat yang diucapkannya kemarin.
“Tapi setidaknya itu membantu untuk melewati situasi ini,” ia membalas dengan percakapan kami. “Aku sudah lebih baik sekarang. Tenang saja,” senyumnya terpasang.
Kubalas senyumnya, menerima jawabannya. “Kenapa kau tidak mengatakannya saja padaku?” tanyaku sedikit protes. “Kau bisa percaya padaku lebih dari dirinya, kan?” kutunjuk Tom sekilas.
“Aku tidak ingin membuatmu khawatir,” Steven kembali menenangkanku.