Jam 22.00 kami bangkit dari sandaran kami, berkumpul dalam satu lingkaran dan siap mendengar instruksi aksi malam ini.
“Mari kita mulai,” Detektif Nelson membuka peta pelabuhan. “Kita akan sebar pasukan pada titik-titik terdekat petikemas yang kita curigai. Kita akan tetap membagi pasukan dengan fokus pada area barat dan timur,” ia menunjuk tempat yang dimaksud. “Trevor dan Steven, bagaimana pasukan kalian?”
Trevor memberi gambaran, “satu sniper, dua anggota taktis, dan aku akan mengambil bagian barat, dua lainnya di timur.”
“Shayla akan menjadi mata kita bersama Chad untuk memantau wajah mereka,” sambung Steven. “Divya dan Tom mengambil posisi sniper di pasukan timur bersama River dan aku. Leyla dan Susan di pasukan barat.”
“Bagitu kita mendapat nomor petikemas itu, semua pasukan langsung bergerak memutar bagian belakang untuk mengepungnya. Posisi sniper tetap, guna memantau dari atas,” Nelson menambahkan. “Tetap sembunyikan keberadaan kalian, bergerak dalam senyap.”
“Dimengerti,” jawab kami kompak.
“Kita bergerak sekarang,” sang detektif menutup pengarahan misi kami.
“Laksanakan!” ucap kami serentak dan mulai mempersiapkan diri.
“River, Tom, dan Chad akan berangkat denganku. Divya, Shayla, Susan, Leyla, gunakan mobil satunya. Kita berangkat sekarang,” Steven kembali memberi arahan.
Kami mengangguk menyetujui dan langsung bergegas.
“Langsung berangkat? Tunggu. Kalian tidak pakai—“ Nelson menghentikan ucapannya sendiri, lalu mengangguk, “benar juga. Pakaian kalian sudah anti peluru.”
“Apa yang kau bicarakan?” Susan memandang heran si detektif. “Senjata dan peralatan kami ada di mobil, itulah kenapa kami membawa mobil sendiri.”
Wajah Nelson terdiam, meski ia menangkap penjelasan barusan.
“Pakaian kami memang kebanyakan anti peluru. Tapi saat ini kami memilih untuk memakai rompi anti peluru agar terlihat seperti kalian. Jadi mereka akan mengira kami adalah pasukanmu,” Divya melengkapi penjelasan Susan.
“Oh, benar juga. Jadi identitas Godwin akan tetap tersamarkan,” Nelson mengangguk paham.
“Tepat sekali,” kata Leyla sambil tetap melangkah menyusul rekannya yang sudah berjalan lebih dulu.
Kami menuju mobil masing-masing sesuai pembagian Steven. Keempat rekan kami langsung masuk dan siap mengekor pasukan keamanan, sama seperti kami. Steven pada posisi pegang kemudi dan aku di sebelahnya, sedangkan Tom dan Chad ada di bangku penumpang.
Tak lama kemudian, mobil pasukan kepolisian disusul mobil dari anggota intelijen mulai melaju ke jalanan. Kami mengikuti mereka dari belakang, tanpa menggunakan sirine yang dapat memicu kecurigaan sekitar. Jalur yang kami pilih juga bukan jalur biasa, sehingga kedatangan kami ke pelabuhan akan sulit dilihat masyarakat umum, setidaknya.
Kami sampai di area pelabuhan, lalu segera menuju ke lahan belakang, dimana mobil kami akan tersamarkan. Seorang petugas pelabuhan yang bekerjasama dengan kami langsung menyambut dan memberi laporan keadaan pelabuhan. Tidak ada pergerakan sejauh ini, sehingga kami bisa bersiap dengan lebih tenang. Shayla dan Chad langsung diarahkan ke pos jaga untuk persiapan ‘mata’ misi malam ini, sedangkan yang lain sibuk memeriksa keamanan dan perlengkapan senjata.
“Pakai ini,” Steven memberikan sebuah rompi anti peluru pada Tom. “Kau dalam pengawasanku sekarang,” lanjutnya, tidak ingin menerima penolakan.
Tom menerimanya, lalu mulai memasang di badannya. “Hei. Kau tahu aku sniper terbaik. Kenapa kau membutuhkan kami berdua dalam tugas yang sama?” ia sedikit protes padaku, tahu jika aku dan Steven telah berdiskusi tentang pembagian tugas ini.
“Kau mungkin yang terbaik. Tapi aku percaya pada Divya dibandingkan denganmu,” jawabku tanpa tekanan.
Divya menepuk bahu Tom dengan seringai santainya, “semoga beruntung,” diberikannya sebuah senapan sniper, sebelum kembali berjalan menuju kotak senapannya sendiri.
“River!” panggil Steven dari pintu kemudi.