Chad berdiri disamping meja dengan beberapa layar sambil membawa detonator. “Jangan mendekat!” ancamnya.
Pandangan kami langsung melihat sekitar, mengetahui ancamannya bukanlah gertakan. Beberapa bom terpasang di dinding dan dekat komputer, cukup membuat hancur satu ruangan tanpa jejak, yang artinya juga menghapus apapun petunjuk kami.
“Chad, kau tak akan melakukannya!” Tom memandang lekat pria itu.
“Aku sudah sejauh ini!” Chad menyeringai, sedih, senang. “Aku tidak akan masuk penjara dan namaku akan dikenal sebagai salah satu pejuang hak rakyat!”
“Chad, kau bisa melakukan lebih baik dari ini. Jika kau menekan tombol itu, kau akan musnah bersama ruangan ini,” ujar Tom.
“Tidak,” ia menggeleng, masih dengan seringainya. “Aku sudah memasukkan virus pada komputer pemerintahan. Mereka akan mengenal namaku dan semua akan mengingatku,” ia menatap kami lekat. “Tidak ada pencapaian tanpa pengorbanan.”
“Baiklah,” Tom mengalah. Pistolnya diangkat, menarik ancamannya. “Kau bisa meledakkannya bersama kami di sini, tapi biarkan aku mengucapkan kata perpisahan pada River.”
Wajah Chad menatap kami, “cepatlah. Pasukan kalian sedang menuju ke sini.”
“Ini hanya satu detik,” Tom meyakinkan. Lalu ia menoleh ke arahku, “Riv, lempar tongkatmu,” tatapannya menajam hanya padaku. “Kau ingat keunggulan kita, kan? Percaya padaku kali ini saja. Lemparkan tongkatmu.”
Kutangkap tatapannya, lalu memandang Chad dengan kesal. “Oke,” kataku sambil melempar tongkatku ke samping yang membuat bunyi nyaring dalam ruangan kami.
Dor! Sebuah tembakan keluar, disusul dengan terjangan ke arah Chad.
“Arrrgh!!!” teriak Chad, lebih ke arah marah dibanding kesakitan.
“Kita sudah pasti jadi tim yang hebat!” komentar Tom yang menghentikan proses penghapusan data komputer dan melihat hasil tembakannya. Ia mengambil lakban dari meja dan memberikannya padaku yang mengamankan badan Chad.
Tangan kanan Chad terluka karena peluru Tom, membuatnya melepas detonator. Badannya juga kesakitan karena terjanganku yang membuatnya tersungkur tak berdaya. Kini tangan kanannya harus berbalut lakban untuk mengamankan lukanya ditambah kedua tangan yang juga menyatu di belakang untuk mengamankan gerakannya.
“Jatuhkan pistolmu, Tom!” perintah sebuah suara dari arah pintu.
Badan Tom berbalik sambil mengangkat pistolnya. “Pelurunya habis, Div,” ia membongkar dan menjatuhkan pistolnya. “Kenapa kau tidak pernah membiarkanku tenang sebentar saja.”
Divya memutar matanya cuek. “Riv?”
“Aman,” jawabku sambil menegakkan badan Chad. “Sepertinya data mereka ada di sini. Kita bisa melihat rencana mereka dari sini.”
“Steven, Detektif! Kalian harus ke sini,” panggil Divya lewat earbud-nya. “Mereka datang,” ucapnya pada kami.
Tom berjalan ke arah meja, melihat beberapa layar, lalu mengarahkan pada Divya. “Sepertinya mereka mulai bergerak,” ia menunjuk sebuah pesan pada beberapa nomor.
“Aksi demo akan dimulai kurang dari dua jam. Tapi bisa dipastikan para aparat keamanan sudah siap sejak saat ini,” komentar Divya.