Mobil kami melesat cepat menembus kemacetan karena jam kerja dan orang-orang yang ikut berdemo. Sirine mobil Nelson terus bergema seiring laju mobil kami yang mencari celah. Steven pegang kemudi, Divya di sampingnya sambil terus memantau perkembangan keadaan, sedangkan aku dan Tom di bangku penumpang mempersiapkan diri dengan senjata, keamanan, dan alat komunikasi.
“Leyla, Susan, dan Aurora bersama 3 agent B sudah siaga dalam kerumunan demonstran untuk mencari pasukan Liberty. Fred mengawasi dari berbagai CCTV sekitar aksi. Aaron menuju ke konstruksi jalur bawah tanah bersama pasukan keamanan. 3 agent dalam pasukan keamanan presiden turut bersiap, sebab di sana juga ada aksi serupa meski lebih sedikit,” Divya memberi laporan.
“Tidak ada jaminan apakah Josh Slade dan Holly Cigara ikut dalam aksi ini, tapi kita tidak akan lengah dengan aksi mereka,” Steven menanggapi. “Bagaimana dengan aksi demonstran?”
“Mahasiswa dan buruh mulai memenuhi area depan gedung pemerintahan pusat. Aku menangkap beberapa video dari unggahan para demonstran, sejauh ini belum menemukan pergerakan kelompok Liberty,” ujar Fred.
“Oke. Terus kabari,” Steven kembali menekan gas mobil lebih dalam untuk mengejar Nelson di depannya.
“Dimengerti,” jawab Fred.
“Teman-teman!” panggil seseorang. “Kalian dengar aku?”
“Jelas sekali, Trevor!” jawab detektif Nelson.
“Kami mendengarmu,” Steven menanggapi.
“Oke, dengar! 3 orangku akan ikut bersama kalian ke area kontruksi, sedangkan aku dan 2 lainnya akan bergabung dalam demonstran gedung pemerintahan pusat,” Trevor memberikan rencananya.
“Dimengerti!” jawab Nelson, mewakili kami.
Kami masih melaju cepat dari celah-celah kendaraan, mengabaikan tatapan orang-orang yang penasaran dengan arah tujuan kami.
Satu helaan nafas terlihat dari Divya yang menggeser layar tablet di tangannya. “Beberapa kota besar sudah mulai melaksanakan aksi mereka.”
“Agensi memerintahkan para agent untuk siaga di area mereka, khususnya kota-kota yang mendapat ledakan kemarin. Memang tidak ada jejak kelompok Liberty dari sana—kecuali ledakan itu—tapi kita tidak bisa ambil risiko meloloskan mereka,” ujar Shayla.
“Kau mendapatkan sesuatu, Shay?” tanya Divya.
“Sejauh ini mereka belum menemukan pergerakan kelompok Liberty selain wilayah gedung pemerintahan pusat. Tapi di sinipun kita juga belum melihatnya, jadi kita tidak bisa menyimpulkan apapun.”
“Lanjutkan, Shay,” Divya menerima laporan Shayla.
Mobil kami berbelok dan sampai di tujuan. Orang-orang dari pasukan Nelson sudah lebih dulu datang dan mengevakuasi para pekerja agar meninggalkan area projek konstruksi. Beberapa alat berat dan perlengkapan lain masih tergelatak di sana, tak ada waktu untuk menyingkirkannya. Jalanan sekitar sudah diblokade dalam jarak aman untuk kepentingan umum.
“Tom, tangani dulu lukamu. Kotak obat ada di bagasi belakang. River, Divya, kita harus segera susun rencana,” Steven memberi instruksi saat kami baru saja keluar mobil.
“Oke,” jawab Tom tanpa bantahan.
Sedangkan kami bertiga langsung menuju ke pasukan Nelson dan melihat keadaan.
Detektif Nelson membuka sebuah peta. “Lorong ini mencapai tepi pusat kota. Rencananya memang ada beberapa cabang yang akan dibangun, tapi pekerjaan masih belum sejauh itu. Jadi kita bisa fokus pada pangkal dan ujung terowongan ini.”
“Jika kita menyerang, ada kemungkinan mereka kembali dan kabur. Kita harus mencegahnya,” Steven memberikan pendapat.
“Itulah kenapa kita perlu membagi dalam 2 tim. Setengah pasukanku akan ke ujung jalur ini bersamaku dan dua orang dari intelijen. Pasukan lain akan datang, tapi kita tak punya waktu untuk menunggu,” Nelson melanjutkan.
“Divya akan ikut bersama kalian. Yang lain akan menyerang dari pangkal,” Steven menambahkan.
Kepala detektif itu mengangguk. “Kuserahkan komando pangkal ini padamu.”
“Laksanakan,” Steven menerima dengan hormat.
Tom dan Aaron turut bergabung setelah menangani luka di dahi Tom. Tampak mereka berjalan tenang setelah berbincang singkat.
“Mereka akan ikut pasukanku. Pastikan kalian bersiap jika kelompok Liberty kembali ke ujung terowongan,” Steven menunjuk kedua orang yang berdiri di dekatnya itu.
Keduanya yang ditunjuk nampak tertegun sejenak, namun langsung memahami begitu melihat peta yang ada di hadapan mereka.
“Lakukan yang terbaik,” Nelson menanggapi. “Kita bergerak sekarang!”
“Siap!” jawab kami serempak, langsung menuju ke pasukan masing-masing.
Divya memberikan kepalan tangannya padaku dan Steven sebagai salam ‘selamat bertempur’ kami. “Jaga diri kalian,” ia menunjuk kedua matanya dan kami bergantian.