Pagi itu, kami menghadiri pemakaman rekan tim misi kami. Sebuah penghormatan diberikan atas pengorbanannya, baik dari jajaran aparat keamanan dan juga dari rekan aksinya. Seluruh pihak yang terkumpul dalam satu ruang markas polisi datang menghadiri pemakanannya, termasuk para agent Godwin yang terlibat. Pihak keluarga terpukul saat peti mulai terkubur, namun bangga dengan apa yang telah ia lakukan. Kami menyimpan detail rekam jejaknya 4 tahun lalu, membiarkan kenangan terbaiknya yang tertinggal.
Aldan Harvey menyalami kami sebagai rekan Tom dan berterima kasih dengan kerjasama ini. Ia mengetahui tindakan Tom 4 tahun lalu dan merasa lega mendengar pengorbanannya yang melebihi kesalahannya itu. Bahkan ia menjadikan peristiwa ini sebagai motivasinya untuk lebih berdedikasi pada pekerjaannya, terlebih dia termasuk daftar anggota dewan yang bersih dan tak tercantum dalam kasus yang ditangani Konrad.
Beberapa jam berlalu, kami mulai undur diri untuk melanjutkan aktivitas masing-masing. Detektif Nelson langsung menuju ke markas kepolisian untuk menulis laporan misi kami, begitupun dengan Trevor dan Dario yang kembali ke departemen intelijen. Aaron menemui menteri Hartman dan memberikan laporan penyelesaian yang berkaitan dengan Konrad. Shayla dan Fred menjadi penghubung kami pada petinggi Godwin dan menyampaikan laporan secara garis besar. Divya mendapat telepon pribadi dari Sean G. yang langsung menjadi bahan gosip baru para agent. Secara keseluruhan, mereka memutuskan untuk beristirahat dari misi besar kemarin.
Semua kecuali aku. Saat mereka kembali ke markas agent kota, kuputuskan untuk berpisah dan menuju ke tempatku sendiri. Waktu sudah siang dan aku ingat punya janji hari ini. Sebuah taksi mengantarku ke suatu tempat yang selalu ramai dengan pelanggan mereka. Aku segera menuju ke meja depan dan memesan 2 paket double beef burger beserta minum untuk menemaniku siang itu. Setelah pesanan siap, aku menuju ke bangku santai dekat jendela dengan sandaran tinggi, sehingga mendapat sedikit privasi dari meja samping. Satu pesanan kuletakkan berjajar di depanku, lalu diam dan menunggu.
Beberapa pelanggan berlalu lalang seperti biasa, mengisi bangku-bangku resto bergantian. Fokusku hanya pada kursi depanku yang kosong, berbeda dengan apa yang kulakukan sebelumnya di tempat yang sama. Kubiarkan lingkunganku ramai dan mengabaikan setiap orang yang datang. Pelayanan resto mendatangiku dan bertanya apakah aku ingin memesan yang lain, namun mendapat jawaban sama hingga tiga kali, dan mereka tidak menggangguku lagi.
Kedua pesananku tidak tersentuh sama sekali, hingga terdapat genangan kecil di dasar gelas. Posisiku tidak berubah, hanya diam memandang bangku dan sesekali ke luar jendela, meski aku tahu akhir dari tindakanku ini. Cahaya lampu mulai mengambil alih sinar matahari, sedangkan apa yang terjadi pada bangku yang kududuki tidak berubah.
Waktu berjalan dan selama aku mendapat kedatangan pelayan terakhir tadi, tidak ada yang mengusikku hingga jam operasional resto cepat saji itu berakhir. Para pelayan mulai membersihkan meja dan seorang lagi membalik tulisan buka menjadi tutup. Aku beranjak, memberikan tip yang cukup atas waktu yang diberikan padaku ini, dan pergi meninggalkan tempat tanpa membawa pesananku yang masih utuh.
Aku berjalan melewati pertokoan yang mulai mengakhiri pekerjaan mereka, meski kulihat jalanan masih ramai dengan beberapa kendaraan. Langkahku menuju ke taman kota yang tak jauh dari sana, belum ingin kembali. Aku duduk di salah satu bangku, memandang ke arah seberang sungai, dimana lampu-lampu kota menemani aktivitas malam mereka. Suasana hening, tak banyak orang di sekitarku, sangat membantuku untuk menyendiri.
Tapi kesendirianku tak berlangsung lama, saat satu sosok menghampiri. Ia berdiri sejenak sebelum memutuskan untuk duduk di sebelahku dalam bangku yang sama. Selama beberapa saat, kami hanya diam, memandang depan dan menikmati damainya malam dari tempat ini.
Setelah beberapa menit, kuambil ponselku dan mulai mengetik sebuah pesan.
Orang yang duduk di sebelahku itu memandangku. “Riv,“ panggilnya pelan.
“Aku hanya menyuruh mereka kembali setelah seharian mengikutiku,” kataku, mengungkapkan apa yang kutulis.
Tak sulit menebaknya. Rekan agentku mengikuti sejak aku berada di resto. Itulah kenapa si pelayan berhenti menghampiriku dan membiarkanku hingga resto itu tutup. Setidaknya ada 4 agent yang mengawasiku, Divya, Susan, Leyla, dan Kenneth. Wajar jika mereka melakukannya karena khawatir, hanya saja kini sudah ada orang yang menemaniku dibanding mengikuti di belakangku. Sepertinya lima orang terlalu banyak untuk mengawasi seorang rekan yang bahkan tidak membahayakan mereka.
Ponselku kembali tersimpan setelah selesai mengirim pesan ke rekan agentku. Tanganku terdiam di saku jaket dan memandang depan dalam hening.
“Apa kau juga akan mengusirku?”
Senyum samarku terpasang, “jika aku mengatakannya, apakah kau akan melakukannya, Aaron?” kupandang dirinya santai.
“Tentu saja tidak,” jawabnya santai. “Kau sudah mengusir rekan agentmu. Aku tidak akan membiarkan dirimu sendirian setelah berjam-jam tadi.”
Jadi, dia langsung menemuiku setelah urusannya selesai. Rekanku berperan penting akan kedatangannya. Aku hanya tersenyum mengetahui apa yang terjadi.