“Hallooo gadis-gadis, bagaimana kabar kalian?”
Aku meninju samsakku dan hanya meliriknya sebagai jawaban.
Shayla menjawab hanya dengan lambaian tangannya tanpa memandang orang yang baru saja masuk ke markas itu.
“Riv, serius. Kau masih marah padaku?” kini ia mendekat ke arahku. “Kau tahu jika gangguan itu kemungkinan akan terjadi dan kita sudah memperkirakan rencana cadangan untuk itu. Justru gangguan padamu itu di luar rencana, tapi kita bisa mengatasinya, kan?”
Kusudahi latihanku dan berjalan mengambil botol air putih yang tinggal setengah terisi.
Divya mengangkat kantong yang ada di tangan kanannya, “satu kotak es krim untuk permintaan maafku semalam.”
Aku memandangnya datar. “2 kotak karena kau menginap di luar markas semalam.”
“Sepakat!” ia mengangkat kantong di tangan kirinya. Ia hafal dengan kebiasaan kami.
Aku menerimanya dengan tawa kecil melihat tingkahnya, “dan aku butuh flashdisk baru,” aku mengarah ke wastafel untuk mendinginkan badanku.
“Ya, tentang itu. Untung saja kau membawa flashdisk kosong sebagai pengecoh. Tapi kurasa teman laki-lakimu itu tidak akan senang,” Divya mengikuti langkahku menuju ke ruang tengah.
“Dia menginginkan flashdiskku, aku memberikannya,” kukedikkan bahuku tanpa rasa bersalah. “Lagipula, walaupun aku tidak membawa flashdisk kosong itu sebagai pengecoh, aku akan pikirkan cara lain untuk kabur semalam.”
Divya memiringkan bibirnya, mencoba menebak. “Dengan melumpuhkan para penjaga?”
Aku menunjuknya, menandakan ia membaca rencanaku dengan tepat.
“Kita mata-mata, bukan pembunuh bayaran,” Shayla memandang kami datar, mencoba mengingatkan.
“Aku bilang melumpuhkan, Shay. Bukan membunuh,” koreksiku santai. “Apa kau sudah mendapatkannya?” perhatianku terarah pada laptop teman kami itu.
“Ya,” jawabnya menunjukkan beberapa gambar di layar utama kami. “5 orang laki-laki dengan baju formal yang terlihat tiba-tiba menghilang saat kau sedang beraksi.”
“Nomor 4,” kataku langsung mengenali wajahnya. “Kirimkan datanya padaku, biar kuselidiki sendiri nantinya.”
“Kau mendapatkannya!” Shayla menunujukkan jempolnya.
“Terima kasih, Shay.”
“Kau ingin pergi kesuatu tempat?” tanya Divya melihatku yang kembali beranjak.
“Cari inspirasi untuk tulisanku,” jawabku sebelum kembali melangkah untuk membersihkan diri.
Divya mengangguk. “Oke, aku ada janji temu dengan Sean sore ini. Jadi, sekarang aku pinjam TV untuk nonton film,” ucapnya sebelum mengalihkan gambar di layar, bahkan tanpa menunggu jawaban dari kami.
-[G]-
Aku duduk dengan tenang di salah satu meja sambil menatap laptopku. Jari-jariku menari cepat dengan beberapa kata-kata yang tertata pada setiap alur inspirasi yang keluar dari pikiranku. Beberapa orang lalu lalang di sepanjang ruangan, namun tidak ada yang menarik perhatianku, karena mereka hanya pengunjung biasa. Hari itu cuaca cerah, membuat beberapa orang lebih banyak menghabiskan waktu di luar ruangan dibanding diam dan menatap langit kaca.
Perhatianku teralihkan oleh suara isak tangis kecil dari bocah yang memegang tablet dan bungkus makanan keringnya. Ia nampak memandang salah satu sisi gedung dengan menggosok matanya yang basah sambil ketakutan. Bahkan ia nampak mencoba menyembunyikan diri dengan mendekatkan diri di meja yang aku tempati.
“Kau kenapa, dik?” tanyaku melihat ke arah pandangannya sejenak, mengetahui tidak ada yang mengejarnya saat itu.
Ia menatapku dengan wajah sedihnya. “Aku merusak tablet ayahku dan aku tidak tahu harus bagaimana.”
“Merusaknya?”
“Aku tidak sengaja!” ia memperlihatkan tabletnya yang eror.
Aku tersenyum, “boleh aku bantu?” kuulurkan tanganku, menawarkan bantuan.
Ia mengangguk dan memberikan tabletnya sambil tetap menggosok matanya yang basah.
Aku menekan beberapa perintah dalam tabletnya, lalu memeriksa sistemnya, mengeceknya dengan cepat, dan mengembalikannya. “Sudah.”
Ia melebarkan matanya, “waw! Bagaimana bisa?”
“Itu hanya eror ringan. Kemungkinan kau terlalu bersemangat bermain game hingga sistem tabletmu berjalan terlalu berat. Lain kali beri waktu istirahat untuk tablet dan dirimu agar kalian tidak terlalu lelah,” jelasku ramah.
“Terima kasih, kakak. Ngomong-ngomong namaku Tony,” ia mengulurkan tangannya.
Aku menyalaminya, “River.”
“Kau mau?” ia menawarkan bungkus makanan ringannya.
“Tidak terima kasih,” aku menolaknya lembut. “Kurasa kau lebih menyukainya,” ucapku melihat sisa makanan ringan yang terselip di ujung bibirnya.
“Baiklah, kalau begitu aku harus kembali agar ayah tidak khawatir.”