Godwin Agency

FS Author
Chapter #4

Part 4

Sesampainya di markas, aku memberikan buku The Phoenix yang diberikan Aaron tadi pada Shayla. Tidak ada kata-kata yang keluar dariku, hanya nafas lelah dan kesal yang terdengar sebelum aku membanting diriku ke sofa.

“Oke, ada apa ini sebenarnya?” tanya Divya begitu memasuki ruang tengah markas kami. “Kau bertemu Aaron—lagi—dan dia mengancammu? Kau serius?” ia langsung mengarahkan suaranya padaku.

“Mengancam kita,” Shayla menjawab, seakan mengoreksi ucapan Divya barusan. Ia memperlihatkan beberapa foto yang diambil dari sela-sela buku The Phoenix yang kuberikan tadi. “Melihat dari fokus gambarnya, ini dari kamera mini yang merekam gerakan sekitar. Wajar jika kalian luput melihatnya, karena bentuknya macam-macam, seperti bolpoin atau kancing.”

Divya mengambil beberapa foto dan memperhatikan sejenak. “Melihat kualitasnya yang tidak terlalu buruk—untuk ukuran kamera mini—kurasa dia cukup profesional.”

Aku tidak menjawab—atau bergerak—dan membiarkan keduanya memaparkan hasil pengamatan mereka.

“Dia bahkan menyuruh seorang bocah untuk memastikan River,” Shayla kembali bersuara.

“Cukup pintar,” Divya mengangguk mengakui. “Lalu, apa yang ia tawarkan? Kurasa dia tidak mengancammu hanya untuk meminta data itu.”

“Menyimpan identitas kita,” aku menjawab sambil tetap menenggelamkan wajah pada bantal sofa kami.

“Dia mengancam akan membongkar identitas kita melalui foto ini,” Divya langsung memahami situasi.

“Dan alasannya,” aku mengangkat kepalaku. “Entah kenapa melihatnya begitu menginginkan data itu, kurasa ada alasan kuat di baliknya. Dia bilang, aku akan mendengar kata-katanya begitu mengetahui sesuatu dari data itu."

“Menarik,” komentar Divya.

Shayla mengangguk, sependapat dengan Divya.

Aku memandang keduanya, sebelum kembali membanting diri ke sofa. “Kita perlu bicara dengan chief.

Divya menghampiriku dan duduk di sebelahku. Ia menepuk bahuku lembut, berusaha menenangkanku.

“Aku akan bicara pada chief. Kurasa aku bisa paham dengan situasimu.”

Kuanggukkan kepalaku, “terima kasih, Shayla,” ucapku. Dan memang dialah yang paling berhak untuk menghubungi agensi pusat diantara anggota tim kami. Lalu pandanganku ke arah Divya, “ada satu hal lagi.”

Divya menatapku bingung dan penasaran.

“Dia minta tanda tanganmu di bukunya dan aku harus membawanya besok.”

“Oh, tentu saja!” ia langsung memasang wajah cerianya. Ia berjalan cepat menyambar buku yang ada di dekat Shayla dan mengambil bolpoinnya, “katakan, siapa namanya?”

Aku sudah menduga sikapnya itu. “Declan. Aaron Declan.”

“Oke,” ia mulai menulis, “untuk Aaron Declan. Berhenti mengancam kami atau kau akan–“

“Kau tahu dia bisa membuatnya sebagai ancaman, kan?” aku memotongnya.

Ia terhenti, menatapku, lalu kembali menatap tulisannya yang belum selesai, “sial.”

-[G]-

Malam itu, kami mengadakan rapat. Rapat kami tertutup dalam satu ruangan kedap suara dan dengan jaringan yang diamankan sehingga tidak ada yang bisa meretas atau mendengar apa yang kami bicarakan.

Shayla memaparkan situasi yang sedang kami alami, lalu hasil dari penelitian data yang kami dapatkan dan beberapa pendapat yang bisa kami lakukan. Dengan aku yang ada dibelakangnya—untuk menjelaskan lebih detail kejadian dan juga sudut pandangku—kami mencoba meyakinkan agensi pusat agar menyerahkan masalah ini pada kami dan tidak perlu melibatkan pihak mereka untuk menyelesaikannya.

Dengan beberapa pertimbangan dan alternatif, nampaknya tawaran kami untuk menangani masalah ini sendirian lebih menguntungkan kedua belah pihak. Tapi, semua tidak lepas dari konsekuensi yang akan kami ambil. Kami akan menyelesaikan masalah ini secara pribadi dan tanpa embel-embel agensi, yang itu artinya, jika ada sesuatu yang buruk terjadi pada kami—terutama menyangkut nama agensi—maka agensi akan menghapus data diri kami dari keterlibatan dengan mereka. Ini dilakukan untuk tetap melindungi agent-agent di sana dan mengamankan beberapa nama klien yang kemungkinan bisa terlibat.

Kami berdua mengerti sepenuhnya dan merasa konsekuensi itu sesuai dengan apa yang telah kami terima selama ini. Maka, kami sepakat bahwa aku akan menangani masalah ini sendiri, dengan sedikit bantuan Shayla yang terlibat secara tidak langsung nantinya. Divya masih tetap menjadi agent dan siaga seperti biasa, siap melakukan tugas kapanpun jika agensi memerlukan. Shayla—yang identitasnya masih aman dalam ancaman Aaron—bisa membantuku tanpa harus melepaskan statusnya dari agensi. Kini, semua rencana telah tersusun dan keputusan telah dibuat. Aaron akan mendapatkan data itu dengan aku sebagai pengawasnya, karena bagaimanapun data itu sudah menjadi bagian dari agensi kami. Kami hanya tinggal menunggu surat keputusan untuk tugas ini.

-[G]-

Siang mulai menguasai hari kami saat aku bersiap untuk menemui Aaron pada alamat yang ia cantumkan di buku itu. Shayla menyiapkan data pada sebuah flashdisk yang akan kuberikan pada Aaron sebagai tanda kesepakatan kami hari ini. Tidak lupa, aku memasukkan buku The Phoenix yang telah ditanda tangani Divya kemarin, ditambah kata-kata yang ia tulis dengan terlalu bersemangat.

“Berhati-hatilah, kau bisa meminta bantuanku kapanpun,” Divya memandangku sedikit mewek.

“Aku tahu. Kalian baik-baik selama aku mengawasinya,” balasku dengan pandangan sama sedihnya.

Divya mengangguk. “Ingat satu hal, kau tidak boleh membunuhnya walaupun kau ingin."

“Aku akan mencoba menahannya.”

“Riv, kita mata-mata, bukan pembunuh bayaran. Kau tahu kan, membunuh lebih mudah daripada menjaganya tetap hidup?”

“Kalau begitu aku akan patahkan tulangnya. Dia akan lumpuh, tapi tidak mati.”

“Kau memang pintar!”

“Aku tahu."

Kami berpelukan erat sambil sedikit terisak, walaupun tidak menangis.

“Dia hanya mengawasi orang dan rumahnya ada dalam kota. Berhentilah drama,” kata Shayla dingin, seakan menyesal telah mendengarkan percakapan kami barusan. Lalu ia memberiku sebuah flashdisk. “Semua data sudah di sini.”

“Terima kasih, Shay,” kataku sambil menerimanya, menghentikan drama barusan.

“Berhati-hatilah,” ucapnya perhatian.

“Ya, ya. Aku tahu,” jawabku, berbeda dengan nada yang kugunakan saat berbicara dengan Divya. “Aku berangkat sekarang,” kupeluk dua rekanku itu bersamaan.

“Kabari aku jika kau mematahkan tulangnya,” Divya memandangku dengan wajah polosnya.

Lihat selengkapnya