“Atau mungkin—mungkin—menyangkut para petinggi pemerintahan,” ia jelas menekan kata ‘mungkin’ dua kali pada kalimatnya.
Pandanganku menguncinya. Walaupun ia masih belum yakin, tapi tidak mudah jika kami berurusan dengan para petinggi. Memang beberapa kali agensi telah menahan beberapa petinggi, tapi perkara itu tidak mudah dan perlu kehati-hatian atau pemerintah akan mencoret nama kami semudah mereka mengeluarkan pulpen mereka. “Kau yakin?”
“Belum pasti, tapi ada jejak samar mereka,” jawabnya. “Aku mengerti jika kau ingin keluar dari kasus ini sekarang, aku akan menghapus keterlibatanmu.”
Tatapanku langsung terarah padanya. “Kau meremehkanku.”
“Kau tahu resikonya, jika sudah menyelidiki lebih jauh, kita akan kesulitan menghilangkan jejakmu. Dan akan berbahaya—“
“Kita belum tahu pasti,” potongku. “Kita akan mencari kejelasannya lebih dulu, lalu aku akan putuskan apakah ikut terlibat atau tidak,” lanjutku. Lagipula, kasus ini masih berkaitan dengan data dari agensi yang dipercayakan padaku. Aku tidak bisa melepaskan begitu saja.
“Baiklah,” ia mengangguk menyetujui.
Aku berdiri, lalu merapikan bajuku dengan cepat. “Aku akan cuci muka sebentar, lalu kita kembali menyelidikinya,” ucapku sebelum beranjak.
Tidak ada komentar dari Aaron. Ia hanya mengikuti ucapanku dan menuju kembali ke meja komputernya.
Aku menyempatkan diri untuk membuat kopi pagi itu, membiarkan pemilik rumah merasa jika aku memang tidak menganggapnya sebagai musuh dan aku bisa bertindak lebih santai tanpa harus waspada setiap saat.
Kami kembali meneliti data itu bersama, menghubungkan dengan data yang aku dapatkan dari perusahaan Dixon dan juga data-data yang kami peroleh dengan sedikit penyusupan ke beberapa website. Papan investigasi Aaron tidak lagi muat untuk kasus ini, sehingga kami menggunakan dindingnya sebagai denah kasus dengan pita-pita terhubung yang berpencar ke beberapa tokoh dan perusahaan.
Beberapa pita terhubung dengan nama orang-orang yang kami curigai, tapi bukan dengan kasus yang ingin kami selidiki. Hal itu membuat kami harus menelusurinya lebih jauh atau bahkan keluar dari perkiraan sebelumnya, yang kemungkinan membuat kami memulai dari awal. Bahkan kami menemukan beberapa nama baru dan kesulitan untuk mengetahui apa yang membuat mereka bisa terlibat dengan nama-nama lain. Semakin kami menyelidiki, pita-pita penghubung kami semakin tak karuan. Akhirnya kami memutuskan untuk lebih menyeleksi dan menghapus beberapa kemungkinan kecil keterlibatan mereka, agar bisa fokus pada kasus utama kami.
Matahari mulai meredup, beberapa kaleng kopi sudah bertumpuk di meja. Kami memandang peta penyelidikan kami sejenak sambil memastikan tidak ada yang salah pada masing-masing penghubung mereka.
“Aku membutuhkan dinding yang lebih lebar,” kata Aaron melihat hasil karya kami.
“Atau rumah yang lebih besar,” komentarku sambil memutar pelan kursi yang kududuki, walau pandanganku tetap ke arah jaring-jaring pita kami.
Ia merenggangkan badannya sejenak, lalu memandangku. “Bagaimana menurutmu?”
“Kau menghalangi pandanganku,” jawabku datar, melihatnya berdiri di sisi kanan dinding penyelidikan.
Dengan segera, ia menggeser dirinya agar tidak menutupi hasil penelusuran kami.
Kepalaku menggeleng kecil, “ada sesuatu yang harusnya bisa menghubungkan mereka. Tapi saat kita belum bisa menemukannya, mereka akan terlihat tidak saling berkaitan,” kucondongkan diriku mengamati lebih dekat, tanpa ingin mengangkat badan dari kursiku.
“Yeah, menyebalkan,” komentarnya.
Kumiringkan bibirku ke sisi kanan, mencoba berfikir dari sudut pandang lain. Tapi kemudian perhatianku teralihkan ke arah orang yang dengan asyik meninju samsaknya, mengabaikan apa yang sedang kami hadapi barusan.
Aaron menghentikan pukulannya, lalu memandangku dengan polos. “Aku tidak bisa berfikir, jadi aku akan olahraga sedikit.”
Aku mengalihkan perhatianku sejenak, lalu berdiri dari posisiku. “Ide yang bagus,” ucapku menghampirinya.
“Kau ingin menghajarnya juga?” Aaron mundur dua langkah dari samsaknya.
“Samsak tidak akan membalasmu,” kupandang sejenak benda yang kumaksud. Lalu kuangkat lengan baju dan membuka kakiku, “lawan aku.”
“Kau serius?”
“Kau takut?”
Aaron tertawa kecil. Tanpa buang waktu lagi, ia memasang kuda-kudanya dan bersiap menghajarku. “Wanita duluan.”
Alisku terangkat menanggapi nada remehnya. Kutatap lawanku dengan tenang, mencari celah yang bisa kuambil saat itu. Lalu dengan satu gerakan tipuan dan satu tamparan di pipi kirinya, aku berhasil membuatnya terdiam sesaat. “Apa aku terlalu keras?” tanyaku polos tanpa rasa bersalah.