Godwin Agency

FS Author
Chapter #15

Part 15

Mobilku kembali terparkir di halaman rumah Aaron. Aku berjalan masuk ke rumahnya dengan lebih tenang sekarang, karena Eddie sudah tidak lagi menjadi daftar tersangka kami dan aku bisa fokus mengejar tersangka lain tanpa beban seperti sebelumnya.

“Hei,” sapa Aaron yang sudah duduk di depan komputernya.

“Hei,” jawabku singkat.

“Aku memesan burger untuk makan malam,” ia menunjuk meja di ruang tengah.

“Bukankah kau sudah makan saat pengintaian tadi?”

“Aku lapar lagi,” ia mengedikkan bahu.

Kutarik sisi bibirku, tersenyum menanggapinya. Kuambil minuman ringan yang juga ia pesan bersamaan dengan burger itu. Pandanganku mengarah ke dinding penyelidikan kami.

“Kau tidak bilang pada Eddie jika keluar Godwin?”

“Belum,” jawabku. “Dia akan mengoceh panjang lebar jika aku mengatakannya tadi.”

“Aku bisa bayangkan itu.”

Aku hanya meliriknya singkat sebelum kembali fokus pada jaring-jaring di hadapanku.

“Ehm, Riv,” panggilnya dengan ragu.

“Ya?” kuputarkan badanku ke arahnya.

“Kau harus kesini,” ucapnya masih terpaku dengan layar di hadapannya.

Merasa penasaran dengan nadanya, aku menghampirinya untuk melihat apa yang sedang ia tatap di layar komputernya itu.

Kau keluar Godwin?!!” sebuah sentakan langsung pecah seakan-akan orang itu ada di hadapan kami saat ini. “Apa yang kau pikirkan, Riv?!!

Kupandang Aaron sejenak yang juga menatapku, memperjelas alasanku yang tidak mengatakan keluarnya aku dari Godwin tadi.

Kau tidak bisa seenaknya keluar!!

“Eddie, hentikan. Lebammu akan semakin parah jika kau berteriak seperti itu,” ucapku mencoba menenangkannya. 

Jangan mengalihkan pembicaraan!!

“Aku tidak mengalihkan pembicaraan, Ed. Tapi wajahmu—“

Berhenti membahasku!!

Kuangkat tanganku, tidak ingin mendebat dirinya.

Tidak ada kata-kata dari Eddie, tapi bisa kulihat dia masih kesal padaku.

“Dengar, Ed. Walaupun aku keluar dari Godwin, aku bisa mendaftar lagi besok. Kita bisa menjadi Godwin lagi."

Ya, tapi kita tidak tahu apakah kau akan kembali ke tim kota ini atau tidak. Dan mereka juga mempertimbangkan alasanmu keluar sendiri dari agensi.

“Setidaknya aku akan mencoba,” jawabku masih dengan tenang. “Istirahatlah dulu. Kau bisa menghubungiku kapanpun saat kondisimu lebih baik. Kita masih sahabat, kan?”

Eddie masih cemberut, tetap tidak ingin melepaskan kesalnya begitu saja.

“Mereka sudah menjelaskan padamu alasanku, kan?”

Ya, secara garis besar. Tapi aku masih tidak sepenuhnya setuju.

“Semua sepadan,” anggukku meyakinkannya.

Ia menatap sejenak, seperti berpikir sesuatu. “Astaga, River!” ia menutup wajahnya lelah dengan pikirannya.

“Istirahatlan dulu. Aku janji akan menemuimu kapanpun jika kau ingin bicara.”

Ya, baiklah. Aku akan segera menghubungimu.

“Sampai jumpa, Ed.”

Dah!” jawab Eddie sebelum mengakhiri panggilan videonya.

Layar komputer Aaron kembali menunjukkan data-data yang sedang Aaron selidiki sebelum Eddie melakukan panggilan video.

“Dia terlihat sangat kesal,” Aaron menanggapi kejadian barusan.

“Bayangkan jika aku mengatakannya saat kami di mobil tadi,” kupandang dirinya, “mungkin sekarang aku tinggal nama.”

-[G]-

Malam semakin larut. Kami berkutat pada dua nama yang menjadi orang paling mencurigakan dalam daftar tersangka kami. Data mereka kami periksa berulang-ulang, namun belum mendapatkan jawaban yang berbeda dari yang sudah ada. Bahkan kami mencoba memeriksa keterkaitan dengan nama-nama yang terlibat sebelumnya, tapi masih menghasilkan hal yang sama.

“Kita butuh data lain,” Aaron berpendapat. “Aku tidak menemukan hal baru saat ini.”

Memang benar, kami terhambat di data yang sama dan sepertinya sudah kami teliti secara menyeluruh. “Kurasa kita harus bertanya pada orangnya secara langsung,” usulku.

“Ya, aku juga punya pikiran yang sama sebelumnya. Tapi, kita belum bisa menemui mereka.”

Pandanganku mengarah tepat padanya, meminta penjelasan.

“Dixon sedang ada di luar negeri dan Gold ada urusan di luar kota. Keduanya baru kembali besok,” jelasnya sambil memperlihatkan jadwal mereka.

Aku terdiam sejenak, memikirkan sesuatu di luar keduanya yang bisa digunakan sebagai sumber informasi lain. “Sniper.”

“Si pembunuh bayaran?”

“Ya,” jawabku. “Kau bilang sedang mencari identitasnya tadi siang. Lalu, apa yang kau dapat?”

Ekspresinya langsung berubah muram. “Tidak ada,” ia menggeleng. “Aku sudah menelusuri CCTV hotel, tapi dia pandai menghindari kamera. Aku mencoba mencari dari daftar pembunuh bayaran yang kutahu, tapi tidak menemukan profil yang sesuai.”

Sesuatu mengusikku. “Ada yang janggal.”

“Apa?”

“Kita tahu bahwa dia penembak jitu dan dia membawa senjatanya saat masuk ke kamar McKanzie. Tapi kenapa? Kenapa dia harus menghadapi targetnya secara langsung, bukan menembakknya dari jauh seperti yang dilakukan pada James Spark?”

Aaron terdiam sejenak, “gorden,” jawab setelah beberapa saat.

Kucoba mengingat kejadian pagi tadi secara cepat untuk memahami ucapannya barusan.

“Saat kau masuk, memang gorden kamarnya sudah terbuka. Tapi saat aku datang sebelumnya, kamar itu gelap gulita,” jelasnya. “Sepertinya McKanzie telat bangun dan dia harus buru-buru pagi itu untuk segera meninggalkan hotel. Dia tidak sempat membuka gordennya untuk memberi visual bagi si sniper. Dan karena tidak ingin kehilangan targetnya, si pembunuh bayaran itu langsung menuju ke kamar McKanzie untuk menyelesaikan pekerjaannya. Tak disangka, dia bertemu kita berdua.”

“Sepertinya permainan poker mereka terlalu seru semalam,” aku menanggapi. “Dan kutebak, jika penembak jitu mencoba menghabisi McKanzie di luar hotel, dia akan lebih cepat ketahuan dan menyusahkannya kabur, di samping karena kemungkinan gangguan orang sekitar juga,” aku menambahkan.

“Benar,” ucap Aaron sependapat.

Lihat selengkapnya