“Kita sampai!” Flo berseru seraya merentangkan kedua lengannya ke atas. Gadis itu menghirup banyak-banyak aroma khas pepohonan, ia menaruh tangannya di atas pinggang.
Nuna dan Sally turun dari dalam VW Kombi, mereka berdua berdiri di sebelah Flo. Fabian menutup pintu pengemudi, bersandar pada jendela mobil dengan wajah bangga. Eagle dan Landon membuka bagasi dan mengeluarkan ransel-ransel besar mereka. Meera dan Monroe muncul dari sisi lain Kombi, diikuti oleh Owen dengan tas jinjing besar berisi berbagai macam makanan. Dean melompat dari belakangnya dan merangkul bahu cowok itu.
Mereka semua, Flo, Meera, Sally, juga Nuna dan Karin pergi berkemah ke hutan di dekat kota kecil yang terletak di New Jersey pada pertengahan musim panas yang cerah bersama para cowok; Fabian, Landon, Owen, Alan, Raul, Eagle, Monroe, dan Dean, yang membuat Sally berwajah masam selama perjalanan.
Bulan lalu mereka semua baru saja selesai dengan segala persiapan upacara, wisuda, pesta, perpisahan dan hal-hal meriah lainnya sebagai rangkaian acara kelulusan mereka dari SMA. Para remaja itu sudah resmi selesai melewati tahun senior, dan semester mendatang akan melanjutkan hidup sesuai dengan pilihan mereka masing-masing. Fabian dan para cowok selalu pergi berkemah saat musim panas, maka dari itu para gadis memutuskan ikut serta untuk menikmati momen-momen kebersamaan terakhir mereka.
“Hutan ini cukup menakjubkan, bukan?” Fabian beranjak dari pintu mobil dan melangkah menghampiri Flo. “Dari hutan-hutan yang pernah kudatangi, ini yang terbaik. Tahun lalu kami memiliki waktu yang sangat seru di sini. Senang bisa kembali lagi.”
Flo melihat papan kayu dengan dua kata besar yang ditulis menggunakan cat putih. “Beritahu aku lagi kenapa daerah ini diberi nama Blue Pines?”
“Pada waktu tertentu kau bisa melihat pepohonan di hutan berubah warna menjadi kebiruan, biasanya saat subuh sebelum fajar dan ketika musim dingin. Pinus-pinus itu tidak benar-benar berubah warna, hanya terlihatnya saja. Sesederhana itu. Lalu penduduk setempat menamai kota kecil mereka dan wilayah sekitarnya dengan nama tersebut,” Fabian menjelaskan.
“Dan patung apa tadi yang berada di perempatan jalan saat kita memasuki kota?” tanya Flo.
Cowok itu berpikir sebentar. “Aku tidak yakin, mungkin sejenis hewan atau makhluk mitologi daerah ini. Madam Poppy sepertinya pernah memberitahuku tapi aku tidak terlalu memperhatikan.”
“Patung itu agak aneh,” komentar Flo, mengingat ulang saat pertama kali ia melihat patung itu. “Bentuknya seperti kuda tapi memiliki sayap kelelawar, dan aku yakin kepalanya tidak berbentuk kepala kuda, melainkan kambing. Ekornya juga panjang. Apa itu semacam binatang hybrid?”
Fabian hanya mengangkat bahu. “Entahlah.” Ia berbalik dan bergabung bersama para cowok membongkar peralatan tenda, mengambil satu terpal dan membukanya.
Lokasi mereka berkemah tidak jauh ke dalam hutan, masih cukup dekat untuk mencapai kota dan tempat bermukim penduduk lokal. Mereka memilih tempat yang lebih lengang dan luas dikelilingi oleh pohon pinus yang membentuk garis melengkung, tempat yang sama di mana para cowok berkemah tahun lalu. Puncak-puncak jajaran pegunungan masih bisa terlihat di balik menjulang tingginya pepohonan. Kata Fabian, sekitar satu setengah kilometer dari tempat ini ada curug kecil yang bisa digunakan untuk bermain air atau sekedar berendam. Airnya dingin dan jernih dengan batu-batu berwarna-warni di dasarnya.
Mereka membawa dua tenda besar dengan bahan yang tebal, hampir mirip dengan tenda-tenda yang biasa dijumpai di sirkus dan bisa dihuni sampai dengan sepuluh orang. Kesepakatannya adalah mereka akan tinggal di Blue Pines selama dua minggu, tetapi para cowok sudah memberikan omongan lebih awal bahwa liburan kali ini bisa saja diperpanjang.
“Di mana aku bisa buang air kecil di tempat ini?” tanya Nuna. Ia mengamati seluruh hutan dan tidak menemukan titik yang meyakinkan untuk melakukan rutinitas itu.
“Karena kami cowok, kami biasa buang air kecil di semak-semak atau pojok-pojok hutan, di dekat pohon juga bisa,” jawab Alan yang sedang memasang dua tiang tenda. “Tapi kurasa untuk para gadis sepertinya akan lebih rumit. Kau bisa pergi ke arah timur menuju kota. Ada minimarket tidak jauh dari sana dan kau bisa memakai kamar mandinya.”
“Oh ya ampun, terima kasih.” Nuna langsung beranjak pergi dari lokasi berkemah dengan ransel besar masih tersampir di bahunya. Ia berlari-lari kecil menelusuri jalan yang mereka lalui dengan Kombi.
Sally berdiri di sebelah Flo ketika gadis itu mengikatkan lengan jaket di pinggangnya.
“Aku tidak mengerti kenapa Dean Chadwick harus berada di sini juga,” bisik Sally. Dari nada bicaranya, ia terdengar sebal. “Cowok itu tidak pernah sekelas apapun lagi dengan kita sejak tahun kedua, belum lagi dia juga sudah tidak satu lingkaran pertemanan dengan kita. Para cowok mungkin masih saling sapa, tapi mereka juga jarang nongkrong bersama Dean. Aku benar-benar tidak habis pikir.”
Kedua mata Sally mengamati Dean dari seberang posisi berdirinya. Cowok itu sedang sibuk mengobrol dan tertawa bersama Owen dan Eagle, entah apa yang mereka bicarakan tetapi terasa akrab. Dahi Sally berkerut dan bibirnya sedikit terbuka dengan gigi mengatup, jelas bukan penggemar dari pemandangan di hadapannya. Flo mengikuti arah pandangan Sally. Walaupun jarang nongkrong bareng lagi, Dean masih terlihat cocok dengan para cowok.
“Sepertinya pernyataanmu terlalu banyak dibumbui perasaan pribadi,” sahut Flo akhirnya, ia meraih botol minum. “Kau tahu kau dulu pernah dekat dengannya, dan kau juga menyukainya.”
“Pernah menyukai. Tolong beri penekanan pada kata ‘pernah’,” sambar Sally langsung. “Aku tidak menyukainya lagi.”
“Aku percaya itu.”
“Aku serius!” pungkas Sally bersikeras.
“Kau tidak perlu berbohong padaku, Sally.”
Sally mendesah keras. “Ayolah, Flo. Kau tahu Dean seperti apa.”
Flo memiringkan kepalanya sedikit. “Coba kulihat. Tidak terlalu tinggi, rambut hitam lurus yang disisir ke satu arah, mata cokelat tua, dengan kacamata, wajah seperti kutu buku tapi manis, disukai gadis-gadis?”
Sally memutar bola matanya. “Kau tidak perlu mendeskripsikannya. Semua orang tahu itu,” tukasnya. “Di samping itu, kau melupakan satu fakta bahwa dia adalah playboy kelas kakap.”
“Teknisnya, selama SMA Dean hanya pernah berpacaran satu kali, secara resmi. Seorang teman di kelas bahasa Spanyol memberitahuku soal itu, omong-omong. Sisanya hanya sebatas hit and run,” ujar Flo. Ia meneguk air minumnya.
“Ya! Itu maksudku! Hit and run. Berapa banyak gadis yang kau pikir sudah cowok itu berikan harapan lalu dia pergi begitu saja? Lantas mengurangi komunikasi dan kemudian dekat dengan gadis lain dan bertingkah seperti tidak ada yang pernah terjadi sebelumnya?”
“Santai, Sall. Aku tahu seluruh ceritanya,” Flo terkekeh. Sally sepertinya masih terbawa kenangan masa lalu, apalagi sekarang Dean akan berada di sekitarnya selama hari-hari ke depan. “Apa kau tidak pernah berbicara dengannya lagi sejak saat itu?”
“Tidak. Terakhir dia meneleponku saat spring break, mengajakku keluar.”
“Mungkin dia ingin mencoba dekat lagi denganmu, memperbaiki hubungan kalian ke arah yang lebih serius.”
Sally memandangi Flo seperti gadis itu berkata dia bisa menumbuhkan tanduk di kepalanya.