Henry Kim memperlihatkan senyum lebarnya yang penuh percaya diri.
Fabian masih berdiri di sana dengan wajah berbinar, Monroe juga terdiam, dan ada kerutan dalam di dahi Meera. Owen, Sally, dan yang lain hanya terpaku di tempat memandangi pria tinggi bertopi itu. Dean melihat ke kiri dan kanan, tidak mengerti.
Meera membuka suara lebih dulu. “Apa yang kau lakukan di sini?”
Senyum agen peneliti dan juga inspektur itu semakin melebar. Ia menyentuh sisi topinya.
“Salam, anak-anak.” Suaranya terdengar seperti seorang pemandu wisata alam. “Senang sekali dapat bertemu dengan kalian kembali. Aku sedang dalam penyamaran.”
“Sebagai apa?” celetuk Owen dari belakang tubuh beruang Grizzly yang sudah kaku.
Henry Kim merentangkan satu tangannya. “Pegawai toko, sekaligus bagian kasir.”
“Anda sepertinya memang sering menjadi pegawai di mana-mana,” ungkap Meera sedikit sinis. Ia agak terganggu dengan pengetahuan bahwa mereka tampaknya akan selalu bertemu Henry Kim ke mana pun mereka bepergian.
Kedua sudut bibir inspektur itu melengkung ke atas. “Kalian juga sepertinya selalu mendatangi tempat-tempat yang dihiasi oleh mitos supranatural.”
“Eh? Maksudmu…” kata-kata Flo menggantung di udara.
“Benda yang ada di tanganmu itu.” Henry Kim menunjuk dengan jari telunjuknya, ia berjalan menghampiri Flo. “Adalah tujuanku datang kemari.”
Seluruh mata tertuju pada Henry Kim dan patung miniatur The Jersey Devil.
“Jadi… kau tahu kisahnya?” tanya Sally ragu-ragu.
Henry Kim menoleh pada gadis itu. “Dan aku berasumsi kalian juga mengetahuinya.”
“Maaf, tunggu sebentar,” Meera menyela, ia melangkah dua kali. “Kau tidak terlihat terkejut. Apa kau tahu kami akan berada di sini?”
“Sebenarnya tidak.” Pria tinggi itu berbalik. “Tapi aku melihat Kombi dan tenda kalian kemarin sore, dan mengenali beberapa wajah yang cukup familiar di antaranya. Mengetahui cepat atau lambat kita akan segera bertatapan muka kembali, aku memperkirakan kalian akan datang ke tempat ini.”
“Keren!” Fabian berseru. Ia berlari melintasi ruangan menuju Henry Kim. “Aku selalu menganggap Undefined Investigations Department adalah departemen yang sangat keren dan aku juga bertanya-tanya bagaimana rasanya bisa menjadi agen yang melakukan segala macam penyamaran dan penyelidikan. Terakhir kali kita bertemu kau dan timmu terlalu fokus pada pekerjaan dan isu yang sedang terjadi, aku tidak punya waktu untuk berbicara banyak. Apakah menurutmu aku bisa menjadi bagian dari UID?”
Dengan kedua mata berbinar-binar seorang anak remaja yang baru dewasa di hadapannya, inspektur itu hanya mengernyitkan dahi sebagai balasan. Ekspresinya terlihat tidak yakin. “Tentu. Kurasa kau dapat mencobanya.”
“Yes!!” sorak Fabian sambil mengepalkan tinjunya.
Dean berbisik kepada Flo. “Siapa pria itu?”
“Dia agen peneliti dari departemen organisasi yang menyelidiki hal-hal misterius yang belum terpecahkan, seperti makhluk mitologi,” Flo balas berbisik.
“Dari mana kau mengenalnya?”
“Kami pertama kali bertemu dengannya saat karyawisata ski, dan juga musim semi kemarin.”
Dean menghembuskan napas. “Sepertinya aku melewatkan banyak hal,” gumamnya, terdengar menyesal. “Aku dulunya selalu satu kelas dengan kalian semua.”
Flo hanya mengedikkan bahu. Sally pasti akan langsung bereaksi heboh mendengar pernyataan Dean barusan. “Kau masih nongkrong dengan para cowok.”
“Yah, terkadang. Tapi sebenarnya aku dan mereka sudah berbeda kelompok pertemanan, dan mereka masih bersama sampai saat ini. Bahkan kalian juga.” Cowok itu menganggukkan dagunya pada Nuna dan Karin, lalu Sally.
“Yeah, kami berada di tiga kelas yang sama. Sejarah, geometri, dan tembikar.”
“Kan.”
“Omong-omong, bolehkah aku bertanya di mana Madam Poppy?” suara Landon mengalihkan percakapan Flo dan Dean. Cowok itu mengedarkan pandangan. “Aku tidak melihatnya di mana-mana.”
Henry Kim mendongak. “Dia sedang di luar kota. Kemungkinan akan kembali nanti siang.” Ia berputar memerhatikan para remaja itu. “Bagaimana, kalau kita duduk bersama sekarang sambil minum limun dan mengobrol santai?”
***
Bukannya Meera tidak menyukai atau terlalu mencurigai ketua inspektur itu, tetapi pembawaannya membuat Meera merasa tidak nyaman. Tentu, mereka sudah mengetahui siapa Henry Kim dan pekerjaannya, dia bahkan menceritakan tentang penyamarannya dan mengajak mereka duduk-duduk di halaman pondok Madam Poppy sambil minum air limun dingin. Fabian juga tampaknya sangat menikmati limun itu. Cowok itu sudah meminta isi ulang sebanyak tiga kali. Namun tetap saja, Meera merasa ada sesuatu yang tersembunyi di balik perawakan gagah dan percaya dirinya itu.
Tanpa sadar Meera memicingkan mata dan menatap lurus ke arah Henry Kim, walaupun yang ditatap tetap flamboyan menebar keramah-tamahan.
Henry Kim mengamati anak-anak itu meminum limun mereka. “Itu limun terbaik yang ada di kota ini, dibuat langsung dari buah lemon paling berkualitas.”