Going To New Jersey, Meet The Jersey Devil

Fann Ardian
Chapter #7

Chapter 7

Mereka semua menghabiskan waktu seharian di pondok Madam Poppy. Beliau kembali empat jam kemudian, menenteng banyak sekali buah dan pernak-pernik baru. Para cowok langsung bersemangat menghampiri Madam Poppy dan membantu membawa barang-barangnya. Mereka bercengkrama dengan akrab, Dean juga ikut mengobrol dengan Madam Poppy. Wanita berumur empat puluhan akhir itu terlihat ramah, tetapi memberikan aura misterus yang elegan di sekelilingnya. Ada banyak kerutan halus di sekitar dahi dan pipinya, dan ada sesuatu yang tajam dari sudut bibirnya yang tipis ketika ia tersenyum. Ia mengenakan gaun hitam bermotif sulur-sulur putih samar dengan rok yang agak mengembang, juga topi bowler hitam berhias bunga yang sering dikenakan wanita zaman dulu. 

“Senang sekali bertemu dengan kalian semua,” sambut Madam Poppy kepada para gadis. Sudut bibirnya melengkung ke atas dengan ekspresi yang sering kau lihat di film-film detektif dan mafia. “Selamat datang di Blue Pines.”  

Madam Poppy menyuguhkan para remaja itu makan siang dan jus semangka dingin, dengan Henry Kim berperan sebagai pelayan mereka yang membuat Meera sedikit merasa lebih puas dan menikmati pelayanan itu. Tiga orang penduduk lokal datang untuk makan siang, kemudian empat orang lain muncul dengan kamera yang sepertinya adalah pelancong dan masuk ke dalam toko suvenir. Madam Poppy mohon izin untuk melayani mereka. 

“Raul, berikan saus tomat itu kepadaku,” kata Landon sambil menjilat ibu jarinya yang terkena mentega dari waffle. Ia menerima botol saus itu. “Wah, ayam panggang dan waffle ini terlihat sangat cantik.” Ia melumuri isi piringnya dengan saus.  

Owen memajukan wajahnya, memerhatikan makan siang mereka. “Bukankah termasuk kejahatan untuk makan waffle di tengah hari?”  

“Aku tidak tahu tentangmu, tapi aku akan makan apapun yang enak dan gratis,” sahut Raul. Ia memotong daging ayam dan memasukkannya ke dalam mulut. “Uh, ini lezat sekali.”  

Fabian menoleh pada Raul. “Dagingnya juga empuk dan juicy. Bumbunya meresap dengan pas, gurih. Aku ingin tahu bagaimana Madam Poppy membuatnya.”  

“Aku tidak pernah makan waffle untuk makan siang,” Owen bergumam, tetapi kemudian ia juga meraih botol saus di sebelah Landon. 

Sembari para cowok menyantap makan siang mereka, Dean bangkit dari kursi panjang sambil membawa kaleng sodanya. Ia menghampiri Flo yang sedang duduk seorang diri menikmati satu bungkus cokelat Cadbury. 

Dean menduduki kursi di seberang gadis itu. “Hei, Flo.” Ia tertegun sesaat. “Wajahmu belepotan cokelat.”  

“Wups,” gumam Flo. Ia menyeka noda-noda cokelat di sekitar mulutnya. “Oke. Ada apa?”  

Cowok itu meneguk sodanya. “Mungkin ini saat yang tepat untuk kau bercerita.”  

Flo hampir terbahak. Dean ternyata benar-benar serius ingin tahu semua hal yang sudah terjadi selama lebih dari setengah tahun ini. Ia tidak menyangka cowok itu cukup penasaran juga untuk bertanya. Flo tidak bisa tidak berpikir kalau Sally mendengarnya dia pasti akan langsung meledek Dean karena sudah jauh dari kelompok pertemanan mereka selama masa SMA. Nah, sekarang Flo harus mulai dari mana dulu?  

Dean tidak henti-hentinya menyela dan melotot dengan ekspresif. Cowok itu hampir selalu memotong dan mengajukan pertanyaan di setiap bagian cerita.  

“Kurang lebihnya seperti itu.” Flo menyelesaikan ceritanya. “Sampai dengan sekarang kita bertemu lagi dengan Henry Kim. Bayangkan betapa kerennya itu?”  

“Kenapa kalian selalu bertemu dengan Henry Kim setiap ada sesuatu yang berhubungan dengan makhluk mitologi?” Dean bertanya-tanya dengan tatapan menganalisa. Ia berdecak. “Kebetulan yang aneh.”  

“Karena dia agen peneliti dari divisi cryptozoology.

“Maksudku negara ini luas, dia bisa saja ada di negara bagian lain atau bahkan di luar negeri. Banyak mitos-mitos di berbagai sudut bumi ini.”   

“Teknisnya kami hanya pernah tidak sengaja bertemu dengannya dua kali, saat karyawisata dan hari ini. Waktu liburan musim semi Fabian yang entah dari mana menghubunginya.”   

Dean tertawa. “Cowok itu memang ajaib. Selalu heboh.”   

“Kau harus lebih sering melihat tingkahnya, benar-benar membuatku lelah dan ingin berbaring saja rasanya.”  

Flo dan Dean masih mengobrol asyik membahas berbagai macam mitos dunia dan alien ketika Sally melangkah keluar dari pondok Madam Poppy. Gadis itu menenteng satu kantung kertas berisi cinderamata yang ia beli, sebelumnya Sally sempat membantu Madam Poppy menata dapurnya. Sally memerhatikan Flo dan Dean yang saling berhadapan. Flo berbicara sambil ngemil seperti biasa, Dean duduk dengan satu lutut terangkat dan kaleng soda tergantung di tangannya. Sally penasaran mereka sedang membicarakan apa.  

“Lalu, bagaimana menurutmu tentang legenda penyihir di Blue Pines ini?” Dean menanyakan opini Flo. “Aku pernah mendengar sedikit rumor tentang pemburu penyihir saat Founder’s Day.” 

Flo membuka satu bungkus cokelat lagi. “Memangnya ada yang namanya pemburu penyihir?” 

Dean mengedikkan bahu. “Hanya selintas saja, aku tidak tahu itu benar atau tidak.” Ia memerhatikan Flo menggigit cokelatnya. “Flo, kurasa kau terlalu banyak makan cokelat.”  

“Menurutku menarik, tapi juga agak menyeramkan. Banyak sekali film-film yang bervariasi tentang penyihir, tapi bagiku yang paling mendekati adalah sosok penyihir zaman dulu yang hidup di desa dengan berbagai macam ramuan dan mantra. Terdengar lebih klasik dan kuno,” Flo menjawab.    

“Dengan topi runcing dan jubah hitam?” 

“Ya. Walaupun sekarang aku lebih tertarik dengan perkemahan arkeologi yang disebut Henry Kim tadi pagi.”  

“Mungkin kita bisa pergi ke sana.” Dean mengusap-usap dagunya. “Sudah lama sekali aku tidak mendaki, paling tidak berkunjung ke kaki gunung.” 

“Kau sering naik gunung?” 

“Tidak sering, tapi aku suka. Rasanya menenangkan berada di alam dan mengenalnya lebih dekat.”  

“Floyd!”  

Flo dan Dean spontan menoleh ke asal suara.  

Landon berlari kecil menghampiri mereka. “Owen dan aku mau pergi ke arcade karena dia sudah kepanasan berada di sini. Kau mau bergabung, babe?” tanyanya pada Flo.  

Satu rahasia kecil, meskipun Flo dan Landon sudah berpacaran beberapa bulan dan Flo mengakui dirinya merasa cukup rileks bersama Landon, gadis itu tidak bisa menyembunyikan rasa kurang nyamannya yang terkadang muncul tiba-tiba. Berpacaran membuatnya menghitung hari, dan juga ada masa-masanya terasa canggung karena aura romantis yang menguar di sekitar. Flo menelan ludah. Kalimat Landon jelas mengingatkannya kembali bahwa mereka adalah sepasang kekasih.   

“Tentu,” jawab Flo sekasual mungkin. Ia membuang bungkus cokelat dan berdiri, lalu beralih kepada Dean. “Kau ikut?”  

“Nah, aku di sini saja. Kalian berdua bersenang-senanglah.” Dean menganggukkan dagunya ke atas, ia meneguk soda. 

“Baiklah. Kita lanjutkan obrolannya nanti. Tampaknya aku sekarang mulai sedikit tertarik untuk menonton Doctor Strange.” 

“Kau lebih baik segera menontonnya. Hebat sekali.”  

“Omong-omong, karena banyak distraksi aku jadi lupa untuk menanyakannya. Kau benar-benar orang British?” Landon berkacak pinggang sambil memiringkan kepalanya mengamati Flo. “Aku sama sekali tidak menduganya.”  

Lihat selengkapnya