Flo, Landon, Dean, dan Karin sedang beristirahat di hamparan tanah berbatu dibersamai udara sejuk sambil menyantap makan siang dan minuman kaleng dingin yang mereka bawa dengan khidmat.
Flo mengambil mie dengan sumpit lalu meniup-niupnya sebelum menyeruputnya ke dalam mulut. Mereka sedang menikmati mie instan ukuran jumbo, duduk di tepi dataran yang lebih tinggi dengan pemandangan hutan-hutan pinus di bawahnya. Meskipun sekarang musim panas, udara di daerah kaki gunung tentu saja lebih dingin. Perpaduan yang mengasyikkan dari panasnya sinar matahari dan dinginnya udara pegunungan. Dua puluh meter dari mereka, terdapat lokasi ekspedisi arkeologi yang diberitahu Henry Kim. Tidak sulit menemukannya. Kau bisa melihat tenda-tenda, alat-alat arkeolog, mobil jeep, dan orang-orang berseragam senada dengan bumi berlalu-lalang dari dataran bawah jika sudah dekat dengan lokasi gunung.
Landon mendesah panjang, ia memandang tepian. “Ah, kenyang sekali.” Lalu meletakkan mangkuk bungkus mienya yang sudah habis. “Berkelana di alam dan melakukan kegiatan luar ruangan selalu membuatku sangat lapar. Untungnya kita membeli ukuran jumbo.”
“Masih ada stok lagi di mobil kalau kau mau,” ujar Dean tanpa mendongak dari mangkuknya. Ia mengambil kaleng minuman dan membuka pengaitnya.
“Ada juga onigiri,” Karin menimpali.
Landon terkekeh. “Kalian sepertinya memasukkan lebih banyak makanan dari yang seharusnya. Aku bertanya-tanya apa anak-anak di kemah menyadarinya.”
Dean dan Karin hanya saling pandang acuh tak acuh.
Flo menjulurkan kepalanya, memandang jauh sesuatu di belakang punggung Dean dan bahu Landon. Tenda-tenda arkeolog itu berada jauh dari posisi duduk mereka. Ia teringat kunjungan mereka sebelumnya ke sana saat pertama kali tiba di kaki gunung. Nyaris saja keempat remaja itu dicurigai dan diusir karena dikira penyusup atau anak-anak iseng.
Seorang arkeolog muda, Cooper, dengan senang hati menemani mereka berkeliling perkemahan setelah tahu bahwa keempatnya hanyalah remaja pelancong yang antusias terhadap benda-benda peninggalan nenek moyang.
“Jarang-jarang anak muda zaman sekarang, terutama yang berasal dari kota besar, masih tertarik dengan penemuan-penemuan dan penelitian sejarah seperti ini,” ujarnya dengan senyum lebar.
Cooper membawa mereka melewati berbagai ukuran tenda, tentunya dengan fungsi dan tujuan berbeda. Tempat tidur para arkeolog ini lebih menyerupai barak daripada tenda pengungsian, berada di pojok dan terpisah dari lalu-lintas sibuk aktivitas utama.
“Tenda yang bahannya lebih tebal di sana bisa disebut laboratorium kami.” Cooper menunjuk satu arah. “Banyak meja kerja di sini, berisikan penemuan fosil dan artefak dari sesuatu yang belum teridentifikasi berasal dari mana.” Ia mendekati salah satu meja dan mengambil sebuah fosil sebesar lengan orang dewasa yang melengkung sempurna dengan ujung yang bisa dipastikan tajam. “Kami baru menemukan ini tiga minggu lalu. Perkiraan awal adalah patahan gigi dari spesies karnivora, tapi setelah diteliti lebih lanjut ini adalah salah satu gigi dari penggarap tanah di era neolitikum.”
Mereka berempat memandangi fosil gigi itu dengan takjub, bahkan Karin yang sebenarnya tidak terlalu tertarik dengan hal-hal ini. Gadis itu hanya senang mendaki.
Beberapa arkeolog lain melihat mereka dengan asing, tetapi karena Cooper berjalan bersama para remaja itu kebanyakan dari mereka langsung kembali lalu.
Semakin siang angin berhembus lebih kencang. Landon memerhatikan sekeliling. “Pernahkah ada angin sangat kencang di sini?” tanyanya pada Cooper. “Meja-meja itu ada di luar dengan segala isinya, kalau ada angin kencang datang pasti semuanya akan porak-poranda.”
“Ah, aku senang dengan ketelitian dari pertanyaanmu.” Cooper berbalik menghadap mereka. “Tentu saja, kami memasang anemometer tingkat tinggi di perkemahan ini. Namun biasanya tidak ada angin kencang, apalagi angin ribut. Para anggota kemah lebih senang bekerja di alam terbuka di bawah sinar matahari.”
Mereka berjalan menanjak, menaiki tanah berbatu merah datar yang lebih tinggi. Ada tikungan yang tertutupi dinding batuan besar di atas jalur itu.
“Aku akan menunjukkan kalian sesuatu yang menarik.” Cooper melangkah lebih dulu dan menghilang saat berbelok di tikungan.
Mereka tiba di hamparan tanah kasar berbatu luas yang dikelilingi bongkah-bongkah batu yang jauh lebih besar. Sama sekali tidak ada kehijauan di tempat ini. Para arkeolog sedang bekerja di tempat masing-masing dengan berbagai macam alat, yang paling mudah diketahui bentuknya adalah yang seperti kuas cat. Di bawah kaki para paleontolog itu, terbentuk pola-pola menonjol berwarna putih kotor dari dalam tanah.
“Kami menemukan dua fosil hewan baru,” kata arkelog muda itu.
“Keren!” Flo dan Dean berseru bersamaan.