“Bagaimana jika kalian ikut serta membantu mempersiapkan perayaan tahun ini?”
Pertanyaan tersebut adalah kalimat pertama yang Madam Poppy lontarkan ketika menghampiri meja para remaja itu di suatu siang. Mereka semua sedang makan siang di halaman pondok Madam Poppy, karena Nuna dan Karin malas memasak dan cerita insiden pai gosong memperkuat argumen bahwa sebaiknya mereka makan di luar saja.
Dan dua jam kemudian, di sinilah mereka, di pusat kota Blue Pines bersama banyak orang-orang lokal lainnya. Seorang pria bertubuh pendek dan gempal dengan kumis keabu-abuan, yang kata Henry Kim adalah walikota setempat, terlihat berbicara bersama beberapa penduduk. Tampaknya sedang berdiskusi tentang penataan dekorasi perayaan dan pengaturan tempat para sukarelawan bekerja. Fabian berdiri dengan tidak sabar di sebelah Flo. Entah dari mana, cowok itu berhasil mendapatkan sebuah garpu rumput.
“Untuk apa itu?” Flo menunjuk garpu besar di tangan Fabian.
“Belum tahu. Tapi benda ini terlihat keren. Aku mendapatkannya di gudang pondok Madam Poppy.” Cowok itu menoleh ke belakang, lalu kepalanya menghadap ke depan lagi. “Kalau dilihat-lihat, suasana kota ini ditambah dengan penampilan para penduduk lokal mengingatkanku pada masa-masa Pioneer’s Day dan Founder’s Day. Terkesan sangat zaman dulu.” Matanya memerhatikan dua orang pria yang mengenakan topi tinggi yang sedikit menggembung dengan ujung datar dan tepi lebar, dihiasi garis hitam yang terlihat seperti sabuk. Di sisi lain, ada segerombolan wanita berpakaian hitam-putih dengan topi bandana menutupi kepala mereka. “Atau mungkin jauh lebih lama lagi. Berabad-abad lalu.”
Dean memiringkan kepalanya ke arah Flo dan Fabian. “Ya, aku juga baru menyadarinya. Semua orang berpakaian sangat kuno. Sekasual-kasualnya hanya pakaian para penebang kayu, sisanya berpakaian seperti orang desa. Bahkan anak-anak mudanya juga.”
Fabian mencondongkan kepalanya melewati wajah Flo. Ia berbisik kepada Dean. “Benar, kan? Aku tidak tahu apakah ini hanya untuk menyambut acara festival perayaan atau mereka memang berpenampilan seperti ini sehari-hari.”
“Madam Poppy jelas mengenakan penampilan itu setiap hari,” Flo bergumam.
“Oh, omong-omong, apa perayaan ini mempunyai nama tertentu?” tanya Dean.
Pertanyaan Dean terpotong oleh suara walikota yang berbicara melalui megafon. “Kami sudah menentukan posisi tempat untuk para penduduk dan juga sukarelawan yang telah bersenang hati membantu dalam persiapan menjelang perayaan tahunan Blue Pines. Saya akan mengumumkan daftarnya.”
Sally, Eagle, Karin, dan Alan mendapat tugas menyenangkan untuk mendekorasi pusat kota yang akan menjadi area festival, tepatnya di perempatan di mana patung The Jersey Devil itu berada. Owen, Nuna, dan Landon ditunjuk walikota untuk membersihkan satu lahan luas yang berisi banyak kendaraan-kendaraan bekas dan benda rongsokan lainnya. Katanya, lahan itu akan dipakai oleh warga untuk melaksanakan ritual. Informasi tersebut cukup membuat bulu kuduk ketiga remaja itu meremang. Mr. Beckett yang sudah sangat tua dengan janggut dan rambut putihnya, akan mendampingi mereka dan penduduk yang lain. Beliau tinggal di lahan rongsokan itu. Tidak ada yang tahu nama depannya, bahkan Mr. Beckett sendiri.
“Kau berkata dia tidak tahu namanya sendiri?” tanya Landon kepada Henry Kim yang juga berada di sana, yang mendapat tugas santai sebagai patroli kota.
“Ya. Semua orang memanggilnya Mr. Beckett,” jawab Henry Kim. “Tuan Beckett tua yang malang, sepertinya beliau juga agak sinting. Tingkahnya aneh. Aku beberapa kali melihatnya di lahan rongsokan itu, entah sedang melakukan apa tapi dia terlihat begitu heboh. Namun orang-orang membiarkannya saja, karena Mr. Beckett tidak mengganggu siapapun.”
“Kau yakin?” Nuna bertanya dengan wajah sangsi. Dari ekspresinya ia jelas tidak ingin dekat-dekat dengan pria tua yang diduga sinting itu.