Flo berdiri di sebelah Meera yang sedang menyusun buku-buku ke dalam rak.
“Tidak ada yang menarik,” komentarnya. Ia meletakkan tumpukan buku sejarah di atas meja kayu panjang, lalu menatanya di dalam rak. “Sebenarnya banyak yang bagus, buku-buku di sini punya banyak cerita sejarah yang dapat digali lebih dalam. Tapi tidak ada informasi khusus tentang The Jersey Devil, hanya yang sudah kita tahu sejauh ini.”
Meera menoleh singkat pada Flo. “Aku lebih memikirkan bagaimana cara memancing makhluk itu keluar untuk menampakkan dirinya, sehingga kita dapat melihatnya.”
“Kau benar-benar sudah memercayai The Jersey Devil itu sungguh ada?”
Gadis blasteran Korea itu hanya mengedikkan bahu. “Lihat saja kota ini. Jelas ada sesuatu yang berbeda dan tersembunyi di dalamnya.”
Monroe berjalan sambil membawa tumpukan buku dari sisi lain perpustakaan. Selama mereka di dalam perpustakaan, cowok itu jarang sekali berbicara kepada Meera. Ia lebih sering berlalu dan mengabaikan jika Meera dan Flo sudah membicarakan tentang mitos-mitos. Meera tampaknya belum menyadari perubahan sikap Monroe yang lebih pendiam, terlalu fokus terhadap semua misteri ini. Monroe hanya mengobrol dengan Dean selama tugas merapikan perpustakaan mereka, tetapi cowok berkacamata itu juga sama antusiasnya terhadap mitos setempat seperti kedua gadis itu.
Ketika mereka berempat sedang berada di koridor rak buku yang sama, Madam Poppy menghampiri para remaja itu dengan langkahnya yang anggun. Ia menyapa mereka. “Oh, ternyata kalian ditugaskan di sini rupanya.” Senyum terlukis di wajahnya.
Madam Poppy sudah berganti pakaian. Kini ia mengenakan gaun merah gelap, dengan korset dan juga pengatur pinggul yang sering digunakan pada abad 19, dipakai di balik rok agar menghasilkan penampilan rok yang mengembang besar. Ada bunga mawar terpasang di gaunnya. Mawar itu menguarkan aroma yang manis.
Sinar matahari memasuki jendela perpustakaan, membuat sebagian besar ruangan bermandikan cahaya senja.
Madam Poppy mengangkat sedikit dagunya melihat ke luar jendela. “Sebentar lagi matahari terbenam, malam akan segera tiba.” Ia kembali menatap para remaja itu. “Apa kalian ingin ikut makan malam bersama di pondokku? Aku membawa mobil kemari. Kalian sudah bekerja keras membantu mempersiapkan kota untuk perayaan.”
Flo dan Meera saling bertukar pandang, tahu apa yang satu sama lain pikirkan. Dean menoleh kepada gadis-gadis itu, ekspresi keduanya terlihat senang. Ia sendiri juga sudah lapar, dan Madam Poppy selalu menghidangkan masakan yang enak. Hanya Monroe yang tidak bereaksi apa-apa.
Meera mengangguk mantap. “Terima kasih.”
“Maaf, tapi aku tidak ikut.”
Semua orang menoleh ke asal suara.
“Aku masih harus menyortir dan menyusun banyak buku. Mr. Wellington memintaku membantunya memindahkan tumpukan ensiklopedia dari dalam gudang,” ujar Monroe dengan sopan.
Sebelum mereka bertiga pergi bersama Madam Poppy, Meera menatap pacarnya itu beberapa saat. Monroe masih sibuk menyusun buku-bukunya. Kemudian ia menyusul Flo dan Dean yang sudah berjalan lebih dulu.
***
Madam Poppy ikut bergabung untuk makan malam. Tidak seperti malam-malam sebelumnya, di mana ia hanya menghidangkan makanan untuk sekelumpulan remaja lapar, bercakap-cakap sebentar, lalu pergi lagi ke dalam pondoknya. Kini wanita itu duduk berhadapan dengan Flo dan Meera, dengan Dean di sebelah kirinya, di salah satu meja piknik persegi yang cukup untuk empat orang.
Seseorang datang membawakan makan malam mereka. Seorang wanita muda yang suka bolak-balik datang ke pondok Madam Poppy untuk membantunya mengurus keperluan pondok. Kroket. Daging panggang. Ketiga remaja itu saling pandang. Suasana makan malam kali ini tampak berbeda dan mewah, belum lagi tiga lilin cantik yang ditaruh di dalam sebuah tempat lilin antik dari kuningan dengan segala ukiran-ukirannya.