Meera membuat semua orang terjaga sepanjang hari dengan wajah suntuk. Gadis itu membangunkan teman-temannya pagi-pagi sekali, memberitahu mereka untuk bersiap-siap dan berjaga dengan mata terbuka karena hari ini adalah hari pertama perayaan tahunan Blue Pines, waktu di mana The Jersey Devil akan menampakkan wujudnya.
Orang-orang lokal juga sudah bangun setelah matahari terbit, membersihkan halaman rumah mereka dan berkunjung ke rumah sesama penduduk kota. Hari pertama biasanya dilalui dengan menjamu tamu dan bertamu. Para penduduk menggunakan hari ini untuk mempererat hubungan satu sama lain di dalam komunitas. Madam Poppy sibuk melayani orang-orang semenjak pagi, halaman pondoknya jauh lebih ramai dari biasanya. Henry Kim juga sama sibuknya. Berhubung dirinya sudah berada di Blue Pines cukup lama, inspektur itu juga mengenal dekat beberapa penduduk dan mengikuti prosesi hari pertama ini dengan juga mengunjungi kediaman mereka.
Para remaja dari luar New Jersey itu nongkrong di pusat kota semenjak pagi, karena Meera menyeret mereka semua ke sana. Orang-orang berlalu-lalang di jalanan kota, keluar-masuk bangunan, dan berhenti sebentar untuk bercengkrama ringan dengan kenalannya.
Flo menelengkan kepalanya ke arah Meera dan Fabian yang duduk di dekatnya. “Tidakkah kalian sekarang merasa berada di era Kolonial?”
Sembari mengamati para penduduk, Fabian menjawab, “Aku akan bilang lebih seperti masa-masa Founder’s Day.”
“Haruskah kita membeli pakaian seperti itu juga?”
“He? Kenapa aku tidak memikirkan itu sebelumnya!” seru Fabian seperti menemukan sebuah harta karun.
Meera hanya mendengarkan Flo dan Fabian membahas jenis pakaian apa yang mereka sukai dari era tersebut, apakah ada toko butik di dekat sini, dan bagaimana mereka akan terlihat elegan ketika mengenakannya. Ia melayangkan pandangannya ke meja sebelah. Monroe duduk bersama Alan dan Raul yang sedang bermain game di ponsel mereka, dan Sally dengan lingkar hitam di bawah matanya sedang menyantap semangkuk es krim ukuran jumbo. Meera belum berbicara dengan Monroe hari ini, dan Monroe juga tidak repot-repot memerhatikan Meera.
Sambil mendesah keras, Nuna mengangkat wajahnya. “Berapa lama lagi kita harus duduk di sini, sih?” dari tampangnya ia terlihat sangat bete. “Dan kenapa juga kita harus bangun pagi-pagi sekali?”
“Untuk melihat hari pertama perayaan The Jersey Devil,” sahut Eagle yang duduk di sebelahnya tanpa menoleh. Ia sedang menggulir beranda Instagram.
“Tapi haruskah kita menunggu diam di sini saja seharian?” Nuna mendengus gusar.
Eagle masih menggulir layar ponselnya. “Yah, aku tidak tahu. Aku hanya mengikuti yang lain.” Ia meletakkan ponselnya di atas meja. Cowok itu mengusap-usap kedua ujung matanya. “Walaupun mataku juga lelah dan mengantuk berat.”
Di perempatan kota, setiap penduduk yang berjalan melewati patung The Jersey Devil pasti berhenti dan memasukkan uang satu sen ke dalam guci besar yang ditaruh di sebelah patung itu. Mereka akan memejamkan mata dan memanjatkan doa, yang diketahui setelah itu dari Henry Kim adalah bentuk permohonan agar The Jersey Devil tidak datang dan menghukum para penduduk kota dengan malapetaka yang akan menyertainya.
Beberapa menit kemudian Landon dan Dean terlihat berjalan berdampingan menuju tempat duduk para remaja itu.
“Kami baru saja memasukkan masing-masing satu sen ke dalam guci itu,” kata Dean, ia duduk di salah kursi kosong di meja Flo dan Fabian. “Aku sempat melirik sedikit ke dalam, tidak kelihatan sih, tapi sepertinya isinya sudah banyak.”
Landon membagikan cemilan yang dibawanya kepada anak-anak. Ia kembali ke meja Fabian. “Nah, ini bagian yang paling kusuka. Makanan gratis di mana-mana.” Cowok itu membuka satu bungkus karton berisi nachos dan memakannya, kemudian menawarkannya kepada Flo.
Fabian membuka kaleng minuman soda. “Kalian membuat permohonan juga?”
Dean menggelang, ia meraih satu keripik nachos. “Tidak. Kami hanya memberikan sen.”