Flo terbangun dari tidur lelapnya saat cahaya matahari masuk melalui jendela tenda yang dibuka dan menyinari kelopak matanya. Ia sempat tidak bisa melihat apa-apa saking silaunya, sebelum berguling ke samping dan berbaring tengkurap. Hawa di sekitarnya panas dan pengap.
Keadaan tenda sepi, hanya ada dirinya dengan Meera dan Sally yang masih tertidur. Mereka berdua sama sekali tidak bergerak, dan tampaknya tidak akan bangun dalam waktu dekat. Ia mengecek jam di ponselnya. Pukul 12.45.
“Makan siang dulu, Flo,” sapa Monroe saat ia melihat Flo berdiri di depan tendanya dengan tampang kucel. Cowok itu sedang memanggang potongan-potongan kentang.
“Aku membelikanmu sandwich tadi pagi. Tapi sekarang sudah dingin,” ujar Nuna dari seberang sisa kayu bakar bekas api unggun.
Flo menoleh ke kiri dan kanan. “Mana?”
Nuna menunjuk kantung kertas yang ada di atas meja, di sebelah tempat Monroe sedang berdiri dan membolak-balikkan kentang.
Dengan langkah malas, Flo mengambil sandwich dingin dari dalam kantung dan menarik satu kursi lipat lalu duduk. Ia membuka makanannya dengan tenang, menggigitnya berlahan, dan mengunyahnya dengan pelan.
Monroe menaruh satu botol kecil air mineral di depan Flo. Ia memindahkan kentang-kentang ke atas piring lalu menyodorkannya kepada gadis itu. “Sekalian makan. Saus dan bumbunya di sana.”
Setelah makan, Flo membersihkan piringnya. Landon dan Alan baru kembali dari kota setengah jam kemudian.
“Wah, pusat kota hari ini seru sekali.” Landon menunjukkan plastik besar yang ia bawa kepada anak-anak. “Lihat, kami dapat banyak pernak-pernik bagus dan cemilan enak. Sebagian besar barang di dalam sini gratis.”
“Fabian, Raul, Owen, dan Dean bahkan tidak mau ikut pulang. Mereka sekarang sedang nongkrong di pondok Madam Poppy,” Alan menimpali.
Nuna beranjak dari tempat duduknya, ia melihat apa saja yang dibawa dua cowok itu. “Kalian mampir ke lapangan rumput, tidak?”
“Tentu saja. Kami berkeliling, dan kau harus tahu sekarang sudah setengah lebih lapangan terisi oleh barang-barang random. Tahun lalu kami tidak tahu tentang hal itu,” jawab Alan. “Percayakah kau ada yang mempersembahkan tiga belas pasang sepatu olahraga?”
“Kalau bukan karena bagian dari perayaan adat istiadat sudah kuambil itu sepatu,” celetuk Landon sambil tertawa. Ia membuka satu kaleng soda dingin.
Flo mengangkat wajahnya dari isi plastik itu. “Barang random apa?”
Landon dan Alan memberitahu Flo, Nuna dan Karin juga ikut menjelaskan. Seperti dugaan mereka berdua, tampang kucel Flo seketika berubah menjadi antusias. Gadis itu langsung mencari kamar mandi terdekat dan membersihkan diri. Ia kembali satu jam kemudian dengan handuk masih melilit kepalanya.
Landon menghampiri dan menawarkannya satu cup es krim neapolitan. “Sudah segar?”
“Wah, terima kasih sekali.” Flo mengepit tas jinjingnya di ketiak dan menerima es krim itu.
“Ada rasa cokelat dan kacang kalau kau mau tambah.”
“Pastinya.”
Eagle masih tidur sampai sekarang, antara memang tidur atau malas keluar dari tenda. Monroe duduk di atas batu sambil membaca buku. Nuna dan Karin sibuk dengan ponsel masing-masing. Alan entah sedang melakukan apa di area memasak. Flo dan Landon mengobrol ringan sembari menyantap es krim mereka.
“…akan diadakan tanggal 23, tepat tiga hari setelah kita pulang ke Nashville. Kurang lebih aku hanya punya waktu satu hari untuk benar-benar beristirahat sebelum uji coba masuk tim futbol UT,” cerita Landon saat mereka berjalan-jalan di tepi hutan. “Aku belum mengecek bagaimana persaingan di sana, yang kutahu aku harus masuk ke dalam klub itu.”