Semua orang pada saat ini pasti akan setuju jika Meera Park jauh lebih mengasyikkan ketika gadis itu sedang tidur, atau kedua kelopak matanya terpejam dan tidak sadarkan diri.
Setelah terbangun dari tidur panjangnya hampir pukul tiga sore, Meera langsung keluar dari dalam tenda dan menyerang setiap makhluk hidup yang ada di area perkemahan. Sally dan Eagle juga baru bangun lima belas menit yang lalu, sekarang sedang duduk sembari minum kopi. Setelah kehebohan singkat itu, Meera memaksa teman-temannya untuk bangkit dan pergi ke kota. Ia tidak ingin melewatkan acara perayaan di hari kedua, apalagi setelah mendengar cerita dari Nuna dan Alan tentang hal-hal yang mereka lihat. Kedua saudara kembar itu mendeskripsikan suasana acara dengan baik, membuat Meera semakin kepanasan. Flo yang baru saja kembali dari kota ditemani Landon langsung ditodongnya untuk ikut serta balik lagi ke kota. Ekspresi-ekspresi enggan mewarnai wajah sebagian besar orang, sisanya menyorotkan pandangan malas.
Tetapi akhirnya di sinilah mereka semua dua jam kemudian, di halaman pondok Madam Poppy yang luas dan hijau.
Meera dan Nuna hampir saja berdebat lagi kalau Monroe tidak menengahi, memberitahu jika berjalan-jalan sore ke kota bukan ide yang buruk. Cowok itu, walaupun saat ini dalam kondisi tidak saling berbicara dengan Meera, masih membantu pacarnya. Monroe tahu betapa inginnya Meera menguak misteri The Jersey Devil, dan meskipun ia juga tahu dirinya dan yang lain juga sudah jengah akan misteri ini, masih ada sisi perasaan dari Monroe yang tidak ingin meninggalkan Meera merasa sendirian dan tidak diacuhkan.
“Malam ini sampai besok pagi adalah waktu terpenting,” ujar Henry Kim sambil mengetuk-ngetuk lambat meja kayu dengan jari-jarinya. Kedua kakinya disilangkan. “Tepat pukul empat dini hari, para penduduk kota akan melaksanakan ritual di lahan luas di mana Mr. Beckett biasa menimbun barang-barang rongsokan. Orang-orang pasti akan bangun pukul tiga pagi.”
“Apa kita juga harus mengikuti ritualnya?” tanya Dean. Ia duduk berseberangan dengan inspektur itu.
“Sesungguhnya tidak perlu.” Henry Kim meniup kuku jemarinya. “Tetapi jika kau kebetulan berada di sana saat ritual dimulai, kau lebih baik ikut andil di dalamnya.”
“Seperti apa ritual mereka?” tanya Fabian. Tampangnya terlihat serius. “Jujur saja, kalau ini semacam ritual menyeramkan seperti di film-film horror aku lebih baik berada jauh dari lokasi tersebut. Karena… aku masih peduli dengan keselamatanku.”
“Kupikir kau tidak takut apapun, harimau kecil,” ledek sang inspektur. “Ritualnya sangat sederhana. Setelah memberikan sesembahan hari ini, penduduk kota hanya perlu berkumpul di lahan luas itu dengan memegang lilin di tangan mereka masing-masing. Berdoa. Akan ada biarawan juga di sana. Prosesi itu akan berlangsung sampai matahari terbit, langit berubah lebih cerah, kemudian meniup lilin satu persatu. Dan wal la, ritual berakhir. Saatnya berpesta.” Henry Kim merentangkan tangannya di udara. “Blue Pines memang penuh dengan kepercayaan semacam itu, tapi ini bukan kota yang menyeramkan. Kalau menyeramkan, mereka tidak akan menarik pelancong-pelancong seperti kalian.”
“Yeah, aku juga sudah menduganya. Hal-hal supranatural di sini menjadi daya tarik yang menarik, dan itu menguntungkan,” komentar Sally.
“Kenapa mereka harus menunggu sampai matahari terbit?” kini Meera yang bertanya.
“Ingatkah kau waktu aku bilang soal waktu-waktu krusial?” Henry Kim balik bertanya. “Ibarat seperti yang kita lakukan kemarin malam, menunggu gelap benar-benar pergi dan berlalu. Baru kita bisa merasa tenang dan damai seutuhnya.”
“Wow, kau terdengar seperti seseorang yang rajin datang ke gereja,” gumam Flo, ia nyengir.
“Dulu memang iya, Nak.”
“Apa kau akan mengikuti ritualnya juga?”
Pandangan Henry Kim beralih kepada Fabian. “Tentu saja. Itu prosesi penting, aku harus benar-benar bersikap seperti orang lokal.”
Fabian manggut-manggut. “Oke kalau begitu. Kami juga.”
Owen sontak menoleh dengan wajah berkerut. “Kami?”
“Mari bertemu lagi malam ini. Tepi hutan bagian barat laut, dekat jalan masuk Blue Pines, pukul dua belas malam. Kita akan kembali menyelidiki dan membuka tabir.” Henry Kim bangkit dari posisi duduknya. Matahari sore menyinari halaman pondok. “Aku akan pergi ke pub pukul delapan untuk bertemu beberapa kenalan lokal. Mengobrol dan menghabiskan waktu.” Ia melirik para cowok. “Kalian juga boleh ikut serta,” imbuhnya sebelum melangkah pergi.
Sepertinya para cowok dan Henry Kim kian hari semakin dekat, inspektur itu bahkan mengundang mereka untuk minum bersama.
Baru sekitar tiga meter ia melangkah menjauh, Henry Kim membalikkan tubuhnya.
“Ah, aku melupakan sesuatu.”
Para remaja itu menoleh ke arahnya.
“Kalian pasti tahu sesembahan yang diberikan orang-orang selalu berjumlah tiga belas, kan?” ia berhenti sesaat, tetapi tidak memberikan ruang untuk balasan. “Kalian semua tepat berjumlah tiga belas orang. Kebetulan yang sangat menarik, bukan?”
Dengan satu seringai lebar, Henry Kim menunduk sambil menyentuh tepi topi tingginya, sebelum berlalu meninggalkan mereka.
Para remaja yang masih berada di sana hanya terdiam memandang satu sama lain.
***
“Kita semua harus pergi malam ini.”