Tiga gadis remaja, tiga cowok remaja, dan seorang agen inspektur rahasia usia akhir tiga puluh yang sudah berpengalaman di bidang cryptozoology dengan tahun-tahun yang dilaluinya menyamar dan meneliti di berbagai wilayah berkumpul di tepi hutan, tepat satu menit tiga puluh detik menjelang tanggal 13. Para remaja itu berdiri mengelilingi sang inspektur yang sedang memegangi satu gulungan kertas tebal. Ada satu tas selempang berbentuk kotak tersampir di bahu sang inspektur. Tas itu berisi lilin-lilin besar berukiran berbagai macam pola.
“Ini adalah doa-doa dan sajak yang akan diucapkan oleh para penduduk saat ritual nanti.” Henry Kim menunjuk permukaan kertasnya. “Di sini juga ada bentuk barisan saat mereka berkumpul di lapangan. Gulungan kertas ini dijual di toko-toko souvenir, diperuntukkan untuk para wisatawan yang penasaran.”
Para remaja itu memerhatikan huruf-huruf, pola, simbol, dan gambar apapun yang tertulis di dalam gulungan. Sebagian besar ditulis dengan bahasa Inggris lama, bagian lain menggunakan alfabet yang tidak dapat dimengerti, atau hanya simbol-simbol geometris.
“Dan bagaimana seharusnya kita membaca dan mengerti ini semua?” Meera mengangkat wajahnya pada Henry Kim.
Inspektur itu menggulung kembali kertasnya. “Kau tidak perlu mengerti. Gulungan kertas ini lebih seperti peninggalan sejarah daripada kitab suci, dengan segala keunikan pada zamannya. Pada dasarnya, bunyi narasinya hanya meminta pelindungan.” Ia memasukkan gulungan itu ke dalam tas. “Ada juga orang-orang yang membeli gulungan ini untuk bahan penelitian.”
“Tapi bukankah sebaiknya kita mempelajari gulungan ini juga? Siapa tahu memberikan informasi tentang kebenaran The Jersey Devil?” tanya Flo.
“Aku sudah melakukannya. Empat hari setelah aku menemukan gulungan itu, aku langsung mengirimkannya ke kantor UID untuk diteliti. Orang-orangku bilang tidak ada yang istimewa ketika kau sudah menerjemahkannya ke dalam bahasa Inggris modern.”
“Dan lilin-lilin itu untuk apa?” Fabian menunjuk bagian atas lilin yang menyembul dari dalam tas kotak Henry Kim.
Inspektur itu menepuk tasnya. “Untuk ritual. Para penduduk akan menyalakan lilin. Aku juga seharusnya membawa satu, tetapi aku memasukkan beberapa lagi kalau-kalau kalian ingin ikut serta.”
Flo mengecek jam di ponselnya. Pukul 00.16. Mereka benar-benar berada di luar, di tepi hutan, pada tengah malam saat tanggal 13 di hari Jumat. Flo sudah sering mendengar mitos tentang Friday the 13th, walaupun ia tidak pernah menonton film yang berhubungan dengan tanggal tersebut karena menurutnya terlalu sadis. Gadis itu lebih senang menikmati cerita sejarahnya.
“Sekarang rasanya jadi sedikit lebih seram, ya?” Dean yang berdiri di sebelah Flo bertanya.
Flo memasukkan kembali ponselnya ke saku jaket. “Yah, aku jarang berada di hutan saat tengah malam, apalagi di hari Jumat tanggal 13. Semua mitos itu seperti melintas di dalam kepalaku.”
“Betul. Aku hanya pernah menonton filmnya sekali saat Halloween. Bagus tapi bukan seleraku. Aku masih akan memilih fiksi sains.”
“Setuju.”