Nana berjalan menuju dapur dengan rambut yang kusut dan mata yang masih belum benar-benar terbangun dari tidur. Ia menuju kulkas dan mengambil sebotol air mineral, ia meneguknya dan membuka matanya. Saat itu tampak olehnya seorang pemuda jangkung yang dikenalinya sedang berdiri di dekat dispenser di sebelahnya dengan tangan kiri memegang cangkir.
Brush! Nana menyemburkan air dari mulutnya dan terbatuk. ‘Si Jelek!’
“Wah, joroknya.” Pemuda itu, Niel, mengusap-usap bagian depan sweater cokelat terang yang dikenakannya, sedikit basah terkena semburan air.
Nana masih terbatuk, ia menunjuk pemuda itu. “Kau! Apa yang kau lakukan di sini?” Nana menoleh ke sekeliling. “Ini masih rumah sepupuku, ‘kan?” Ia memiringkan kepalanya ke samping. “Tunggu dulu! Tadi malam kita pulang sama-sama. Apa aku tidur di rumahmu?”
Tadi malam Nana memang pulang dari sekolah bersama Niel. Mereka pulang ke arah yang sama, karena Nana pulang ke rumah sepupunya yang bertetangga dengan Niel di wilayah Cheongdamdong, Distrik Gangnam itu.
“Auh, bodohnya ...” Niel menggeleng-geleng.
“Ha?” Nana mengernyitkan dahi. Bodoh?!
“Kau sudah bangun?” Ri-hwan masuk ke dapur. “Mandi sana!”
Nana menghela lega saat melihat sepupunya, itu berarti dia tidak tertidur di rumah orang lain. “Kenapa dia di sini?” tanya Nana pada Ri-hwan.
“Niel akan ikut dengan kita,” jawab Ri-hwan.
“Kita? Ke mana?” Nana mengelap air di mulutnya dengan lengan piyama yang lebih panjang dari tangannya, piyama pinjaman dari sepupunya.
“Hongdae. Kau lupa?”
“Hongdae?” Nana menggeleng. “Aku nggak punya rencana keluar di hari yang dingin. Aku akan di rumah saja, kalian bisa pergi bersama.”
“Tidak bisa.” Ri-hwan berkacak pinggang. “Kau harus bertanggungjawab penuh untuk rencana yang sudah kita buat. Itu idemu. Jadi, kau harus ikut.”
“Tapi, kenapa kau harus mengajaknya?”
“Niel adalah rencana cadangan kita!”
“Rencana cadangan? Apa kita perlu orang untuk mentraktir kita?”
“Salah satunya.”
“Ah, begitu.” Nana mengangguk.
“Hei, kalian membicarakanku seolah aku tidak ada di sini,” Niel berkata.
Nana dan Ri-hwan menoleh ke arah Niel.
Nana tersenyum. “Selamat bergabung, Rencana Cadangan!” Ia menepuk lengan Niel. Kemudian melangkah pergi sambil membawa sebotol air yang belum selesai ia minum. “Aku akan bersiap-siap.”
“Aku heran, kau bisa menyukai gadis seperti itu,” kata Ri-hwan, saat Nana sudah meninggalkan dapur.
“Aku juga heran pada diriku sendiri.” Niel meneguk minuman dari cangkirnya.
“Aku pikir, kau tidak serius.”
Niel mengangkat bahu. “Yah, aku juga berpikir begitu.”
Ri-hwan tertawa. “Dengar. Sepupuku itu bukan gadis yang mudah didapatkan. Meski terlihat bodoh, tapi sebenarnya dia cukup populer. Di Jakarta, dia punya banyak penggemar. Dia terkenal di sana karena ibunya adalah seorang aktris terkenal. Setiap hari dia mendapatkan pernyataan cinta dari para penggemarnya. Tapi, tidak ada satu pun penggemarnya yang bisa mendapatkannya. Kawan, kau menyukai gadis yang sulit didapat dan sulit dipahami.”
“Begitu, ya?” Niel mengangguk. “Ri-hwan, apa Soo-ah noona-mu itu gadis yang mudah didapatkan?”
“Noona ...” Ri-hwan tersenyum. “Entahlah. Aku pun ingin tahu.”
***
Entahlah. Sepertinya Ri-hwan akan segera mengetahuinya hari ini.
“Soo-ah, kau menunggu seseorang?”
Secangkir capuccino yang paling disukainya diletakkan di mejanya, membuat gadis cantik yang sedang membaca buku itu menoleh. “Ya. Aku menunggu Jin-ju. Tapi Eonni, apa ini? Kau mentraktirku?” katanya kepada pegawai kafe yang mengantarkan minuman itu.
“Bukan aku. Tapi, seorang anak muda yang di sana.” Pegawai kafe yang mengikat rapi rambutnya, mengenakan kemeja putih berlengan panjang dan celemek hitam di pinggangnya itu menunjuk ke arah meja di sudut kafe.
Soo-ah menoleh ke arah yang dimaksud dan tersenyum karena mendapati wajah yang dikenalinya. “Kim Ri-hwan?”
“Penggemarmu?”
“Bukan begitu, Eonni.”
“Ah, gadis cantik memang bikin iri.” Pegawai kafe itu segera pergi menuju meja kasir saat melihat seorang pengunjung mendatangi meja kasir yang kosong.
Ri-hwan beranjak dari tempatnya, berjalan ke arah gadis itu.
Gadis itu, Soo-ah, ia selalu tersenyum kepada siapa saja yang bicara dengannya. Ia adalah gadis yang akan selalu terlihat cantik meskipun ia hanya berpenampilan sederhana, menguncir rambutnya dan mengenakan baju kaus, jins, serta jaket yang tidak bermerek. Ia memiliki sesuatu yang membuatnya selalu terlihat cantik, bukan hanya karena wajahnya, tetapi karena sesuatu yang lainnya, mungkin kecerdasan, kepercayaan diri atau keramahannya.
Soo-ah melihat sticky note kecil yang menempel di cangkir kopi itu. ‘Sorry’ tertulis di sana.
“Noona ...”
“Ri-hwan, apa ini?” Soo-ah menoleh ke arah Ri-hwan yang telah berdiri di samping mejanya.
“Kebetulan sekali bertemu di sini,” kata Ri-hwan.
“Ya. Sangat kebetulan.”
“Aku sudah membatalkan janji waktu itu. Maaf ...”
Soo-ah tersenyum. “Ah, itu. Tidak apa-apa.”
“Aku boleh duduk di sini?”
“Duduklah.”
Ri-hwan duduk di kursi di hadapan Soo-ah tanpa bisa menyembunyikan senyuman bahagia.
***
“Ini harusnya berakhir dengan happy ending. Berjuanglah, Sepupu!” Nana berdiri di luar kafe yang beratmosfer cozy itu, melihat pertemuan Ri-hwan dan Soo-ah melalui jendela kaca.
Langit di luar sudah gelap dan udara semakin dingin, Nana membetulkan letak syalnya dan menoleh ke arah Niel yang sedang berbincang dengan seorang perempuan yang ia kenal.
Ri-hwan memperlihatkan foto perempuan itu kepada Nana dan Niel sebelumnya dan mangatakan bahwa ia adalah Park Jin-ju, sahabat Soo-ah. Park Jin-ju kabarnya sangat menyukai Haneul yang terkenal di kalangan para cewek, mulai dari cewek SMA sampai cewek di universitas. Karena itu Ri-hwan membawa Niel ke tempat ini, untuk menjadi Haneul dan mengalihkan perhatian Park Jin-ju, agar ia bisa bersama Soo-ah tanpa terganggu.
“Rencana Cadangan, kau juga, berjuanglah!” Nana menyemangati Niel dari jauh.
Kemudian, Nana melangkah ke arah jalan. Ia bosan jika harus melakukan sesuatu seperti melihat orang-orang berkencan dari jauh. Karena itulah, ia memiliki rencana sendiri untuk menghilangkan kebosanan. Ia akan mencari jajanan di kedai pinggir jalan dan melihat pertunjukan jalanan di wilayah Hongdae.
***
Nana berjalan-jalan di sekitar Hongdae yang selalu ramai dan malam ini tampak gemerlapan oleh lampu-lampu yang menghiasi pohon-pohon yang telah rontok daunnya di pinggir jalanan.
Hongdae ramai malam ini, tak hanya para anak muda Seoul yang terlihat, tetapi juga para wisatawan. Semua yang berada di sana seolah begitu peduli dengan penampilan.
“Ini tempat yang keren,” Nana bicara sendiri.