“Nana tidak bisa tetap berada di Korea. Nana tidak akan bisa menyesuaikan diri.” Suara perempuan itu tegas dan menunjukkan sikap yang tidak ingin mengalah. Perempuan dengan usia yang sudah tidak muda lagi tetapi masih berpenampilan menarik dan wajahnya masih terlihat cantik.
“Aku tahu yang putriku perlukan, Lin. Sebaiknya kamu kembali ke Jakarta. Pembicaraan kita sudah cukup!” Pria berkemeja putih dengan tubuh yang masih tetap terlihat atletis di usia 48 tahun itu sepertinya sudah bosan dengan perdebatan yang terjadi di antara dirinya dan perempuan di hadapannya.
“Kamu tahu yang diperlukan Nana?” Perempuan itu tersenyum dengan sikap arogan. “Kim Jun-su, kamu masih berpikir apa yang kamu inginkan sama dengan yang diinginkan anak kamu. Kamu mau bikin Nana stres di sini? Belajar dari pagi sampe tengah malem. Nana tidak akan sanggup. Pokoknya, aku akan bawa Nana balik ke Jakarta.”
“Jakarta? Hidup bersama kamu? Ibu yang lebih memedulikan pekerjaan dan tidak pernah melihat pendidikan anaknya.” Lelaki itu menggeleng. “Kamu tahu, anak kamu, dia bahkan tidak bisa mengingat alamat rumahnya. Dia tidak bisa mengingat hal sepele semacam nama orang atau nama jalan. Karena itu, di sini adalah tempat yang tepat untuk Nana. Dia harus belajar lebih banyak untuk menutupi semua kekurangannya itu. Kalau Nana bareng kamu, Nana hanya akan jadi anak bodoh.”
Perdebatan perempuan itu dan laki-laki itu sepertinya tidak akan berakhir karena keduanya sama-sama tidak mau mengalah. Keduanya masih terus bertengkar meski putri yang mereka bicarakan berada di sana. Mereka bersikap seolah putri mereka tidak terlihat.
***
Nana berdiri diam, menatap ayah dan ibunya yang sedang berdebat tentang dirinya. Malam itu saat kembali ke rumah, ia menemukan pemandangan yang tidak ingin dilihat olehnya.
Nana berdiri di sana, namun kedua orangtuanya seolah tidak melihatnya. Ayah dan ibunya seperti tidak menyadari bahwa ia telah kembali ke rumah. Mereka pun masih terus bertengkar meski Nana berjalan melewati mereka dan dengan santai melangkah menuju kamarnya.
“Waktu Nana nggak balik ke rumah, dicari-cari. Begitu balik, nggak dipeduliin,” Nana bicara sendiri.
Nana menyalakan lampu hingga kamarnya yang luas menjadi benderang. Kamarnya yang berdinding biru kehijauan dengan langit-langit berwarna putih itu dikuasai oleh perabot bernuansa antik dengan warna putih dan hitam. Karpet bulu seperti warna zebra terhampar di lantai di tengah-tengah kamar. Di satu sudut ada rak buku putih yang dipenuhi novel-novel dan komik-komik detektif. Di meja belajarnya tergeletak buku pelajaran, laptop dan sebuah boneka kucing hijau yang berpakaian ala Sherlock. Di dinding di samping tempat tidurnya terdapat cermin yang kelihatan antik dan poster Arsene Lupin dalam bingkai yang terlihat senada dengan cerminnya.
Nana melempar tasnya ke lantai dan melompat ke atas tempat tidurnya yang empuk bersama sebuah boneka ikan berbentuk seperti kue ikan berukuran sepuluh inci.
“Seharusnya nggak pulang.” Nana menatap boneka ikan di tangannya, hadiah ulang tahun dari Niel yang didapatkan dari permainan claw machine saat di Hongdae tadi. “Ini karena orang yang memberikanmu padaku, makanya aku pulang. Seharusnya dia nggak menyinggung soal rumah waktu kami bicara ...”
Boneka ikan itu hanya diam.
“Dia pasti nggak pernah diremehkan orangtuanya,” Nana berkata lagi. “Apa kamu tahu? Saat kedua orangtuamu meremehkanmu, itu menjadi lebih menyakitkan daripada diremehkan oleh seluruh dunia.”
Nana menatap dengan wajah datar, boneka ikan itu tetap diam.
“Heol, kenapa aku bicara dengan boneka?” Nana memukul boneka itu dan melemparnya ke lantai.
***
Mereka mengharapkanku untuk menghibur mereka
Mereka mengharapkanku menjadi sesuatu
Tapi aku bukan siapa-siapa
Bukan siapa-siapa
Bukan siapa-siapa
(Wishes – Zion T)
Siang itu, Nana duduk bersandar di sebuah bangku panjang, di taman yang berada di samping bangunan sekolah. Ingin mencari hangatnya matahari di musim dingin, matanya terpejam, tenggelam di dalam dunianya sendiri. Berusaha menghibur dirinya sendiri dengan mendengarkan musik dari ponselnya dengan menggunakan earphone.
Sebuah tangan muncul di depan wajah Nana. Tangan yang lebar itu menghalangi cahaya matahari yang menyilaukan.
Nana menyadari hal itu, ia membuka mata dan melihat tangan yang lebar di depan wajahnya. Ia menoleh ke samping, melihat pemilik tangan itu duduk di sebelahnya.
Nana melepas earphone dari telinganya. “Oppa ...” Ia tersenyum dan mengusap air mata yang entah sejak kapan keluar dari sudut matanya.
Haneul duduk di sebelahnya, memasang wajah tersenyum. Memperlihatkan senyuman yang selalu bisa membuat orang lain tersenyum balik kepadanya dengan mudah.
“Sejak kapan di sini?” tanya Nana.
“Menangislah. Oppa akan menutupinya.”
Nana tertawa kecil dan menggeleng. “Aku nggak nangis, kok. Mataku hanya kena angin.”
Haneul masih menaungi wajah Nana dengan tangannya. “Besok kau tidak boleh sampai terlihat seperti sedang menangis karena kena angin. Oppa tidak akan ada di sekolah ini untuk menutupi wajahmu, karena Oppa akan lulus sebentar lagi.”
Nana tersenyum. “Oppa, kenapa membuatku jadi sedih? Kalau Oppa lulus sekolah dan pergi, aku nggak akan punya teman lagi di sini.”
“Apa kau mau Oppa tidak lulus sekolah? Aah, itu sulit sekali, karena Oppa adalah siswa terbaik di sekolah ini.”
Nana tertawa. Sebelah tangannya mengusap air mata yang melompat keluar tanpa ia inginkan. Seingatnya, ia tidak pernah menangis dengan begitu mudah sudah sejak sangat lama. Tapi, entah mengapa hari ini air mata itu keluar begitu saja. Apakah karena musim dingin ini terlalu melankolis? Atau karena Haneul Oppa memang mengucapkan kata-kata yang membuat sedih? Entahlah.
Haneul memalingkan wajahnya, menatap ke arah langit musim dingin yang cerah di atas sana. Seolah ia sangat mengerti bahwa gadis di sebelahnya tidak suka dilihat oleh siapa pun saat sedang menangis.
Wajahnya memang berpaling, namun Haneul tidak mengubah posisi tangannya yang menutupi wajah Nana. Haneul pun tetap duduk di sana, diam, tidak mengatakan apa-apa. Ia akan membiarkan gadis itu menangis sampai berhenti sendiri. Karena ia tahu, setiap orang memiliki hari yang berat. Setiap orang, meski yang selalu terlihat ceria, memiliki masalah yang terkadang tidak dapat dibicarakan dengan siapa pun dan hanya bisa diungkapkan dengan menangis.
***
“Kim Nana, kau keterlaluan!” Hani menggerutu sambil menyeret kantong plastik besar berisi sampah. “Ke mana saja dia? Bagaimana dia bisa selalu melakukan ini padaku?”
Kantong plastik besar itu ia bawa dari kantin sekolah untuk dibuang ke tempat sampah yang berada di belakang sekolah. Hani sangat kesal karena ia harus melakukannya sendiri.
Hani bertambah kesal karena ia ingin sekali melaporkan sikap Nana yang tidak bertanggungjawab itu kepada Ibu Guru Yoon, namun ia tidak bisa melakukannya. Hani cukup mengenal karakter gurunya itu. Hani tahu, jika ia melaporkan sikap Nana yang seenaknya itu, Ibu Guru Yoon pasti akan menambahkan hukuman lagi, bukan untuk Nana saja, tetapi juga untuknya. Hukuman demi hukuman tidak akan habis karena Ibu Guru Yoon akan menganggap mereka berdua memiliki sikap yang tidak bertanggungjawab, tidak bisa memahami orang lain dan tidak bisa berubah.
“Arrgh!”
Hani melangkah di koridor yang terletak di samping taman sekolah, berjalan menuju ke arah belakang sekolah. Di koridor yang berada dekat dengan taman sekolah itu, langkahnya terhenti. Ia melihat Nana sedang duduk di kursi yang berada di tengah-tengah taman itu.
“Ah, di sana dia rupanya.”
Sambil menyeret kantong besar berisi sampah itu, Hani beranjak menuju ke arah Nana, berniat mengomel.
“Kim Nana, apa ...” Hani tidak melanjutkan kalimatnya, langkahnya pun berhenti dengan spontan. Ia mengurungkan niat dan hanya berdiri di tempatnya tanpa melakukan apa-apa.
Hani melihat Haneul di sana, sedang menghampiri Nana dengan sikap sangat akrab. Pemuda itu duduk di samping Nana, tersenyum menatap ke arah gadis itu beberapa saat, kemudian menutupi wajah Nana dengan sebelah tangannya.
***
“Apa yang mereka lakukan?”
Di samping jendela koridor lantai dua, Niel berdiri. Bergeming dengan tatapan tertuju ke arah taman. Ia melihat Haneul dan Nana. Dan, ia merasa sedikit kesal karena apa yang sedang dilihatnya saat itu.
Sementara itu, di saat yang sama, di koridor lantai satu, Ri-hwan sedang mengarahkan kameranya ke arah taman. Kameranya menangkap beberapa momen yang harus disimpan.
Ri-hwan tersenyum dan bergumam sendiri. “Ahh, si bodoh itu bisa menangis juga.”
***
“Oppa, apa yang harus kulakukan?” Nana sudah berhenti menangis, tangan Haneul pun tidak lagi menutupi wajahnya. Ia duduk bersandar di kursi taman ditemani Haneul di sebelahnya.
“Kenapa?”
“Yah, hanya ... sepertinya aku nggak cocok berada di mana pun.” Nana mengembuskan napas. “Aku nggak punya ingatan yang bagus dalam beberapa hal. Aku nggak punya cita-cita atau impian. Aku juga nggak peduli pada pelajaran di sekolah, ah, tepatnya, aku sulit fokus pada pelajaran dan akhirnya nilaiku buruk.” Nana mengembuskan napas lagi. “Aku ini bukan apa-apa. Nggak ada yang bisa dibanggakan dariku. Aku ...” Nana menoleh ke arah Haneul. “Apa aku ini ... nggak berguna?”
“Bodoh!” Haneul menjitak dahi Nana.
“Ah!” Nana memegang dahinya yang kena jitak. “Karena inilah aku jadi bodoh.”
Haneul tertawa ringan.
“Apa yang lucu?” Nana cemberut.
“Kim Nana, orang yang tidak berguna adalah orang yang hanya bisa merugikan orang lain. Dan, kau tidak seperti itu.”
“Begitukah?”
“Kau suka Sherlock, bukan? Kau suka Arsene Lupin juga. Kau suka bermain menjadi detektif. Ya, ‘kan?”
“Ng.” Nana mengangguk.