Goldfish

Gemi
Chapter #11

Chapter 9. Bukan Dia!

Suasana ulang tahun sekolah sudah terasa dari sejak memasuki halaman sekolah. Tampak ucapan selamat ulang tahun berbahasa Inggris di halaman sekolah, dirangkai dengan tulisan besar-besar dan dipajang seperti poster sebuah film layar lebar.

Kebanyakan siswa datang dengan mobil mewah dan berpenampilan hitam-putih yang anggun, membuat mereka terlihat begitu berkelas seperti para tokoh utama di dalam film. Di koridor lantai satu, karpet merah menyambut mereka dengan kilatan cahaya blitz yang berkedip dari kamera-kamera milik beberapa siswa yang memang berperan sebagai paparazi malam itu.

Kamera-kamera itu tak henti mengedipkan cahaya blitz ke arah siapa pun yang melewati karpet merah di sepanjang koridor lantai satu hingga koridor lantai tiga menuju auditorium.

Begitu memasuki auditorium, terdengar suara musik yang mengalun lembut. Beberapa kursi telah diisi oleh para siswa yang ribut berbincang. Dan, di atas panggung tampak seorang siswa tampan yang memakai jas sedang bertindak sebagai pemandu acara.

Seperti yang tertulis di undangan, acara ulang tahun sekolah akan dimulai di auditorium yang terletak di lantai tiga itu. Setelah pidato sambutan dari Kepala Sekolah dan tiup lilin, acara pesta yang sebenarnya akan dilangsungkan di tempat yang lebih luas, di taman sekolah yang saat itu sudah berubah menjadi tempat yang lebih cantik dan bercahaya daripada biasanya.

Di taman sekolah, pohon-pohon yang telah rontok daunnya dihiasi lampu-lampu kecil berbentuk bintang yang berwarna seperti madu. Terdapat patung es berbentuk angsa yang sangat besar di tengah taman, di atas sebuah meja bundar yang besar dengan taplak meja putih, di meja itu juga terdapat berbagai jenis makanan dan minuman. Di salah satu sudut taman diletakkan grand piano dengan beberapa peralatan band yang dikelilingi empat tiang yang dibalut lampu-lampu kecil berkilauan seperti bintang keperakan, di atasnya tertutup atap kayu bercat putih yang juga dihiasi lampu-lampu bintang. Dan, lampu-lampu yang berbentuk seperti lilin diletakkan di tanah sekeliling taman.

Ini pasti akan menjadi pesta ulang tahun sekolah yang tidak terlupakan untuk beberapa siswa. Karena banyak hal yang tidak terlupakan dapat terjadi dalam semalam.

 

***

 

Jauh dari keramaian dan cahaya yang berkilauan. Hani duduk di bangku di dalam kelasnya yang sepi. Wajahnya tertunduk menatap kotak kecil berwarna hitam di genggamannya. Kotak kecil yang mungkin akan selalu mengingatkannya pada hari ulang tahun di SMA, hari ini.

Hari ini, Hani datang ke sekolah lebih cepat dari kebanyakan siswa. Karena ia ingin memberikan sesuatu kepada seseorang.

Beberapa saat yang lalu, saat Hani datang, hanya beberapa siswa yang berada di sekolah dan semuanya adalah siswa yang berpartisipasi dalam persiapan acara ulang tahun sekolah malam ini.

Hani melangkah di koridor lantai satu di samping taman sambil menutupi perasaan berdebar yang muncul tiba-tiba. Salah satu penyebabnya adalah suasana taman sekolah yang didekorasi demikian indah itu memberikan perasaan bahagia dan romantis. Hani menuju ke sudut taman, ke arah grand piano yang diletakkan di sana.

Setiap melihat piano, ia selalu ingin memainkannya. Hani iseng menekan tuts piano, lalu sesaat memainkan sepenggal nada. Dentingan piano terdengar menggelitik.

“Hani?”

Mendengar namanya disebut, Hani menoleh. Ia menjadi sedikit gugup karena melihat siapa yang melangkah ke arahnya saat itu adalah orang yang ingin ditemuinya di sini.

Lee Haneul yang bertubuh jangkung mengenakan jas rapi berwarna putih, terlihat seperti seorang pangeran.

“Kau datang terlalu cepat,” Haneul bekata dengan senyuman ramahnya yang biasa.

Hani terpesona, sejenak ia tertegun, lalu menjawab, “Ah, ya. Terlalu cepat, ya?”

“Ya. Terlalu cepat tiga jam. Acara baru akan dimulai jam delapan.”

Hani mengangguk. Tatapannya tertuju ke arah dasi motif kotak berwarna hitam-putih  yang dikenakan Haneul. “Pasti akan cocok ...”

“Apa?”

“Ng?” Hani menoleh ke arah Haneul yang mengangkat alis dengan ekspresi wajah bertanya.

“Apa yang akan cocok?”

“Oh. Ah. Itu ...” Hani tersenyum dan mengeluarkan kotak kecil berwarna hitam yang sejak tadi tanpa disadarinya terus-menerus ia sembunyikan di belakang punggungnya. “Aku pikir ini akan cocok padamu, Oppa.”

“Untukku?”

“Ya. Terimalah.” Hani menyerahkan kotak kecil berwarna hitam itu dengan kedua tangan.

Haneul menerimanya. “Apa ini?” Ia membuka kotak kecil itu dan melihat sebuah kartu bersama sebuah penjepit dasi berwarna hitam dengan ukiran unik.

“Aku membelinya di pasar loak. Terlihat antik.” Hani gugup dan ia menjadi banyak bicara. “Sebenarnya itu tidak mahal. Tapi, itu cantik, ‘kan?”

“Ini cantik.” Haneul tersenyum tipis saat membaca tulisan di kartu kecil di tangannya.

“Ah. Itu. Begini. Sebelum Oppa meninggalkan sekolah ini, aku ingin memberikan ini dan mengatakan ... ” Hani tersenyum dengan pipi merona. “Itu ...”

‘Aku menyukai Oppa, sejak entah kapan. Jika Oppa menerima perasaanku, pakailah ini.’ Kalimat itu tertulis di kartu kecil yang dibaca Haneul.

“Ini ...” Haneul menoleh ke arah Hani dengan tatapan hangatnya. “Mengejutkan.”

“Aa ... itu ...” Hani menunduk karena merasa malu.

“Hani ...”

“Y, ya?” Hani mendongak dengan senyuman yang sulit ia hapus dari wajahnya.

“Tapi, Oppa tidak bisa memakai ini seperti yang kau inginkan ...”

“Eh?” Hani mengangkat alisnya. Senyuman yang tadinya sulit dihapus itu memudar perlahan.

Haneul menutup kotak hitam itu dan mengembalikannya ke dalam genggaman Hani. “Terima kasih, Hani. Oppa sangat menghargainya.”

Hani membeku seolah cuaca musim dingin sedang menusuk ke dalam kulitnya. Bahkan tatapan hangat Haneul tidak bisa mencairkan suasana hatinya seperti biasanya, tidak bisa saat itu.

Hani berubah menjadi seperti patung es. Ia baru saja ditolak oleh Lee Haneul, seseorang yang telah membuatnya jatuh cinta untuk pertama kali.

 

***

 

“Sangat memalukan.”

Hani mengingat kejadian yang terjadi di taman beberapa saat yang lalu. Ia tidak bisa melupakan apa yang telah terjadi saat itu. Sekarang ia tidak bisa, mungkin setahun lagi juga tidak bisa, bahkan mungkin ia akan ingat pada hari ini selamanya.

Dan, saat ini Hani ingin sekali menghilang karena malu dan sedih.

Hani melihat kotak hitam itu di genggamannya, air matanya yang tertahan membuat kotak hitam itu tampak mengabur. “Ahhh, Hani, bagaimana bisa ...”

“Kau baik-baik saja?”

Hani terkejut oleh suara yang berasal dari hadapannya. Ia mendongak dengan cepat. Meski pandangannya mengabur oleh air mata yang tertahan di matanya, Hani tetap bisa mengenali siapa yang sedang berdiri di depan kelas saat itu.

Kim Ri-hwan, dalam balutan kemeja putih yang terlihat sangat cocok padanya. Ia melangkah ke arah Hani. Di tangannya pemuda berkacamata yang hari ini menyisir rambut keritingnya dengan sangat rapi itu membawa kamera yang membuat Hani waspada.

“Jangan coba-coba memotret atau kupukul!” Hani langsung memperingatkan.

Ri-hwan menatap wajah Hani yang sama sekali tidak memperlihatkan ekspresi mengancam, tetapi justru memperlihatkan raut kecewa. Ri-hwan tersenyum. Dan, jepret! Ia memotret.

“AH! SEONBAE!” Hani berteriak spontan.

“Ooo, Ahn Hani, apa ini? Apa kau tidak pernah terlihat jelek? Wah, bagaimana kau selalu terlihat cantik begini?” Ri-hwan menunduk melihat hasil jepretan barusan di dalam kameranya. “Wajahmu terlihat seperti ini!” Ia mengangkat kepalanya dan melihat bagaimana ekspresi kaget Hani saat itu. Karena saat menolehkan kepalanya, Ri-hwan mengubah ekspresi wajahnya menjadi sangat konyol.

Hani menahan tawa. Namun tidak berlangsung lama, tawanya pun meledak. “Hahaha ... Seonbae, hentikan itu. Kau terlihat jelek.” Hani benar-benar tidak bisa menahan tawanya.

“Kalau begini? Apa sudah lebih tampan?” Ri-hwan mengubah ekspresi konyolnya ke ekspresi konyol yang lainnya.

Hani tidak berhenti tertawa. “Berhentilah. Seonbae membuat perutku sakit.”

Ri-hwan mengembalikan wajahnya ke ekspresi normal. “Bagaimana? Sudah lebih baik?”

Perlahan Hani berhenti tertawa. “Ah, perutku sakit.” Hani mengusap air mata di sudut matanya yang keluar bersamaan ketika ia tertawa.

“Tertawa saat kau ingin tertawa. Menangis saat kau ingin menangis. Itulah yang harus kaulakukan.”

“Apaan ...”

“Karena menahan perasaan dan menyembunyikannya, akan sangat menyakitkan.”

Seonbae ...”

“Kenapa?”

Seonbae tidak cocok dengan sikap dewasa begitu.” Hani beranjak dari kursinya. “Seonbae lebih cocok jika terlihat konyol,” lanjutnya, lalu tersenyum dan melangkah pergi dari hadapan Ri-hwan.

“Apa? Hei ...” Ri-hwan membalikkan badannya ke arah Hani.

Hani berhenti di depan kelas dan menoleh. “Seonbae, terima kasih.”

“Untuk apa?”

“Mambuatku tertawa sampai sakit perut.” Hani tersenyum lebar hingga deretan giginya tampak.

‘Ia terlihat begitu cantik saat tersenyum.’ Tatapan Ri-hwan mengatakan isi pikirannya.

“Aku tidak ingat kapan terakhir kali aku tertawa seperti ini.”

Ri-hwan membalas senyuman itu. “Jangan sampai kau merindukanku saat aku sudah lulus nanti.”

“Tidak akan,” Hani menjawab singkat dan melanjutkan langkahnya, keluar dari ruang kelas itu.

“Kalau rindu kau bisa menelepon. Aku akan datang dan membuatmu tertawa seperti hari ini,” Ri-hwan berkata, suaranya menggema di dalam kelas.

Hani tidak menjawab dan terus melangkah pergi. Suara langkah kakinya berdetap di koridor.

 

***

 

Lihat selengkapnya