Jalanan yang tidak dikenali. Bahasa yang tidak begitu dikuasai. Cuaca yang berbeda. Budaya dan perubahan musim yang tidak akrab dengan kesehariannya.
Pindah dari Jakarta ke Seoul. Apakah ini pilihan yang tepat?
Ia mulai berpikir ulang saat melangkah keluar bandara Incheon malam hari itu dan merasakan dinginnya terpaan gerimis yang dibawa oleh embusan angin di akhir musim gugur.
“HUATSYII!!” Ia memang mudah bermasalah dengan udara dingin.
Ah, pikirnya, seharusnya ia tidak membiarkan Papa membawanya pergi ke negara ini. Seharusnya ia tidak menjadi anak gadis yang begitu tidak peduli. Seharusnya ia tidak membiarkan Papa memenangkan hak asuh atas dirinya. Seharusnya ia tidak meninggalkan Indonesia, Mama dan teman-teman di sana. Seharusnya ia memutuskan dengan cepat kewarganegaraannya.
Seharusnya—
Ia berhenti berpikir tentang seharusnya itu saat matanya tak sengaja bertemu pandang dengan tatapan seorang pemuda yang sedang berdiri tak jauh dari tempatnya berada.
Pemuda tampan berkulit cerah dan bertubuh jangkung, dengan rambut cokelat gelap yang sedikit berantakan. Perawakan Asia yang menawan menguasai penampilannya dari kepala sampai ujung kaki. Ia tampak bercahaya seperti ada lampu yang menyinarinya dari atas kepalanya.
“Wah ...”