“Jelek!” Ucapan singkat yang membayangi Nana secara tiba-tiba saat ia menatap ke arah cermin di dalam toilet sekolah siang hari itu. Satu kata yang selalu saja muncul setiap ia melihat cermin akhir-akhir ini.
“Apa aku jelek?” Nana bertanya pada cermin itu.
Jepret! Cahaya blitz mengenai wajah Nana, membuatnya nyaris melompat karena terkejut.
“Ri, Ri-hwan ...” Nana terbengong.
Pria berambut ikal dan berkacamata ala Harry Potter itu meletakkan kameranya di meja wastafel yang memanjang, menghadap ke arah cermin yang panjang dan lebar itu. Ia mencuci tangannya di sana sembari berkata, “Kau nggak jelek, hanya kurang cantik.” Ia mengedipkan sebelah matanya pada Nana di pantulan cermin yang berada di depannya.
“A, ap, apa yang ...” Nana tergugu karena rasa terkejut yang belum hilang. “Hei, Kim Ri-hwan! Apa yang kaulakukan di toilet cewek?!”
“Kau pikir sedang apa orang di toilet?” Siswa baby face itu mengibaskan tangannya yang basah di depan Nana.
“Auh, jorok!” Nana menghindarinya.
Ri-hwan mengambil kameranya, lalu melenggang pergi dengan santai seolah hal biasa untuk seorang anak laki-laki memasuki toilet khusus anak perempuan.
“Hei!” Nana mengejarnya keluar toilet, menghentikannya, menarik kerah baju Ri-hwan dan mendorongnya ke dinding. “Jadi, kau punya hobi memotret cewek-cewek di toilet? Dasar mesum!”
“Aku nggak begitu!” sanggah Ri-hwan. “Aku menggunakan toilet cewek karena toilet cowok sangat jorok, mereka nggak membersihkan toilet dengan benar. Aku nggak pernah memotret siapapun di toilet kecuali kau!”
“APA?!” suara Nana spontan meninggi. “Kau memotret ...” ia kehilangan kata-kata. “Kau mau mati?” Tangan Nana bergerak cepat, mengambil dengan paksa kamera yang berada di genggaman Ri-hwan.
“Aku memotret wajahmu tadi. Hanya itu,” jelas Ri-hwan cepat, sebelum Nana melempar kamera miliknya ke lantai. “Jangan dilempar! Nana, aku benar-benar nggak mesum! Lihat saja isi kameranya! Jangan dilempar! Kumohon. Itu kamera baruku! Nanaaa!!!”
Nana menatap tajam, tangannya yang memegang kamera sudah diangkat ke atas siap diayunkan ke bawah.
“Aku nggak bohong,” Ri-hwan memelas. “Nana, jangan lempar itu! Aku membelinya dengan mengumpulkan gaji kerja part time selama setahun.”
Sebab orangtuanya tidak memanjakannya dengan uang, ia harus berusaha sendiri jika ingin membeli sesuatu yang diidamkan, Nana tahu. Tapi, Nana jarang sekali mengubah keputusannya saat ia ingin melakukan sesuatu. Karena itulah kalimat memelas Ri-hwan tidak berpengaruh sama sekali padanya. Jadi, kamera di tangannya sepertinya akan rusak hari ini.
Tepat saat Nana akan melempar kamera itu ke lantai, kamera yang ia angkat ke udara tiba-tiba diambil dari tangannya oleh seseorang yang telah berdiri di belakangnya entah sejak kapan.
“Hei!!” Nana berbalik dan didapatinya seulas senyuman dari wajah yang tampan.
“Dia memang selalu menggunakan toilet cewek diam-diam, tapi Ri-hwan bukan orang yang akan memotret cewek-cewek di toilet dengan nggak sopan,” si pemilik wajah tampan itu berkata dengan suara yang ramah. Ia punya kemampuan untuk membuat siapa pun meleleh oleh sikap dan tatapan hangatnya, siapa pun, termasuk Nana.
Nana membalas senyuman itu seperti terkena hipnotis. “Oppa ...”
Lee Haneul, pin persegi panjang yang menempel di bagian dada kanan seragamnya bertuliskan namanya. Pria bertubuh jangkung, berkulit cerah dan berambut cokelat gelap itu demikian memesona, seolah bunga sakura di musim semi sedang bermekaran di latar belakangnya.
‘Jelek!’ Suara itu tiba-tiba terngiang di telinga Nana. Auh, apa ini kutukan? Menyebalkan!
Yah, melihat Haneul agaknya secara spontan telah membuat Nana teringat pada seseorang yang pernah mengejeknya dengan sebutan ‘jelek’ beberapa waktu lalu.
Karena Lee Haneul memiliki wajah yang sama persis dengan pemuda yang meledek Nana dengan kata ‘jelek’ itu. Mereka benar-benar sama.
Meski begitu, Haneul bukanlah pemuda yang sama dengan pemuda yang itu.
Pada awalnya, Nana pikir, mereka hanyalah dua orang yang memiliki kemiripan wajah. Hingga suatu hari saat mengunjungi rumah sepupunya, Nana bertemu dengan kedua pemuda berwajah mirip itu secara bersamaan dan mengetahui hubungan keduanya. Ternyata mereka berdua adalah saudara kembar!
Dua orang berperawakan identik itu memang bersaudara, tetapi mereka adalah dua orang yang sangat berbeda. Menurut Nana, si Oppa Lee Haneul seperti malaikat pelindung sementara kembarannya, si ‘jelek’ Lee Daniel yang mengejeknya saat pertemuan mereka di Bandara itu, seperti malaikat pencabut nyawa. Mereka berdua seperti sisi putih dan sisi hitam, seperti musim semi yang membuat hangat dan seperti musim panas yang membuat gerah.
Nana melepaskan tangannya dari kerah baju Ri-hwan. “Kau diselamatkan Oppa.”
Ri-hwan mengembuskan napas lega karena kameranya selamat dari kekejaman Nana. “Haneul, thank you! Kau adalah pahlawanku.” Ia mengulurkan tangan meminta kameranya kembali dengan sikap imut yang sempurna.
“Jadi, dia memang selalu menggunakan toilet cewek? Oh, My God!” Nana tak percaya.
“Dia memang sedikit tidak normal.” Haneul mengembalikan kamera di tangannya kepada Ri-hwan. “Aku akan memeriksa kameramu nanti, jangan hapus satu foto pun.”
“Oke!” Ri-hwan mengangkat jarinya membuat tanda oke. Kemudian ia memeluk erat kameranya dengan penuh kasih sayang. “Ah, syukurlah kau tidak apa-apa, my baby.”
“Ri-hwan, aku nggak mau punya sepupu yang nggak normal.” Nana melirik sepupunya itu.
“Aku juga,” jawab Ri-hwan.
“Bagaimana Oppa bisa percaya pada orang seperti ini?”
Haneul menepuk kepala Nana dengan sayang. “Lupakan ini, Oppa akan mentraktirmu makan siang.”
“Setuju!” Nana mengangguk. Tawaran seperti itu, sih, tidak perlu berpikir untuk menjawabnya.
Ri-hwan menggeleng-gelengkan kepala. “Dia lemah sekali pada makanan gratis.”
“Abaikan dia,” kata Haneul seraya meraih tangan Nana dan membawanya pergi dari hadapan Ri-hwan.
“Tunggu!” Ri-hwan mengikuti keduanya. “Haneul, traktir aku juga!”
“Tidak mau. Aku hanya mentraktir gadis cantik.”
“Apa aku cantik?” tanya Nana berseri-seri.
“Tentu saja.”
“Sedikit,” tambah Ri-hwan.
“Aissi ...” Nana mendelik pada Ri-hwan yang melangkah di sebelah Haneul.
“Nana, kau cantik,” ucap Haneul.
Seulas senyuman lebar secara otomatis muncul di wajah Nana saat ia mengalihkan tatapan ke arah Haneul. “Oppa, aku percaya padamu. Selalu! Selalu!”