“Niel!” Ri-hwan menghalangi jalan teman sekelasnya di ambang pintu kelas.
“Apa?” ucap Niel dengan suara rendah yang terkesan tak peduli.
“I choose you, Lee Daniel!”
“Kau pikir aku Pokemon?” Niel beranjak dari hadapan Ri-hwan.
“Eyyyy.” Ri-hwan segera menghalangi langkah Niel, lagi. “Besok ikut denganku, ya?”
“Ke mana?”
“Bertemu para mahasiswi cantik.” Ri-hwan memperlihatkan hasil jeperetan kameranya pada Niel. “Lihat, mereka benar-benar cantik.”
Niel melihat foto-foto di kamera itu sekilas dan mengangguk. “Kau mau mengenalkan mereka padaku?”
“Maaf, friend-ku, tapi sejujurnya, para Noona sangat menyukai Haneul. Soo-ah Noona meminta sesuatu saat aku membuat janji untuk bertemu dengannya. Noona ingin aku membawa Haneul bersamaku karena temannya naksir saudara kembarmu itu,” Ri-hwan menjelaskan dengan jujur. “Jadi, kau satu-satunya yang bisa membantuku.” Ri-hwan memohon dengan wajah termanis yang ia punya. “Jadilah Haneul untuk besok, oke?”
“Tidak mau! Bawa saja Haneul.”
“Haneul tidak bisa pergi ke mana-mana besok, kecuali sekolah. Dia sedang sibuk mempersiapkan acara ulang tahun sekolah. Dia ketua panitia untuk ulang tahun sekolah kita, kau lupa?” Ri-hwan tidak menyerah memohon, “ Ayolah, Niel. Bantu aku dekat dengan Soo-ah Noona. Aku berjanji akan membantumu dekat dengan gadis mana pun yang kausukai.”
Niel menatap temannya itu sejenak tanpa bicara, kemudian ia mengangguk. “Kau sudah janji.”
“Yes!!” Senyuman kemenangan mengembang di wajah Ri-hwan. “Tentu. Aku janji!”
“Janji apa?”
“Ah, astaga!” Ri-hwan terkejut oleh wajah Nana yang tiba-tiba melongok di samping bahunya. “Nana, kau mau bikin orang jantungan? Kenapa muncul seperti hantu begitu?”
“Hantu? Aku?” Nana melangkah ke hadapan Ri-hwan. “Matamu rusak, ya?”
“Kulitmu yang pucat dan mata pandamu itu, membuatmu kelihatan seperti hantu.” Ri-hwan mengangkat poni Nana dari dahi gadis itu. “Poni lurus yang nyaris menutupi matamu ini, membuatmu seperti hantu.” Ia menjambak sejumput rambut Nana. “Rambutmu yang terlalu lurus dan hitam ini juga, membuatmu seperti hantu.”
“Aku tahu. Aku penggemar Sadako. Ini gayanya.” Nana tersenyum manis, namun ia justru membuat Ri-hwan merinding.
Ri-hwan merasakan keganjilannya, sepupunya tidak marah sama sekali meski ia menjambak rambut sadakonya itu. “Wah ... ” Ri-hwan melepas tangannya dari rambut Nana dan mundur perlahan.
Nana cepat-cepat mengaitkan tangannya ke lengan Ri-hwan sebelum sepupunya itu melarikan diri darinya.
“Apaan ini?” tanya Ri-hwan curiga.
“Ikut aku!” kata Nana.
Dengan sedikit memaksa, Nana menyeret Ri-hwan bersamanya. Nana tidak memedulikan Niel yang masih berdiri di ambang pintu kelas sedang menoleh ke arahnya dan Ri-hwan yang menjauh.
“Apa aku ini nggak terlihat olehnya?” gumam Niel.
Nana tidak mendengar pemuda itu bergumam, kalau mendengar pun kemungkinan ia tidak peduli. Bukan karena ia mendendam setelah disebut ‘jelek’ oleh Niel, ia hanya gadis yang terlalu cuek.
Nana dan Ri-hwan pun terus menjauh, melewati koridor lantai dua yang dijejali para siswa yang sedang keluar kelas untuk istirahat siang.
“Apa? Ke mana? Aku merasa seperti sedang diculik dan akan dibunuh di suatu tempat.”
“Haruskah aku melakukan itu?” Nana berkata santai, seolah ia bisa melakukan hal sadis seperti menculik dan membunuh.
“Eyyy, jangan bercanda.” Ri-hwan nyengir. “Ah, kalau kau mau minta ditraktir, aku nggak punya uang.”