Ri-hwan sangat bersemangat untuk bertemu Soo-ah Noona. Pagi-pagi dia sudah mengenakan pakaian rapi, menyisir rambutnya yang keriting, menggunakan kaca mata dengan bingkai bersegi dan menggunakan parfum.
Di dalam kamarnya—yang berdinding biru langit dan dipenuhi foto-foto hasil jepretannya, buku-buku di meja belajar, serta boneka beruang biru berukuran raksasa di sebelah sofa di sudut ruang—ia bersenandung seraya menggoyangkan badannya di depan cermin besar yang menguasai satu bagian dinding kamarnya.
“Baby, aku tak dapat menghentikan hatiku, oh, crazy! Kau terlalu cantik, ku tak sanggup, oh, crazy! Jika bukan kau aku tak membutuhkannya, crazy! Kenapa aku jadi seperti ini?”[1] Suaranya sumbang. Tapi dengan percaya diri, ia tetap bernyanyi.
Kemeja lengan panjang berwarna putih dilapisi sweater abu-abu. Rambut yang ditata rapi dan tubuh yang wangi.
“Hei, Kim Ri-hwan, kenapa kau sangat tampan hari ini?” Ia berkata pada dirinya sendiri di cermin, dengan senyum penuh percaya diri. “Kau kelihatan seperti pria dewasa. Pertahankan itu!”
Setelah memastikan penampilannya rapi, ia mengambil ponselnya di atas tempat tidur.
“Oh. Ini ... mati?” Ri-hwan melihat layar ponselnya yang gelap, kehabisan baterai.
Ia pun menuju meja belajarnya, membuka laci dan mengambil baterai cadangan. Ia segera mengganti baterai di ponselnya, bermaksud ingin menghubungi Niel. Namun, saat ia menyalakan ponselnya, yang pertama kali muncul di layar adalah sebuah panggilan masuk dari pamannya.
“Ya, Samchon!” Ri-hwan menjawab panggilan telepon itu dan mengerutkan dahi mendengar suara pamannya di seberang telepon. “Nana? Aku belum menemuinya sejak pulang sekolah.” Beberapa saat Ri-hwan terdiam mendengarkan hingga wajah paniknya muncul. “A, aku akan mencarinya! Ya! Baiklah!”
Saat percakapan telepon itu selesai, Ri-hwan segera menghubungi Niel. Ia harus memberitahukan tentang perubahan rencana pertemuan mereka.
“Ya.”
“Niel, ini aku,” Ri-hwan berkata segera setelah suara Niel terdengar di ponselnya.
“Aku tahu.”
“Sepertinya kita tidak bisa pergi ke Hongdae pagi ini.”
“Kenapa?”
“Nana hilang.”
“Kau bercanda?”
“Aku serius. Ponselnya tidak bisa dihubungi dan dia tidak pulang ke rumahnya sampai sekarang.”
“Dia benar-benar hilang? Maksudmu dia mungkin diculik atau semacamnya?”
“Aku harap itu tidak terjadi,” kata Ri-hwan bersungguh-sungguh, “Aku sangat cemas karena sepupuku yang bodoh itu tidak lancar berbahasa Korea. Si bodoh itu hanya menguasai banmal[2] dan umpatan. Dia tidak bisa mengingat nama jalan, nomor telepon dan nama orang. Dia bahkan sering lupa siapa namaku.”
“Yang benar saja?” Niel terdengar tak percaya.
“Karena itulah, aku sangat khawatir. Ayah Nana meneleponku tadi. Samchon bahkan sudah melapor tentang putrinya yang hilang ke Polisi. Bagaimana kalau dia tersesat? Dia juga selalu tidur di sembarang tempat. Bagaimana kalau dia benar-benar diculik? Astaga!”
“Kalau begitu kau harus membatalkan janji dengan para Noona.”
“Aku—” Ri-hwan berhenti bicara sesaat, berpikir, sebelum melanjutkan, “Haruskah?”
“Kau harus memilih mencari Nana atau janji kencan.”
“Aku ...” Ri-hwan memutuskan, “akan mencari Nana ...”
“Oke! Kita gunakan motorku. Aku akan segera ke rumahmu.”
“Kau mau membantu?”
“Ya.”
***
“Aku pikir, kita harus memeriksa apakah ada pelajar yang mencoba bunuh diri di Sungai Han.” Ri-hwan berkata pada Niel yang sedang fokus pada jalanan daerah Gangnam yang sedang mereka lewati.
Saat itu Niel mengendarai motor trailnya dengan kecepatan yang lebih rendah dari biasanya. Seorang pelajar biasanya tidak diperbolehkan mengendarai sepeda motor, terutama karena tidak memiliki SIM. Tetapi, Niel memiliki SIM dan ia tidak sedang berpenampilan seperti pelajar saat ini. Karena itulah, Ri-hwan tidak khawatir meski berkeliling Seoul atau bahkan Korea menggunakan sepeda motor bersamanya.
Ri-hwan dan Niel telah menghabiskan waktu sepanjang hari mengelilingi kota Seoul, menyusuri beberapa distrik yang mungkin sekali menjadi tempat Nana tersesat. Sebentar-sebentar mereka berhenti di beberapa tempat yang mungkin didatangi Nana, seperti halte bus, toserba, tempat permandian umum, serta coffee shop. Untuk melihat apakah Nana berada di sana. Akan tetapi, seolah Nana adalah makhluk tak kasat mata, gadis itu tidak terlihat di mana pun sejak langit masih terang hingga berangsur gelap.
“Dia tidak terlihat seperti orang yang berpikiran pendek.” Suara Niel terdengar dari balik helmnya. “Dia benar-benar tidak punya teman di Seoul, ya?”
“Tidak ada. Di sekolah saja hanya bisa cari musuh,” jawab Ri-hwan. “Ah, karena mencarinya aku jadi lupa kalau aku belum makan sejak pagi.” Ia memegang perutnya yang berbunyi minta diisi. “Oh, iya, coffee shop tempat Hani bekerja ada di sekitar sini. Kita berhenti di sana sebentar. Kita harus mengisi tenaga dengan makanan manis.”
“Oke!” Niel setuju.