“OH?!” Pandangan Nana melebar saat membuka lokernya. “Kenapa bisa ada di sini?”
Pagi itu, saat akan mengganti sepatunya di ruang loker, Nana menemukan dua barang miliknya yang ia pikir sudah hilang.
Nana meraih buku harian dan ponsel yang tergeletak di dalam loker itu, mengeluarkannya dari sana dan memastikan itu memang miliknya. Diary dengan sampul bergambar ikan dori dan ponsel dengan gantungan ikan yang mirip kue ikan.
“Ini ...” Nana mengerutkan dahi. “Apa aku lupa menyimpannya di sini?” ia bergumam sendiri. Dan, mengingat apakah ia memang menyimpan dua barang itu di loker dan lupa.
Tapi, meski sudah berusaha mengingat dengan sekuat tenaga, Nana tetap ingat dengan jelas, bahwa ia tidak pernah meninggalkan buku harian dan ponselnya di loker ini.
Nana mengangkat bahu. “Terserah, deh.” Ia tidak mau memusingkan hal itu, karena yang terpenting, ponsel dan buku hariannya sudah kembali.
Nana segera melepas sepatunya dan mengambil sandal dari lokernya. Mengganti sepatunya dengan sandal yang khusus digunakan oleh para siswa di sekolah itu saat beraktifitas di dalam bangunan sekolah (kecuali saat berolahraga), sepasang sandal yang mirip sandal rumahan berwarna abu-abu.
Kemudian Nana menyimpan sepatunya ke dalam loker dan mengunci lokernya. Dan, melangkah keluar dari ruang loker.
Sambil melangkah di lorong lantai satu, ia mencoba menyalakan ponselnya. Ia tidak sadar seseorang mengikutinya di belakang.
“Hei, ikan mas!”
“Hah?!” Nana terkejut saat seseorang yang datang dari arah belakangnya tiba-tiba melingkarkan tangan di pundaknya.
Saat menoleh, Nana mendapati wajah pemilik suara berat dan rendah itu tersenyum padanya, senyuman yang sangat jarang diperlihatkan oleh pemuda itu.
Nana melirik sekilas ke arah pin nama di seragam pemuda itu. Lee Daniel.
“Apaan ini?” Nana berkata dengan wajah tanpa ekspresi.
“Kenapa kau belum menjawab juga?”
“Menjawab apa?” Nana balik bertanya.
“Kita ... jadian.”
“Ah, itu?”
“Ah, itu?” Niel kehilangan senyumannya. “Jawaban macam apa itu?”
“Aku nggak suka orang yang palsu,” ujar Nana.
“Apa?” Niel mengangkat alis.
“Aku tahu, kau menemui gadis-gadis sebagai Oppa. Aku tahu, kaulah yang membantu di hari pertama kami mendapat hukuman membersihkan kantin, bukan Oppa.”
“Wah, kau tahu ... itu aku?” Niel sedikit terkejut karena temannya Kim Ri-Hwan saja tidak mengetahui hal itu. Ia pikir, ia sudah menjadi Haneul dengan sempurna saat itu.
“Kau juga sepertinya sudah melakukan sesuatu yang aneh di belakang semua orang.” Nana menatap dengan tatapan menyelidik. ‘Kau sedang melakukan sesuatu, bukan? Sesuatu yang sedang kausembunyikan. Mengakulah!’
“Aku?” Raut wajah Niel menunjukkan kepolosan.
“Lee Daniel.” Nana menunjuk ke arah pin nama di seragam Niel. “Katamu aku jelek, lalu selanjutnya ... apa? Kau menyukaiku?”
“Ah, itu ...”
“Aku bukan orang yang bisa dengan mudah dipermainkan seperti yang kaulakukan pada orang lain.” Nana menyingkirkan tangan Niel dari bahunya. “Dengar, ya! Meski kau menggunakan pin nama Oppa di seragammu. Meski kau mengubah penampilan, cara bicara dan sikap hingga menjadi seperti Oppa. Aku tetap akan tahu itu kau dan bukan Oppa. Lee Daniel, apa sangat menyenangkan membodohi orang lain?”
“Kim Nana, aku nggak mempermainkanmu,” Niel berkata dengan wajah serius.
“Aku nggak peduli. Enyah sana!” Nana meninggalkan Niel dengan sikap tak acuh.
“Aku harus apa untuk membuktikan kalau aku nggak mempermainkanmu?”
Nana tidak memedulikannya. Meski mendengar suara Niel di belakangnya, ia terus berlalu.
“Hei, Kim Nana! Ayo, kita jadian!” Niel berteriak, membuat semua siswa yang ada di sekitar lorong lantai satu itu menoleh ke arahnya dan Nana.
Nana spontan menghentikan langkahnya dan berbalik menoleh ke arah Niel dengan tatapan tajam. “Hei! Hentikan itu!”
Niel melangkah ke arah Nana dan berhenti di depan gadis itu. “Kau mau aku berhenti? Baiklah. Aku akan berhenti.”
Nana mengangkat alisnya. Semudah itu rupanya. “Benarkah?”
“Kelihatannya kau tidak mau aku berhenti, tuh.”
HEH?! “Aku bukan orang yang plin-plan!”
Niel mengangguk. “Ya. Baiklah. Kalau begitu, aku tidak akan berhenti dengan mudah. Bagaimana? Kau suka?”
Nana ternganga. Ia kehilangan kata-kata sejenak. “Heh? Suka apanya? Yang benar saja?”
“Karena itu, Kim Nana, kalau kau mau aku berhenti, kau harus mengalahkanku lebih dulu.”
“Eeh?”
“Kau mau aku tidak menyerah dengan mudah, bukan?”
“?” Astaga! Orang ini?
“Jadi, ayo taruhan! Kita buat pertandingan. Kalau kau kalah, kita jadian.”
“Wah, apaan ini? Taruhan?”
“Kenapa? Kau takut kalah?” tanya Niel dengan seulas senyuman tipis.
“Nggak!” Nana menjawab cepat. Dan melanjutkan, “Bagaimana kalau kau yang kalah?”
“Aku akan berhenti memintamu untuk jadian denganku.”
“Oke!” Nana langsung setuju. Harga dirinya tidak pernah membiarkan siapa pun menganggapnya takut kalah. “Memangnya mau bertanding apa?”
“Taekwondo.”
“Apa?” Nana menautkan alis. Lalu menertawai jawaban itu. “Taekwondo?”
“Ya.”