Pagi yang cerah di kota Goldwind, matahari bersinar mengeluarkan cahaya oranye keemasan, awan-awan pias menghiasi langit biru, angin melaju teratur membawa embun. Di ujung pohon pinus, kumpulan burung parkit warna-warni berkicau merdu, sementara segerombol kolibri terbang riang mengelilingi bunga-bunga Narrcius putih liar di kebun. Suasana pagi yang begitu menggambarkan hati Elias. Hari ini wanita pujaan hatinya akan berkunjung ke rumah untuk makan siang.
Pria berambut merah itu sudah menyiapkan sesuatu yang begitu spesial untuk sang kekasih. Katakanlah momen paling membahagiakan dan pastinya mereka kenang seumur hidup. Tentu ia harus membuat kesan bagus, sebab ini juga menjadi pertama kalinya sang kekasih berkunjung. Pria itu bangun pagi sekali demi memulai operasi pembersihan rumah, yang sebenanrya lebih terlihat seperti kandang kuda daripada rumah.
Tok-tok-tok!
Elias yang sedang merapikan meja menoleh semringah. Pria itu segera berlari ke pintu depan, berhenti sejenak untuk bercermin, merapikan anak rambut yang tercuat, menghirup bau napas sendiri, kemudian membuka pintu sambil membungkuk memberi hormat—Sikap seperti itu dijamin berhasil membuat sang kekasih, bahkan wanita-wanita di seluruh Goldwind terkagum-kagum.
“Hai, Frigia. Selamat datang!”
“Halo, Elias. Terima kasih atas sambutannya.”
Elias mengernyit lantaran balasan tadi bukanlah suara lembut nan halus khas Frigia, melainkan suara bariton tinggi menyebalkan. Elias menegakkan tubuh, dan langsung terkejut melihat dua kakaknya, Apollo dan Pluto, serta kakak iparnya Silas berdiri di ambang pintu memamerkan senyum sok polos. Tubuh tiga pria itu terbalut atribut seperti ikat kepala, papan berbentuk pagar segi empat, serta bendera yang masing-masing bertuliskan; Ayo maju Riles! Riles terbaik! Tak terkalahkan!.
Ketiganya terlihat begitu konyol, meskipun bagi Elias mereka semua memang sudah terlahir konyol, terutama Apollo dan Pluto. Mereka bertiga—khususnya kedua kakak kandung Elias—selalu ogah-ogahan bertamu ke rumah si bungsu dengan alasan rumahnya terlalu berantakan atau terlalu bau, tapi sekarang mereka di sini bersama senyum lebar serta atribut konyol. Dan satu hal lagi, yang juga membuat Elias tak henti meringis.
“Hai, Paman!”
Anak-anak mereka ikut serta! Semua berusia sekitar sepuluh sampai dua belas tahun dan semuanya menyebalkan di mata Elias.
“Dengar, Elias! Ke mana pun kau hendak pergi sebaiknya batalkan saja!” Apollo berseru galak melihat Elias tampil necis memakai tunik mewah berhias ukiran api di tepian kerah dan lengan, serta jubah panjang yang dikaitkan lencana-lencana emas kebanggaannya. Rambut merahnya pun tersisir rapi berhiaskan bumban daun mint.
Tanpa menghiraukan ancaman sang kakak, pria itu berkacak pinggang, berusaha menghalangi pintu masuk. “Mau apa kalian ke sini?”
Alih-alih menjawab, Apollo dan Pluto, serta anak-anak menerjang masuk seperti ombak tsunami sehingga Elias tersepak beberapa senti ke belakang pintu, menabrak bufet jati tinggi berisi vas-vas kecil berbagai ukiran dan warna. Nyaris saja pemuda itu menjatuhkan koleksi guci kecilnya yang amat berharga. Setelah memastikan hartanya baik-baik saja, ia membuang napas lega, lantas memelotot dengan hidung berkedut kepada para tamu tak di undang.
“Mau apa kalian ke sini!”
“Kami ingin menitipkan anak-anak kalau kau tidak keberatan,” balas Silas yang baru masuk setelah Elias membereskan jubah kusut akibat ombak manusia barusan.
“Aku sangat keberatan saat ini!” Buru-buru Elias menyahut.
Apollo segera menyambar. “Maksud Silas, kami ingin menitipkan anak-anak. Titik. Tidak ada kalimat lanjutan.”
“Tapi kenapa? Maksudku kenapa hari ini!” Elias mengusap wajah frustrasi
“Kenapa tidak hari ini?”
Pria jangkung itu bersiul girang saat melihat minuman anggur berwarna ungu gelap di atas meja. Belum sempat tangannya meraih botol, Elias buru-buru memindahkannya.
“Ada pacuan kuda di lapangan Gromaria dan kami semua akan menontonnya. Para ibu tidak bisa menjaga anak-anak, kebetulan mereka menghadiri acara pertemuan bersama. Nah, Satu-satunya orang yang tidak punya kesibukan hanyalah kau,” jelas Pluto akhirnya. “Kau tahu betapa pacuan kuda ini sangat berarti bagi kami?” Pria berambut hitam cepak itu melanjutkan, sambil nyengir mengangkat atribut di tangan.
Tentu saja bagi pecinta uang seperti Pluto, bukan pacuan kuda yang menarik, tetapi apa yang dipertaruhkan ketika jagoannya memenangkan pacuan itu.
Silas mendesah malas. “Pluto memasang seluruh taruhan pada Riles, padahal dia meyakinkan semua orang di kota untuk bertaruh pada Ebonis. Dia pasti punya rencana licik.”
“Bukan licik, tapi mutakhir,” kilah Pluto. “Kalian orang-orang biasa menonton pacuan kuda hanya sebagai seru-seruan, tapi tidak denganku! Aku memperhatikan setiap detil kemampuan masing-masing penunggang bersama kuda mereka, bagaimana cara mereka berlari, berbelok, menyalip, dan menikung. Aku yakin Riles akan memenangkan emas! Nah, dengan kekalahan Ebonis, otomatis kita memenangkan semua uang taruhan itu!”
“Bagaimana kalau Riles tidak menang!” Apollo menyahut.
Pluto mengetuk pelipis menggunakan jari telunjuk. “Otakku tidak pernah keliru!”
“Ya kalau keliru pun kau harus mengganti uang yang aku pertaruhkan, karena itu uang belanja Diana selama sebulan!”
Pluto tercenung mendengar deklarasi sang kakak, mulutnya terbuka hendak membalas lagi, tapi Elias buru-buru melambaikan tangan minta diperhatikan.
“Aku tidak peduli pada pacuan kuda atau apa pun yang kalian pertaruhkan! Anak-anak kalian sudah besar, kenapa tidak tinggalkan saja di rumah!”
“Terakahir kali aku meninggalkan si kembar tanpa pengasuh, mereka hampir membakar kota.” Pluto terkekeh membayangkan hari itu.
“Kalau begitu panggil pengasuh!”
“Itu sebabnya kami ke sini!”