“Aku penasaran Paman dan pacarnya sedang melakukan apa?” tanya Lucas, matanya berbinar-binar.
“Yang pasti mereka sedang makan di meja makan.” Finn menjawab asal, yang langsung dibalas jitakan di kepala.
Entah sudah berapa lama mereka berempat duduk di tengah ruangan, tidak melakukan apa pun selain bertukar pandang. Sesekali saling mengganggu, lalu mendapat omelan dari Maxim, selanjutnya Lucas mencibir, sementara Finn dan Quinn terkekeh mengejek. Kemudian kembali saling tatap begitu lama, sampai mereka bisa menyebutkan setiap inci kuman pada wajah masing-masing.
“Aku bahkan tidak tahu kalau Paman punya pacar.” Maxim merespons setelah melerai perkelahian Lucas dan Finn.
Ia mengamati sekeliling kamar Elias, membuat ketiga sepupunya melakukan hal sama. Ada tumpukan baju kotor di pojok ruangan, sarang laba-laba di sudut langit-langit, dan sampah kering berserakan yang berdebu dimakan usia. Udara yang masuk ke hidung mereka saat ini pun mengandung bebauan yang entah apa namanya.
“Wanita itu pasti menyesal kalau tahu paman adalah orang paling jorok di dunia.”
“Aku jadi penasaran bagaimana rupa pacar paman!”
“Ya, seperti yang kalian tahu dia seorang perempuan, jadi dia pasti cantik seperti aku.” Kelopak mata Quinn mengerjap cepat, membuat ketiga sepupunya memutar bola mata.
“Semoga dia bukan perempuan kasar sepertimu,” gumam Lucas.
Quinn melotot. “Aku tidak kasar!” Satu pukulan pelan membuat tubuh Lucas tersungkur ke samping.
“Kau baru saja berbuat kasar!” Finn berseru, senang menegur ketidakkonsistenan kembarannya.
“Mungkin kita harus mengintip,” usul Lucas sambil mengelus bekas pukulan pada bahu. “Sekadar melihat ....”
Maxim buru-buru menyela kalimat anak itu. “Ingat apa yang dikatakan paman? Kita harus tetap di dalam sini sampai paman Elias memperbolehkan kita keluar.”
“Ayolah Max, kita cuma mengintip! Setelah tahu seperti apa wajah pacar Paman, kita akan kembali lagi kesini.”
Maxim menatap tidak senang, “Jangan merayuku, Luke. Itu tidak akan berhasil! Kita sudah diberi perintah, dan perintah ada untuk dipatuhi. Sebagai anak-anak keturunan bangsawan kita sebaiknya menjaga sikap, paham!”
Finn dan Quinn mendesah. “Dia kerasukan Kakek Dominic lagi.”
Mengatakan kalimat bijak tidak lantas menutup rasa penasaran dalam diri Maxim. Tak dapat dipungkiri hati anak itu menimbang-nimbang, ia diberi tanggung jawab untuk menjaga sepupu-sepupunya, tapi di lain sisi juga amat penasaran pada sosok kekasih sang paman. Lucas yang menyadari arus wajah bimbang sepupunya lantas mengeluarkan seyum miring.
Ia mencolek si kembar, memberi tanda kepada mereka. Lucas mungkin tidak bisa merayu Maxim, tapi siapa pun tahu bahwa kelemahan pemuda itu adalah si kembar. Tidak perlu di suruh dua kali, Finn dan Quinn mengeluarkan seringai jahil yang sama, lalu mulai beraksi.
“Ayolah, Maxim kita mengintip sebentar saja ....” Finn bergelantung manja di pundak kanan Maxim. Belum sempat menjawab, Quinn ikut bergelantung di pundak kiri Maxim, menjawil gemas pipinya, sengaja meninggikan suara. “Ayolah, Maxim. Kami sangat penasaran. Aku yakin kau juga, ‘kan?”
Anak itu menatap sepupu kembarnya bergantian. Manik zamrud mereka bersinar-sinar penuh harap, bibir mereka meliuk tersenyum seperti kucing, siapa yang tahan menghadapi tatapan itu. Benteng ketegasan Maxim akhirnya goyah, ia menghela napas dan bangkit.
“Oke, ayo! Aku rasa tidak ada salahnya mengintip sebentar.”
“Benar, mengintip sebentar tentu bukan masalah sama sekali.” Lucas ikut bangkit mengambil langkah, tapi segera ditahan oleh Maxim.
“Dengan satu syarat ... aku yang memimpin!”
Lucas mendecak kesal, tapi tidak berniat membantah. Maxim memimpin ketiga sepupunya menuju pintu kamar dan memutar kenop, berusaha sepelan mungkin agar tidak menimbulkan suara, tapi semua sia-sia saat engsel pintu berderit kurang minyak, mereka meringis karena suaranya cukup keras. Biarpun begitu aksi tetap berlanjut karena tidak ada yang menyadari suara tersebut.
Mereka mengendap-endap, berjingkat menuju dapur. Maxim melihat sekeliling, mencari tempat persembunyian terbaik, dan segera menemukan lemari penyimpanan piring berongga yang cukup tinggi. Anak berambut merah itu mengomando sepupu-sepupunya agar mengikuti, lantas berdesakkan masuk ke dalam lemari penyimpanan yang ternyata jauh lebih kecil dari kelihatannya.
Hanya tiga kepala yang muat melongok dari balik rongga, tapi tidak ada waktu untuk mencari tempat lain. Quinn menyepak kembarannya agar mendapatkan tempat duduk lebih nyaman. Mereka mulai mengintip dari rongga pada lemari piring itu, menyaksikan sang paman duduk berhadapan dengan wanita paling anggun dan cantik yang pernah mereka lihat. Kedua insan itu tertawa satu sama lain, dihiasi wajah merona terlihat begitu bahagia dan menikmati saat-saat berdua.
“Lihat ternyata seperti itu rupanya!” seru Maxim sepelan mungkin.
“Bukankah dia sangat cantik?” balas Quinn, “Paman Elias memang pria yang paling beruntung seantero Goldwind.”