Selama perbincangan Maxim dan Elias di patung Dewi Hera, Lucas hanya menatap dari bawah, mendongak jauh sambil mengira-ngira apa yang mereka bicarakan. Ia tidak bisa mendengar apa-apa, bahkan keduanya hanya terlihat seperti titik-titik kecil di mata bocah albino itu.
Sesekali gerakan tangan Elias berubah lincah seperti marah-marah, sedangkan Maxim diam tidak bergerak. Beberapa kali Lucas melihat ke segala arah, mencari Finn dan Quinn yang belum juga kembali.
“Kemana perginya si kembar? Apa mereka berhasil menemukan Frigia?”
Sedetik kemudian Lucas menyadari suasana di atas semakin tegang, dan tiba-tiba pamannya melompat terjun dari patung Dewi Hera yang tingginya lebih dari lima ratus meter itu. Lucas memekik panik, pamannya pasti hancur saat mencapai tanah.
Tergesa-gesa anak itu berlari mencari benda-benda lunak di sekitar. Mengumpulkan dedaunan kering, kain-kain yang diambil paksa dari jemuran, bahkan meletakkan tumpukan roti di tempat yang diperkirakannya sebagai tempat Elias mendarat. Sementara itu sang paman sudah setengah jalan mencapai tanah, membuat Lucas memekik.
Warga Goldwind ikut terpana melihat adegan itu. Baik yang datang akibat terkena dampak kemarahan Elias, maupun yang kebetulan berada di sekitar Kuil. Mereka mendongak sedalam Lucas. Beberara orang menjerit panik, yang lainnya menutup mata.
“Seseorang laporkan pada Tuan Dominic!”
Lucas berpaling memelototi orang yang bicara barusan. “Jangan coba-coba mengadu pada kakekku!”
“Bagaimana Anda menghentikannya, Tuan Lucas? Tuan Elias dalam bahaya!”
“Kami sedang memikirkan sesuatu!” Lucas terlihat yakin meskipun otaknya mati total.
“Apa pun itu sebaiknya cepat lakukan sebelum semuanya terlambat!”
Ketika Lucas kalang-kabut menenangkan kerumunan yang semakin mendesak, tiba-tiba angin bertiup lebih kencang diikuti tanah bergetar hebat. Lucas menoleh dan senyuman langsung tersungging dari bibirnya. Itu Finn dan Quinn, dan Finn membawa Frigia di punggungnya! Belum pernah ia merasa sebahagia ini melihat si kembar.
Lucas melambaikan tangan sambil bersorak “Cepat!” karena anak itu kembali panik saat melihat Elias sudah seperempat jarak lagi dari tanah.
Melihat keadaan semakin menegangkan, Finn mempercepat tornado. sementara Quinn sudah keluar dari bola batu. Dia menatap khawatir kepada sang paman di angkasa. Gadis itu berpikir cepat, lantas menghampiri kerumunan warga.
“Kalian punya matras besar?”
Warga yang menyaksikan ikut bersorak ketika Finn mengendalikan tornado dengan kecepatan penuh. Alih-alih senang, anak itu malah gugup, beberapa kali tersandung tanah berlubang sehingga tornadonya limbung.
“Cepatlah, Finn!” Lucas berseru lagi.
“Ini juga sudah cepat!” Bocah itu menggerutu.
“Jangan gugup, Finn. Keturunan Dominic dan Dilara harus sudah terbiasa mendengar sorak-sorai.” Frigia berbisik di telinga anak itu, membuat kepercayaan dirinya bertambah.
Finn memperkirakan, ia tidak akan sampai tepat waktu, pamannya sudah berada kurang dari seratus meter di atas tanah. Maka dari itu Finn mengangkat Frigia, mengambil ancang-ancang, lantas melemparnya tepat ke arah Elias seperti sebuah tombak.
Wanita itu berinisiatif merentangkan tangan sejauh mungkin guna meraih tubuh sang kekasih, mendekapnya dalam pelukan seerat mungkin agar tidak lepas. Orang-orang berseru antara kagum dan takut ketika pasangan itu terpelanting cukup jauh.
Di bawah, Quinn sudah menunggu, gadis kecil itu mengangkat sebuah kasur kapuk super besar. Bergeser ke kanan-kiri, depan-belakang, memperkirakan di mana sang paman dan kekasihnya mendarat. Ketika sebuah guncangan menghantam kasur sangat keras, diiringi sorakan meriah dari warga, barulah Quinn mengembuskan napas lega, dan merangkak keluar dari sana. Lucas buru-buru menghampiri.
“Kau baik-baik saja, Quinn?” Pertanyaan itu dibalas anggukan cepat, serta sebuah tarikan di kerah baju Lucas. Melihat reaksi sang paman saat ini tentu lebih seru.
Elias masih memejamkan mata menunggu tubuhnya menghantam tanah, tapi ketika tak kunjung terjadi apa-apa, perlahan pria itu membuka mata. Mendapati sosok wanita paling cantik yang pernah ditangkap mata.
“Apakah kau bidadari dari surga?”
“Dasar, Otak Udang!” balas Frigia sambil tersenyum penuh rasa syukur, “Kenapa kau melakukan hal sebodoh itu, Elias? Apa kau sudah kehilangan akal sehat!”