Gone

bloomingssy
Chapter #1

Prolog

Gadis itu duduk diam, bersembunyi di balik kegelapan malam. Ia memandangi ibunya yang tak berhenti menangis, tengah duduk di barisan kursi paling depan. Rasanya kosong, hatinya berkecamuk seolah tak ingin peduli dengan apa yang telah ia dengar. Andai saja ia tahu, mungkin ia akan berpikir lebih baik untuk tidak mengangkat telepon itu. Hatinya tidak akan sehancur sekarang, hingga ia tidak bisa mempercayainya sama sekali. 

Berdiri di sebelah ibunya, Dimas. Anak laki-laki yang berusaha menenangkan wanita yang dari tadi menangis itu. Walaupun sesungguhnya, tak ada yang tahu bagaimana perasaan mereka masing-masing. Terlihat kuat dan baik-baik saja, tidak menutup kemungkinan untuk rapuh, bukan? Sampai pada waktu menunggu itu habis, rasanya suara ambulans pun memenuhi bandara Soekarno-hatta yang kini ditutup awan hitam bergemuruh petir. Sontak mereka berdiri, berlari keluar, menguatkan hati berharap jasad yang tertutup kain putih nanti bukanlah orang yang mereka kira. Gadis itu berlari pelan paling belakang, berbeda dari ibu dan adiknya, ia tidak meneteskan air mata, seolah hati dan air matanya beku kedinginan. Seketika bayangan-bayangan kecil berwarna abu-abu melintas di kepalanya, saat di mana dulu momen itu ia rasa sangat menyebalkan, kini sangat ia rindukan. 

Hal kecil seperti tertawa bersama, dimarahi, diantar-jemput, atau digendong di punggung yang mana rasanya menyenangkan tapi memalukan karena tubuh gadis itu sudah tak kecil lagi pun, muncul seolah tak akan pernah menemuinya lagi. “Za... kamu jangan nakal ya, jagain Mama sama Dimas, Papa pamit–” seolah kalimat itu berbisik tepat di telinganya, angin malam berhembus kencang melewatinya, membuat matanya terbuka lebar, gadis itu akhirnya tersadar. Mata kaku Zara mengeluarkan tetes pertamanya, tepat pada saat angin tadi berhasil menerbangkan kain putih polos, penutup jasad yang baru saja dikeluarkan dari ambulans. 

“PAPAAA!!!” Hatinya terlalu lemah untuk tidak berteriak, kaki yang tadi sempat terhenti pun, berlari kencang hingga kini berada di hadapan tubuh kosong pria yang tadi dipanggilnya. Bibir itu sudah membiru, tak bisa menjawab panggilan gadis itu lagi ataupun memarahinya. Tubuhnya dingin, tidak akan bisa memberi lagi keluarganya pelukan hangat. Seolah kehilangan sebagian dari kehidupannya, Zara gadis remaja yang selalu dimanja oleh ayahnya, tubuhnya lemas, hatinya hancur, kepalanya kosong seakan-akan penunjuk arahnya hilang untuk selamanya, ia tersesat. Air matanya mengalir deras, tak ingin berhenti. Zara menggenggam tangan sedingin es itu, menggosoknya, berharap hal itu akan membantu untuk mengembalikan kehangatannya. 

“Pa-papa bangun dong, Pa?! Papa gak bisa kaya gini sama Zara... jangan tidur terus Pa, oke? Nanti yang jemput aku malem-malem siapa? Yang bakal marahin aku siapa, Pa? Pa-papa mau ke mana sih?! PAPA JANGAN PERGIII PAAA!!!” Tangisnya semakin menjadi, hatinya teriris tipis, menolak percaya. Gadis itu berkecamuk dengan perasaannya sendiri, Zara ketakutan, ia gelisah, benarkah ini saat terakhirnya bersama dengan sosok ayah? Apakah ini hanya mimpi di salah satu malamnya saja? Atau realita yang tidak bisa ia terima?

Zara hancur, ia patah hati. 

Ia beralih menatap ibunya, jika sebelum itu Zara berpikir bahwa dirinyalah yang paling kehilangan, tidak dengan sekarang. Bagaimana dengan wanita di sampingnya? Yang terkujur lemas, tak henti mengeluarkan air mata. Gadis itu berpikir siapa yang akan lebih kehilangan pria itu selain ibunya? Hampir setengah masa hidup dilalui bersama, dalam suka maupun duka, tidaklah hubungan itu sangat istimewa? Seberapa retak dan hancurnya hati itu, Zara pun tidak tahu. Zara tidak bisa lagi menjadi anak manja, pikirnya. Meski hatinya terlalu lemah, untuk berhenti menangis, ia berusaha bangkit, menguatkan ibu dan adiknya, Dimas. 

Tak ada lagi yang akan menjadi pemimpin di antara mereka, lantas apakah ini akan menjadi akhir ceritanya begitu saja? Tentu, tidak. Setidaknya salah satu dari mereka harus berdiri, membantu yang lain. Seolah embusan angin yang melewatinya tadi adalah bisikan terakhir dari sosok bernama ayah, sedikit merasa terbebani tapi tak mungkin baginya untuk enggan. Zara berpikir, apakah ia cukup mampu untuk bisa menjaga dan melindungi keluarganya? 

Tidak berlama-lama, akhirnya para petugas ambulans membawa kembali jasad ayah Zara dan memasukkannya ke mobil yang lain untuk dibawa ke rumah duka. Diikuti oleh dua orang petugas kepolisian yang menghampiri mereka, Zara menyeka air matanya, mencoba untuk bertahan. 

“Selamat malam. Betul ini dengan keluarga, Bapak Rudy Bramastyo?” tanya salah satu dari mereka, menggunakan seragam kepolisian lengkap sembari menunjukkan name-tag nya, bukti ia seorang polisi sungguhan. 

“Iya, betul. Saya Zara Febrina, putri dari Pak Rudy,” ucap Zara, mengulurkan tangannya untuk bersalaman.

“Kami dari tim kepolisian masih menyelidiki kasusnya, apakah murni kecelakaan atau bukan. Untuk itu kami ingin memastikan, bahwa pihak keluarga bisa mengenali jasad korban dengan baik. Jika sudah dapat dipastikan, silakan ikut kami ke kantor untuk pengisian beberapa dokumen administrasi.”

Meski berat hati, Zara berkata. “Itu Papa saya Pak, kami bisa mengenalinya dengan baik...”

Lihat selengkapnya