Reynan mendatangi ruangan dimana Naya di rawat. Ia mendekat, dan langsung memberikan dekapan hangat untuk Naya.
“Semua akan baik-baik saja.” Ucap Raynan yang mampu membuat Naya meneteskan airmatanya lagi.
Naya terisak kencang dalam dekapan dokternya itu. Bi Rahmi yang melihat pun merasa sangat kasian dengan kondisi Naya.
“Ini salah ku kan?” tanya Naya di tengah isakannya.
Reynan menggelengkan kepalanya, “Bukan Nay.” Ucapnya dengan lembut.
“Ini salahnya Naya. Hiks Hiks.” Tangis itu semakin keras, ia memaksakan diri untuk lepas dari dekapan Reynan.
“Stop nyalahin diri kamu sendiri Nay, ini bukan salah kamu.” Reynan berkata sambil mentap kedua mata Naya yang penuh dengan air mata. Perkataan itu di balas gelengan kuat oleh Naya. Seakan ia tidak menyetujui ucapan dokternya itu.
“Nay, percaya sama aku ya. Ini bukan salah kamu.” Ia mencoba meyakini pasiennya ini lagi. Namun tak ada jawaban dari Naya. Ia memilih mengabaikan perkataan Reynan dan membuang muka.
Reynan yang sudah biasa mendapat respon itu hanya bisa tersenyum kecut. Ia mengelus pelan surai hitam Naya, lalu berjalan menuju Bi Rahmi.
“Saya mau lanjut kerja dulu, nanti jangan lupa pastikan Naya untuk makan dan minum obatnya ya Bi.”
“Ia mas.”
“Nay, aku kerja dulu kamu kalau ada perlu apa-apa bilang aja sama Bi Rahmi ya. Jangan Nakal!” Pamit Reynan.
**
Rizal menatap bingung Reynan, dari tadi tampangnya memasang raut khawatir. Beberapa kali ia memanggilnya, Reynan tetap pada lamunannya. Ia baru kali ini melihat Reynan begitu khawatir kepada pasiennya sendiri. Bukan berarti Reynan tipe psikiater yang cuek terhadap pasiennya tapi untuk kasus Naya, Reynan benar-benar bertindak terlalu jauh.
“Rey!” Rizal memanggil dengan nada tinggi.
“Kenapa mas?” jawab Reynan dengan sedikit bingung.