Reynan sedang menikmati secangkir kopi panas yang dia pesan di kafe rumah sakit itu. Kedua matanya terlihat sibuk, membaca berkas-berkas mengenai pasiennya Kanaya. Ada sedikit rasa kasian pada diri Reynan terhadap Kanaya. Gadis muda seperti dia, mengapa harus mengalami masalah kejiwaan seperti ini. Seharusnya sekarang ia sedang menikmati masa-masa mudanya bersama teman-teman, mencari pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan finansialnya atau bahkan menjalankan kisah romansa dengan kekasihnya. Entahlah, sampai saat ini Reynan belum mengetahui pasti penyebab utama kondisinya.
“Reynan.” Panggil seorang wanita pada Reynan yang sedang asik membaca berjasnya itu.
“Eh, kau sudah datang? Sendiri?” jawab Reynan yang mengenali wanita itu. Sebenarnya mereka memang telah berjanji untuk bertemu.
“Ia, ibu ku ada urusan dengan teman-temannya. Kau sedang apa? Sepertinya sedang membaca sesuatu yang serius.” Ucap wanita itu yang kini telah duduk di hadapan Reynan.
“Ah, ini masalah pekerjaan lagipula aku sudah selesai membacanya. Ayo kita pesan makan, waktuku tidak terlalu banyak.” Pinta Reyna sambil menyodorkan buku menu pada wanita di depannya.
Setelah 30 menit menghabiskan makan siang bersama wanita tadi, kini Reynan kembali ke aktivitasnya di rumah sakit. Ia memiliki janji temu dengan beberapa pasien kali ini dan 1 orang pasien yang menarik perhatiannya. Kanaya.
“Hai, kita berjumpa lagi.” Sapa Reynan ketika Naya memasuki ruang konsultasi bersama tantenya. Naya masih saja berwajah datar, dengan tatapan sedikit kosong, tak ada sapaan balasan ia berikan untuk dokternya.
“Apa aku perlu menunggu disini dokter?” tanya tante Naya.
“Aku harus menjemput anak ku disekolah.” Lanjut tante Naya.
Sedikit berpikir, “Baiklah, Anda pergi saja. Biar Naya saya tangani sekarang. Tapi, apa dia berbuat nakal lagi?” tanya Reynan sambil melirik Naya di akhir perkataannya. Karena merasa sedang di bicarakan, Naya menatap dingin dokternya itu.
“Dia hanya mimpi buruk saja tadi malam, tapi tak sampai melukai tubuhnya.” Jawab tantenya Naya.
“Hm, baguslah. Kalau begitu saya akan memulai konsultasi dengan Naya. Anda bisa pergi sekerang.” Jawab Reynan yang dari tadi melihat gerak-gerik gelisah tantenya Naya karena ingin menjemput anaknya.
Kini ruangan itu sisa mereka berdua, suasana masih sunyi. Naya hanya memandang keluar jendela, memerhatikan belaian-belaian angin pada dedauanan yang bergerak pelan. Sedikit tersenyum, itu lah respon Naya saat memerhatikannya. Sejak tadi juga Reynan memerhatikan pandangan Naya.