Semenjak kepergian Naya Reynan tiba-tiba merenung, kata-kata yang diucapkan tadi sangat mengganggu pikirannya. Seakan merasa bersalah ketika mendengar Naya mengatakan dia sama seperti orang lain yang menganggap dirinya (Naya) aneh.
“Apa dia sudah sampai di rumah?” tanya Reynan pada dirinya sendiri. Tak mau terlalu larut dengan rasa penasarannya, Reynan memutuskan meminta kontak keluarga Naya pada Rizal. Setelah menunggu sekitar 10 menit, rizal mengirimkan nomer tantenya Naya. Bergegas ia lakukan panggilan pada nomor tersebut. Berulang kali, Reynan mencoba, namun taka da jawaban dari nomor tersebut. Semakin gelisah, itulah yang dirasakan Reynan. Namun tak lama, ia putuskan untuk menutup kedua matanya, dan membiarkan alunan musik klasik itu membawanya ke dunia mimpi.
**
Tiga hari sejak pertemua Reynan dan Naya di depan rumah sakit, tiga hari ini juga Reynan masih menunggu respon dari kelurga Naya yang terus-terus di hubungi. Jadwal konsultasinya dengan Naya masih 2 hari lagi.
“Ku lihat kau sedang gelisah Rey. Ada apa?” tanya Rizal sambil berjalan beriringan.
“Ah, aku menghubungi keluarga Naya. Tapi tak ada satupun respon dari mereka.” Jawab Reynan dengan nada pelan. Memasang wajah bingung, Rizal mencoba mencari alasan apa yang membuat Reynan harus menghubungi keluarga pasiennya itu. “Untuk apa kau menghubungi keluarganya?” tanya Rizal akhirnya.
“Hm ada sedikit masalah yang mengganggu perasaan ku.” Ucap Reynan sedih.
“Datangi saja rumahnya. Nanti kau minta saja pada bagian administrasi. Daripada kau menekuk wajahmu seperti ini.” Saran Rizal. Tak terpikirkan oleh Reynan untuk menghampiri rumah pasiennya. Maksudnya mengapa dia harus sampai ke rumah pasiennya itu? Rasa khawatir yang dia rasakan belum cukup menjadi alasannya untuk mendatangi Naya.
“Tapi Rey, kau sepertinya benar-benar perhatian pada pasienmu itu. Kau bahkan mengganti pengharum ruanganmu, waktu tau Naya menyukai wangi lavender. Kau juga mengganti lukisan di ruanganmu waktu Naya bilang dia tak suka pada lukisanmu. Kau seperti seorang pria yang sedang mengikuti keinginan kekasihnya hahaha.” Ucap Rizal yang membuat Reynan menghentikan langkahnya.
‘Benar juga, kenapa aku mengikuti semua maunya? Ah, ini pasti karena rasa empatiku padanya saja.’ Batin Reynan lalu melanjutkan perjalanannya menuju kantin.
Baru menyamankan posisi duduknya untuk menikmati secangkir kopi panas di kantin, Reynan di kejutkan dengan panggilan masuk di ponselnya dari pihak rumah sakin umum.
‘Apa ini dokter Reynan dari bagian psikologi?’ tanya orang di sebrang telpon itu.
‘Ia benar. Ada apa?’ tanyanya
‘Ah apa benar Kanaya adalah pasien anda dok?’ tanya orang itu lagi.